Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang santri

Perempuan yang cita-citanya jadi hamba Allah dan Ibu Rumah Tangga yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-Anak Bersayap

8 Desember 2022   00:57 Diperbarui: 8 Desember 2022   01:01 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihat kepada satu-satunya anak perempuan sebayaku di antara mereka. "Bagaimana engkau bisa mendapat sayap itu wahai, kawan? Ah iya, siapakah namamu?" Aku bertanya karena sungguh takjub. Sayap itu tak seperti milik yang lain. Paling indah di antara mereka. "Namaku, Masoudah." Dia tersenyum dan mulai bercerita, sungguh cantik.

" ... Subuh tadi, datang segerombol orang-orang berseragam. Lengkap dengan senjata. Tzahal, utusan musuh-musuh kami. Di dalam gelap, aku tidak bisa melihat apapun kecuali peluru-peluru mereka yang mengkilat mengenai udara kosong dan jantung-jantung bapak-bapak kami yang menjaga kami di luar. Padahal hari itu adalah yaum an-nakbah. Hari dimana kami akan berkumpul di padang luas, atau di pos-pos pengungsian untuk memperingati penderitaan saudara-saudara kami yang terusir dari rumah mereka sendiri." Masoudah berhenti, dia memegang tanganku lembut. Kemudian melanjutkan. "Aku mengintip dari celah dinding roboh kamar adiku, mereka tetap saja memaksa masuk ke dalam tumpukan puing-puing rumah kami. Mereka menyeret ibu yang masih dalam keadaan sholat rakaat terakhir. Mereka bertanya tentang keberadaan mujahid-mujahid. Aku tau yang mereka maksud. Dan ibu pun juga tau. Tapi ibu hanya diam. Ibu terbaring, dengan darah yang mengalir di dahi ibu masih melanjutkan bacaan sholatnya. Orang-orang itu marah. Merasa dihiraukan. Dan langsung mengenakan isi peluru mereka ke dada ibu. Aku mengambil potongan puing besar, mengenakan pada salah satu kaki mereka. Tapi alas-alas kaki yang mereka pakai itu sungguh keras. Aku berlari karena mereka mengejarku, dan aku langsung kembali ke kamar adikku yang masih bayi. Aku mendekapnya, melindunginya dari suara keras mereka. Dalam hatiku tak hentinya berdoa, semoga Allah selamatkan adik kecilku ini. Mereka berhasil menangkapku, memukul kepalaku dengan senapan yang mereka bawa dan menembakkan isinya. Setelah itu hanya satu yang ku ingat dan aku senang karena syukurlah adiku masih tertidur. Dan bernafas lembut. Terima kasih ya Allah ... "

Cerita itu sungguh menyayat hati. Kini sayapku sempurna hilang. Kesedihan memenuhi hatiku. Perih. Bahkan mengumpat orang-orang yang terus mengirimi mereka biji-biji timah yang sangat panas meski mereka hanya melempar kerikil. "Rombongan pesawat-pesawat kecil yang mereka terbangkan di udara itu menyemburkan gas-gas yang membakar tenggorokan dan membuat pedih mata, memutus saluran pernapasan. Puluhan anak-anak tak berdosa, harus menemukan syahidnya saat belajar di pos-pos. Atau sekedar hendak mencari udara segar di luar tenda pengungsian." Lanjut masoudah.

Ya Allah, dapatkah gerombolan Ababil datang kembali seperti kisah yang diceritakan Kyai saat jadwal mengaji sirah, sejarah Nabi Muhammad, membakar musuh-musuh negeri kawan-kawanku ini seperti ulat yang menggerogoti daun?

Langit di atas negeri itu tiba-tiba menyingkap. Menurunkan hujan yang airnya tak seperti air hujan selayaknya. Air itu sungguh manis. Dan segar. Seruan adzan menggema, menggetarkan seisi udara. Dari langit aku melihat negeri itu berubah, sungguh tak dapat aku lukiskan indahnya. Warna-warna itu bukan warna yang pernah aku lihat di bumi. Sayap-sayap menyembul satu per satu menuju pintu langit yang dibuka. Mereka disambut, seluruh alam menyalami mereka dengan iringan nada-nada semesta yang sangat merdu. Saatnya untuk pulang ... Sebuah suara menggiring mereka. Aku bergetar.  

Aku masih ingin bermain dengan mereka. Bersama mereka. Bercerita banyak hal lagi. Mereka kawan yang baik. Tapi sayang, aku tidak bisa ikut dalam saf-saf mereka itu. Ada sebuah dinding tak terlihat yang mencegahku. Masoudah dan kawan-kawan membantuku kembali ke negeri asalku. Ma'assalamah, kata mereka. Aku tidak mau berpisah dengan mereka. Ini terlalu singkat. Aku menangis.

Aku kembali ke rumah. Namun, rumahku begitu ramai dengan tetangga-tetangga dan kawan-kawan mengajiku. Serta ada Kyai, yang memimpin doa di depan tubuh yang tertidur pulas. Ada Umi, yang menangis. Dan Abi yang menenangkan Umi, mengelus bahunya lembut.

Tubuh yang tergolek tak berdaya itu, ternyata tubuhku. Yang sudah tak lagi bernapas. Tak lagi dapat bergerak. Aku sudah tiada. Ingatan terakhir dalam kepalaku, adalah aku mandi di kali bersama kawan-kawan. Setelah itu, aku juga tak ingat apapun karena kepalaku sakit terantuk batu besar setelah kalah dengan arus deras yang tiba-tiba datang dari muara.

Dua sosok perempuan cantik bergaun biru langit, dan bersayap indah menghampiriku. Tersenyum dan mengatakan bahwa sudah waktunya aku untuk pulang. "Aku sudah ada di rumah sekarang," kataku. Tapi dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu hanya tersenyum. Sayapku kembali mengembang. Itu artinya aku akan dapat menyusul Masoudah dan kawan-kawan dari negeri seberang itu lagi, kataku pelan. Dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu tersenyum lagi, menggelengkan kepala. Katanya tidak bisa. Mereka menjelaskan sesuatu yang tidak aku pahami.

Aku mencium pipi Umi dan Abi, tapi mereka tak menyadari. Mereka tak henti-hentinya menangis, di sela-sela bacaan ayat suci di samping kepalaku. Umi menciumi seluruh wajahku. Air mataku menetes. Assalamualaikum, ... ucapku terakhir. Dan tanpa Umi sadari, beliau menjawab, waalaikumussalam. Semua orang yang hadir terkesiap. Karena tidak ada yang mengucapkan salam. Begitulah seorang ibu, hatinya selalu terpaut meski anak sudah tiada. Ya Allah jaga selalu Abi dan Umi-ku. Semoga di kehidupan abadi kelak kami dapat berkumpul lagi.

Dua sosok perempuan cantik bersayap indah itu menggandeng tanganku. Membawaku semakin jauh. Jauh ke langit. Memasuki pintunya yang terbuka lebar. Aisyah cinta Umi ... cinta Abi. Cinta semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun