Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

PSK Galau di Bulan Penuh Rahmat (17)

11 Agustus 2012   21:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ringkasan sebelumnya: Pernah nonton film laga berupa kejar-kejaran antara polisi dan penjahat yang diburunya?. Ramon dan Arni merasakan seperti dalam adegan film tersebut. Mobil yang mereka tumpangi dikejar orang-orang suruhan Jaka. Selengkapnya...

Atas petunjuk Jarot, Ramon dan Arni diminta tak langsung menuju Marina Ancol. Mereka disarankan masuk ke Dufan untuk menghilangkan jejak. Dari Dufan, Ramon dan Arni harus ganti dengan taksi.

"Dari situ jaraknya sudah dekat sekali. Karena itu bilangin sama sopir taksi, nggak perlu pakai argometer. Kasih saja uang Rp 100.000. Pasti mau..." Jarot memberikan petunjuk seraya memberi tahu ciri-ciri orang yang akan menjemput adiknya itu di Marina Ancol.

"Sekarang orangnya masih dalam perjalanan, sekitar 15 menitan lagi nyampe. Makanya putar-putar dulu di Dufan, supaya orang-orang yang memburumu kehilangan jejak."

Ramon dan Arni segera mengikuti petunjuk Jarot. Mereka menyiapkan ongkos untuk Bruno berupa sejumlah uang seperti yang telah disepakati sebelumnya. Sopir asal Madiun, Jawa Timur, itu tampak senang. Ia tak hendak menghitung kembali segepok uang lembaran Rp 100.000 yang dianggapnya lebih dari cukup.

Ketika diminta berhati-hati, Bruno bilang tak masalah. Ia seolah paham bahwa keselamatan Ramon dan Arnilah yang lebih penting daripada dirinya.

Mereka lalu berpisah. Ramon dan Arni pindah ke sebuah taksi yang mengantre terdepan. Bruno melanjutkan perjalanan, entah kemana.

Seperti telah diduga, sopir taksi tertawa mendengar tujuan yang disebutkan Ramon. Namun begitu, calon penumpangnya mengeluarkan uang Rp 200.000 sebagai tarifnya, sopir taksi itu langsung diam.

Ia mempersilahkan Ramon dan Arni masuk ke dalam mobilnya dengan ramah. Sopir taksi itu sempat bertanya ini-itu karena tampaknya ia penasaran dengan sosok penumpangnya kali ini.

Ramon dan Arni tentu saja tak berterus terang karena tak ada gunannya. Begitu sampai di dermaga Marina Ancol, seorang pemuda berbadan tegap, bertopi biru dan menggunakan kaca mata hitam menyambutnya.

Pemuda itu bilang utusan Jarot. Ramon dan Arni yakin dia tak berbohong karena ciri-cirinya persis seperti disebutkan Jarot. Apalagi pemuda itu langsung memanggil nama Ramon dan Arni. Dengan sigap ia mengajak keduanya menuju motor boat yang penampilannya terlihat keren.

Sopir taksi yang baru mengantar Ramon dan Arni tak segera beranjak pergi. Ia tak habis pikir melihat fakta tentang kedua penumpangnya. Ia menebak-nebak bahwa pasangan itu adalah pasangan suami-istri kaya raya yang hendak berlibur ke Kepulauan Seribu. Tapi mengapa terburu-buru? Bukankah mobil yang tadi ditumpanginya bisa mengantar langsung ke dermaga itu? Tapi kalau orang kaya, kenapa pula mobil yang ditumpanginya tadi butut?

Sopir itu segera menepis bayangannya. Ia tersenyum meninggalkan Marina Ancol dengan uang Rp 200.000 di kantung hanya untuk sebuah jarak tak sampai 1 kilometer.

***

Tanpa Ramon dan Arni, jantung Bruno tak lagi berpacu kencang. Namun sebaliknya, ia mulai merasakan lelah dan mengantuk. Ia tak mungkin melanjutkan perjalanan pulang dengan kondisi seperti itu.

Selain ngantuk, ia juga kebelet buang hajat. Dari tadi ia terpaksa menahan keinginan itu karena tak mungkin melakukannya saat genting. Masak sedang dikejar-kejar penjahat minta break untuk ke toilet. Nggak lucu, bukan?

"Emang adegan film apa?," bisik Bruno dalam hati, sambil tersenyum sendiri.

Saat mengetahui ada tulisan toilet di Samudra Atlantik, Bruno langsung masuk ke areal parkir. Dengan sedikit terburu-buru ia keluar dari mobil dan berlari menuju toilet. Ah, betapa leganya perasaan Bruno. Ia seperti baru terbebas dari himpitan benda satu ton yang sedari tadi membebaninya.

Masih di dalam WC yang terkunci, Bruno meraih celana dan mengambil uang pemberian Ramon di salah satu sakunya. Ia lalu menghitungnya jumlah lembaran uang Rp 100.000 pemberian Ramon. Ternyata lebih banyak dari jumlah yang disepakati.

"Alhamdulillah, Lebaran tahun ini terasa indah," kata Bruno pelan.

Dengan uang itu, ia membayangkan akan bikin kejutan buat istrinya. Ia akan membelikan kalung emas yang sejak menikah baru dijanjikannya. Ia juga akan membawa baju baru plus mainan untuk anak semata wayangnya. Indahnya hidup ini saat punya banyak uang. Bruno senyum-senyum sendiri.

Setelah puas, ia pun keluar dari WC. Namun betapa terkejutnya Bruno saat menyaksikan dua orang pria sudah berdiri di hadapannya. Keduanya langsung menyergap Bruno, satu diantaranya menodongkan sebuah pistol ke arah muka Bruno sambil mengancam: jangan berteriak jika masih ingin hidup!

Bruno tentu saja tak berani melakukan perlawanan. Saat bekerja pada bosnya yang pengusaha panti pijat beberapa tahun lalu, ia pernah menyaksikan orang ditodong menggunakan pistol. Karena melawan, orang itu didor beneran hingga tewas. Sang penodong kabur dan tak pernah terungkap kasusnya.

"Kamu sembunyikan dimana penumpangmu?"

"Penumpang ?"

Plaakkk, sebuah tempelengan keras mendarat di mukanya.

"Jangan pura-pura bego lu. Penumpangmu yang kamu bawa tadi. Satunya lelaki, satunya perempuan."

Bruno tak segera menjawab. Takut salah dan ditempeleng lagi.

Tapi justru karena diam, plaak... ia kena tempeleng kedua kalinya.

"Tadi saya mengantar sampai di sini. Trus mereka naik taksi," jawab Bruno berterus terang. Ia bingung karena serba salah menghadapi dua pria yang diduga para pemburu Ramon dan Arni.

"Kamu masih mau menyembunyikannya? Mau dibikin cacat ya?" Salah seorang dari pria itu mengeluarkan sebuah pisau lipat. Keterangan Bruno dianggap belum cukup.

"Buukk" Sebuah pukulan mendarat di rahangnya. Darah merah keluar dari mulut Bruno.

Melihat jiwanya makin terancam, ia pun mengatakan apa yang diketahuinya. Bahwa Ramon dan Arni menuju Marina Ancol karena aka ada seseorang yang menjemputnya menggunakan perahu motor.

Marzuki, salah seorang dari pria yang menempeleng Bruno, segera menelepon Gofar. Ia mengabarkan kepada komandannya itu bahwa buruan mereka naik motor boat ke arah Kepulauan Seribu.

"Apaaa, Kepulauan Seribu?" Gofar setengah berteriak, tak percaya. Ia lantas menyerahkan handphone ke Jaka yang ada di sebelahnya.

"Zuk, yang namanya Kepulauan Seribu itu pulaunya tidak satu, banyak. Jadi menuju ke pulau mana? Pulau bidadari, Pulau Pramuka, Pulau Tidung, Pulau Bira atau pulau mana?"

"Aduh, maaf tuan bos, saya tadi belum nanya soal itu. Sebentar ya?"

Marzuki mendatangi Bruno yang tak berdaya untuk menanyakan ke pulau mana kapal boat yang ditumpangi Ramon dan Arni. Bruno pun menyebut ke sebuah pulau yang ada Kapal Pesiarnya.

Bruno tak tahu di nama pulau itu, karena Ramon dan Arni tak pernah menyebutnya.

Meski dipaksa hingga pipinya berdarah karena goresan pisau lipat, Bruno tetap saja tak bisa menyebut pulau apa. Marzuki kembali menelepon Gofar dan menyampaikan info bahwa Ramon dan Arni menuju sebuah kapal pesiar di Kepulauan Seribu.

"Kapal pesiar, yang beneerr...," teriak Gofar tak habis mengerti. Ia buru-buru mengabari Jaka.

Sang bos ternyata menujukkan reaksi serupa. "Apaa, dia mau ke sini. Yang beneerr..." (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun