Bruno tentu saja tak berani melakukan perlawanan. Saat bekerja pada bosnya yang pengusaha panti pijat beberapa tahun lalu, ia pernah menyaksikan orang ditodong menggunakan pistol. Karena melawan, orang itu didor beneran hingga tewas. Sang penodong kabur dan tak pernah terungkap kasusnya.
"Kamu sembunyikan dimana penumpangmu?"
"Penumpang ?"
Plaakkk, sebuah tempelengan keras mendarat di mukanya.
"Jangan pura-pura bego lu. Penumpangmu yang kamu bawa tadi. Satunya lelaki, satunya perempuan."
Bruno tak segera menjawab. Takut salah dan ditempeleng lagi.
Tapi justru karena diam, plaak... ia kena tempeleng kedua kalinya.
"Tadi saya mengantar sampai di sini. Trus mereka naik taksi," jawab Bruno berterus terang. Ia bingung karena serba salah menghadapi dua pria yang diduga para pemburu Ramon dan Arni.
"Kamu masih mau menyembunyikannya? Mau dibikin cacat ya?" Salah seorang dari pria itu mengeluarkan sebuah pisau lipat. Keterangan Bruno dianggap belum cukup.
"Buukk" Sebuah pukulan mendarat di rahangnya. Darah merah keluar dari mulut Bruno.
Melihat jiwanya makin terancam, ia pun mengatakan apa yang diketahuinya. Bahwa Ramon dan Arni menuju Marina Ancol karena aka ada seseorang yang menjemputnya menggunakan perahu motor.