Ringkasan sebelumnya: Perjalanan Arni menuju tempat persembunyian Ramon tak lancar. Mobil yang dicarternya menyengol sepeda motor. Ramon memerintahkan Arni untuk mengantar pengendara sepeda motor itu ke rumah sakit dan menjamin seluruh biayanya. Selengkapnya…
Sambil menunggu kedatangan Arni yang masih lama, Ramon minta izin untuk ke warnet. Ustadz Mahfud mengizinkan, bahkan memerintahkan salah satu stafnya mengantar Ramon ke lokasi warnet yang paling baik.
Seperti di Jakarta dan Surabaya, di Sidoarjo juga sudah menjamur usaha warnet dan bisnis game online. Kemajuan tehnologi internet tampaknya tak bisa dihindari oleh manusia dimanapun berada.
Saat membuka alamat email dan facebooknya secara bersamaan, ternyata banyak pesan yang masuk via inboxnya. Ada yang penting, agak penting hingga email sampah. Ada juga yang ngirim gambar esek-esek, hobil lama saat Ramon belum benar-benar insyaf.
Salah satu email yang pertama ia buka adalah kiriman dari Jamila, istri Jaka. Email dari perempuan yang disia-siakan suaminya itu bahkan datang beruntun. Mungkin karena tak bisa mengontak dirinya, informasi dari Jamila seputar perkembangan usaha dan kegiatan suaminya, disampaikan via email.
Seperti pernah disinggung sebelumnya, Jaka menikahi Jamila bukan atas dasar cinta, tapi karena punya kepentingan politis. Yakni agar perkembangan bisnis yang membutuhkan backing kuat, lancar karena pengaruh kekuasaan mertuanya. Saat itu, orangtua Jamila adalah seorang perwira tinggi yang berpengaruh di Surabaya dan sekitarnya.
Sebaliknya, Jamila sebenarnya tak cinta-cinta amat pada suaminya. Ia terkesan pada Jaka karena penampilannya yang keren dan high class. Di kalangan teman-teman pergaulannya yang gemar dugem, Jaka dikenal sebagai pria tajir.
Namun kini Ramon seperti kacang yang lupa kulitnya. Ia melupakan peran mertuanyayang sudah tak berkuasa dan sakit-sakitan. Jangankan menghormati, membesuk pun tak dilakukannya saat sang mertua dirawat di rumah sakit. Itu yang membuat Jamila sakit hati.
Ia tahu bahwa suaminya tak sungguh-sungguh mencintai dirinya. Ia mungkin juga tahu bahwa suaminya sesungguhnya seorang gay. Dan pasangan intimnya tak lain adalah Ramon.
Satu pesan baru masuk inbox facebooknya. Pesan itu dari Jamila.
“Ini Jamila, jalur chatnya buka bentar saja Mon”.
Ramon lalu menglik kamar chatting di sisi bawah kanan halaman facebooknya. Tak lama kemudian muncul sapaan dari Jamila.
“Ramooon, kamu kemana aja.”
“Nggak kemana-mana, cuma di sekitar Jawa, kok.”
“Jawa? Sekarang posisinya dimana?”
“Masih di Jawa”
“Halah, GJ kamu!”
“Apaan GJ?”
“Gaakkk Jelaaasss”
“Hahaha…”
“Eh, ngobrolnya pakai telepon saja yuk. Takut ketahuan Jaka. Ia kan masih berteman dengan kita. Berapa nomormu?”
“Aku saja yang nelepon kamu, Mil. Masih hapal kok nomornya.”
Keduanya offline. Dilanjutkan ngobrolnya via telepon selular.
Jamila bilang ia kerap ditelepon Jaka untuk mengetahui keberadaan Ramon. Sempat yang bersangkutan tak percaya jika Jamila tak mengetahuinya. Jaka akhirnya tak pernah menelepon lagi karena ia yakin Jamila memang benar-benar tak tahu.
Tapi kemarin, Jaka mengirim kabar Jamila via BBM bahwa Ramon kabur lagi.
“Kayaknya ia marah banget. Dia bilang akan membunuhmu jika menemukannya.”
“Aku tahu. Makanya aku mau kabur ke sebuah tempat di luar Pulau Jawa. Maaf aku tak bisa memberi tahumu lokasinya ya Mil?”
“Nggak masalah, aku paham kok. Saranku, jangan terbang melalui Bandara Juanda di sana banyak berkeliaran mata-matanya Jaka.”
“Oh begitu ya. Terus lewat mana?”
“Kamu langsung cari penerbangan dari Jakarta. Cari penerbangan yang langsung ke kota tujuanmu. Di sana kan banyak pilihannya. Jangan yang transit lagi di Surabaya.” Jamila seakan tahu bahwa Ramon akan pergi ke daerah Indonesia bagian Timur.
“Terimakasih sekali infonya Mil. Aku akan ikuti saranmu. Aku akan terus mengonakmu. Tapi nomor HPnya ntar gonta-ganti. Jangan kaget ya. Biar aman”
“Okelah. Hati-hati di perjalanan. Mudah-mudahan lancar dan selamat,” ucap Jamila.
Saat hendak menutup telepon, Jamila mengangkat lagi karena mendengar Jaka menanyakan sesuatu.
“Ya, ada yang kurang, Mon?”
“Sori Mil, nasib Jarpul gimana? ”
“Jarpul? Ooohh yang kamu tipu itu ya. Peduli amat sih?”
“Aku sebenarnya kasihan saat meninggalkannya dalam kondisi diborgol,” ucap Ramon lirih. Ia tak mungkin mengungkapkan bahwa pria itu sebenarnya adalah suami Arni, wanita yang akan dipersuntingnya.
“Paling dihabisin!”
“Apa, dibunuh?”
“Kamu ini apa-apaan sih. Kaya nggak kenal pacarmu saja!”
“Iya...suamimu emang RT"
"Apaan RT"
“Rajaaa Tegaaaa...”
“Hahaha...dasar GJ”
Telepon pun ditutup. Pembicaraan berakhir. Rasa sesal dan khawatir bercambur jadi satu di hati Ramon.
***
Begitu Arni muncul, Ramon segera menghambur dan memeluknya dengan perasaan sukacita. Ia memeluk Arni seolah memeluk istri yang sudah lama tak dijumpainya.
Sebelum mengajak Arni untuk diperkenalkan dengan Ustadz Mahfudz, Ramon terlibat pembicaraan dengan sopir mobil carteran yang mengantar Arni.
Ramon menawari untuk mengantarnya ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tadinya sang sopir menolak karena terlalu jauh dan ia belum minta izin sama istri di rumah. Namun ketika disodori ongkos yang besar dan dijanjikan dibelikan pakaian pengganti, sopir itu segera mengiyakan.
Arni sendiri bengong mendengarkan pembicaraan Ramon dengan si sopir. Ia tadinya membayangkan akan bisa istirahat sambil melepas kangen dengan Ramon di Sidoarjo. Ia juga sempat membayangkan duduk di sebelah Ramon mengucapkan ikrar janji dalam sebuah pernikahan siri.
“Kita nggak punya banyak waktu sayang. Kita harus tancap ke Jakarta. Kita akan terbang ke tempat aman,” ujar Ramon kepada Arni yang masih bengong.
Lalu Ramon memperkenalkannya Arni kepada Ustadz Mahfudz. Sang ustadz bersama istrinya, menerima Arni dengan ramah. Mereka terlibat basa-basi sebentar. Setelah itu Ramon pamit akan langsung membawa Arni ke Jakarta. Lalu terbang ke sebuah tempat yang mudah-mudahan tak bisa dilacak.
Ustadz Mahfudz terkejut dan sempat mencegahnya. Namun tampaknya percuma. Ia hanya bisa mengiringi doa agar dua manusia yang sudah bertaubat itu diberi keselamatan Allah subhanahu wa ta’ala.
“Insya Allah suatu hari saya akan kemari lagi Ustadz. Bersama calon istri saya ini.”
Air mata tampak menetes di pipi istri Ustadz Mahfudz saat mengantar kepergian Ramon dan Arni. Sebagai wanita ia punya firasat bahwa perjalanan pasangan itu tak akan mudah. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H