Telepon pun ditutup. Pembicaraan berakhir. Rasa sesal dan khawatir bercambur jadi satu di hati Ramon.
***
Begitu Arni muncul, Ramon segera menghambur dan memeluknya dengan perasaan sukacita. Ia memeluk Arni seolah memeluk istri yang sudah lama tak dijumpainya.
Sebelum mengajak Arni untuk diperkenalkan dengan Ustadz Mahfudz, Ramon terlibat pembicaraan dengan sopir mobil carteran yang mengantar Arni.
Ramon menawari untuk mengantarnya ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Tadinya sang sopir menolak karena terlalu jauh dan ia belum minta izin sama istri di rumah. Namun ketika disodori ongkos yang besar dan dijanjikan dibelikan pakaian pengganti, sopir itu segera mengiyakan.
Arni sendiri bengong mendengarkan pembicaraan Ramon dengan si sopir. Ia tadinya membayangkan akan bisa istirahat sambil melepas kangen dengan Ramon di Sidoarjo. Ia juga sempat membayangkan duduk di sebelah Ramon mengucapkan ikrar janji dalam sebuah pernikahan siri.
“Kita nggak punya banyak waktu sayang. Kita harus tancap ke Jakarta. Kita akan terbang ke tempat aman,” ujar Ramon kepada Arni yang masih bengong.
Lalu Ramon memperkenalkannya Arni kepada Ustadz Mahfudz. Sang ustadz bersama istrinya, menerima Arni dengan ramah. Mereka terlibat basa-basi sebentar. Setelah itu Ramon pamit akan langsung membawa Arni ke Jakarta. Lalu terbang ke sebuah tempat yang mudah-mudahan tak bisa dilacak.
Ustadz Mahfudz terkejut dan sempat mencegahnya. Namun tampaknya percuma. Ia hanya bisa mengiringi doa agar dua manusia yang sudah bertaubat itu diberi keselamatan Allah subhanahu wa ta’ala.
“Insya Allah suatu hari saya akan kemari lagi Ustadz. Bersama calon istri saya ini.”
Air mata tampak menetes di pipi istri Ustadz Mahfudz saat mengantar kepergian Ramon dan Arni. Sebagai wanita ia punya firasat bahwa perjalanan pasangan itu tak akan mudah. (bersambung)