Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ini Dia Penyebab Anak Mogok Sekolah

4 Mei 2012   15:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:42 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kepribadian anak terpengaruh teman pergaulan, bukan sekedar hipotesa. Paling tidak pengalaman anak saya telah membuktikannya.

Hampir setahun anak bungsu saya (perempuan) bergaul dengan teman sepantaran (laki-laki) yang belum sekolah. Anak tersebut belum disekolahkan, dengan alasan umurnya belum cukup.

Sebaliknya anak saya sudah minta sekolah sejak umur 3,5 tahun. Kami sendiri tak memaksanya. Ia terpengaruh kakaknya dan beberapa tetangga yang sudah sekolah.

Si bungsu kemudian memilih sekolah sendiri. Ia begitu percaya diri untuk setiap hari datang ke sekolah, meski belum resmi terdaftar. Seperti bocah kecil pada umumnya, ia datang ke sekolah awalnya untuk sekadar menikmati taman bermain yang ada di sana.

Karena usianya belum cukup si bungsu memulai dari playgroup. Ia sangat antusias bersekolah, nyaris tak pernah ditungguin mbak atau mamanya. Hal itu beda sekali dengan kakaknya (lelaki) yang masih harus ditungguin hingga sekolah dasar.

Lalu, setahun kemudian, tetangga baru yang memiliki bocah sepantaran dengan si  bungsu tinggal di komplek perumahan kami. Si bungsu kemudian berteman baik. Kami senang-senang saja karena ia punya kawan main seusia.

Namun dalam perjalanan waktu, anak saya tiba-tiba mogok sekolah. Dengan alasan malas, ia lebih suka bermain dengan anak tetangga yang tak bersekolah tadi.  Hampir tiga bulan anak saya itu mogok tidak datang ke sekolah.

Kami sempat berkonsultasi dengan guru tentang penyebab si bungsu mogok sekolah. Dugaan kemudian mengarah pada kemungkinan ia trauma di sekolah karena pernah di ditinggal di WC sendirian. Kala itu guru tersebut mengaku mengantar anak saya ke WC, lalu sibuk dengan bocah lainnya yang berkelahi sehingga lupa pada anak saya.

Kami juga membicarakan tentang kemungkinan ia jadi malas bersekolah karena bergaul dengan anak tetangga yang tak sekolah tadi. Guru tersebut menduga hal itu ada pengaruhnya.

Karena berpikir masih anak-anak, kami tak memaksa untuk memisahkan pergaulan anak saya dengan anak tetangga tersebut. Toh masih anak-anak. Kami ingin anak saya melakukan kegiatan dengan tidak terpaksa; bermain hepi, belajar juga hepi.

Sejak naik di TK besar (TKB),  anak saya tak lagi bergaul dengan anak tetangga yang belum sekolah tadi. Dia pun jadi kembali bersemangat untuk ke sekolah. Bahkan, lebih bersemangat dari sebelumnya.

Ketika ditanya kenapa tak lagi main dengan anak tetangga seperti sebelumnya. Ia menjawab singkat: malesin. Maksudnya anak tetangga tersebut dianggap sudah membosankan.

Namun namanya juga anak, malesin yang dimaksud hanya tak mau bermain lagi bersamanya karena jika bertemu keduanya tetap akrab.

Kini anak saya lebih suka bergaul dengan teman sekolah dibanding para tetangganya. Sehari-hari yang dibicarakan adalah teman sekolah, bukan teman di sekitar rumah.

Saat pulang ke sekolah ia kadang mengajak teman sekolahnya (perempuan) bermain di rumah. Keduanya kadang-kadang saling menyebut teman sekolah sebagai pacar si A atau pacar si B.

Si bungsu jadi jarang bermain di luar rumah dengan anak sekitarnya. Ketika ditanya soal itu, dimulai melalui mbaknya, terjawab sudah alasannya.

"Takut kulit nya jadi hitam." katanya.

Kami  tersenyum dengan jawaban itu. Jangan-jangan jawaban kali ini terpengaruh teman sepergaulan di sekolahnya.

"Ah dasar anak perempuan," pikir saya. (Soalnya mana ada anak laki takut kulitnya hitam. iya kan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun