"Kenapa kamu menjadi tukang odong-odong"
"Pernah sih daftar jadi polisi tapi..."
"Jawab yang benar!!!"
Mardi buru-buru meralat ucapannya begitu melihat polisi di depannya jadi sewot karena tak senang dengan jawabannya. "Eh, maaf Pak. Saya butuh uang, lalu diajak teman jadi tukang odong-odong. Eh, keterusan sampai sekarang."
Sebelum melanjutkan interograsinya, polisi memberikan air putih mineral ukuran gelas plus sedotan dan menyuruh Mardi meminumnya. Sampai di situ Mardi bingung, sebenarnya apa yang diinginkan polisi dari seorang tukang odong-odong seperti dirinya?
Ia lalu mengingat-ingat, selama menjalani pekerjaan, perasaan tak punya musuh. Ia juga tak melihat ada pelanggan atau warga membenci pekerjaannya.
Malah setahu Mardi, banyak warga yang menyukai kehadirannya. Ini karena kehadiran Mardi dengan odong-odongnya dianggap mampu menghibur anak-anak kecil, terutama anak balita .
Apalagi ia tak memasang tarif yang mahal. Cuma Rp 500 satu lagu. Berarti kalau dua lagu Rp 1.000 per anak. Bila empat tunggangan odong-odongnya terisi penuh, hasilnya lumayan, sekali nggowes untuk satu lagu dapat Rp 2.000. Tapi satu anakpun yang naik ia tak boleh menolak, tetap menggowesnya dengan senang hati.
Banyak anak rewel lalu menjadi diam tatkala odong-odong Mardi datang. Lagu anak-anak yang menyertai odong-odong cukup membuat anak-anak nyaman. Bayangkan jika odong-odong tanpa lagu anak-anak? Pasti garing dan membosankan. Anak-anak tidak suka.
"Tukang odong-odong itu sebenarnya pelestari lagu anak-anak. Sebab lagu-lagu itu sudah jarang diputar lagi di radio dan televisi." Begitu yang pernah didengar Mardi dari seseorang, entah dari siapa.
Memang sih, sebagai tukang odong-odong, Mardi jadi kenal banyak orang, terutama langganannya. Mereka-mereka itu, ada yang ramah, ada pula yang jutek. Ada yang royal, tak sedikit juga yang pelit.