Meski mungkin terkait, Budiman tak berminat menceritakan bahwa kakek Marbuat juga berkategori sakti seperti itu.
"Mungkin saja sopir itu sudah tahu tanpa harus saya menceritakannya." Budiman menebak-nebak dalam hati.
***
Malam itu Budiman kembali menceritakan pengalaman si sopir kepada istrinya. Sang istri lalu mengenang sifat-sifat aneh sang kakek. Misal, ketika anak pertamanya sakit setelah disunat, kakek Marbuat datang dan meniup ubun-ubun anaknya agar cepat sembuh. Tak lama kemudian memang sembuh.
Kebiasaan sang kakek yang membiarkan rumahnya terbuka seolah membenarkan keanehan selama ini. Tak seperti rumah di kompleks itu pada umumnya, yang ditutup rapat bahkan dikunci saat malam tiba, rumah kakek tidak diapa-apakan.
Kaca jendela tanpa korden, apalagi teralis. Pagar juga dibiarkan selalu terbuka. Dari kejauhan saja bisa terlihat sebagian isi dari rumah kakek Marbuat.
Meski begitu rumah kakek aman-aman saja, tak pernah kecurian, apalagi dimasuki perampok. Justru rumah-rumah yang tertutup rapat yang pernah kemalingan.
Kata istri Budiman, di rumah sang kakek juga kerap tercium bau bunga dan kemenyan. Persis seperti aroma bau bunga malam itu yang menyebabkan ia beranjak masuk ke kamar tidur duluan. Kamar itu berada di lantai atas.
Budiman sendiri bertahan di meja komputer dengan alasan menyelesaikan tulisan. Ketika istrinya bertanya tulisan apa? Budiman menjawab tulisan fiksi horor untuk Kompasiana.
Baru lima menit ditinggal istri, tiba-tiba saja lampu penerang ruangan tempat ia bekerja padam. Budiman terkejut. Hatinya berdesir. Ia berusaha tak mengaitkannya lampu mati itu dengan kesaktian kakek Marbuat.
Setelah mengecek saklarnya, ternyata lampu itu bisa hidup lagi. Ia berkesimpulan sementara bahwa lampu itu memang waktunya diganti karena sudah lama.