Ada tiga jenis mikrolet yang melintas di Jalan Palmerah Barat, yakni mikrolet 09 (Tanah Abang-Kebayoran Lama), 9A (Tanah Abang-Kampung Baru) dan 11 (Tanah Abang Kebun Jeruk).
Di depan sebuah SD negeri di kawasan itu, biasanya para sopir mikrolet berhenti sejenak saat bubaran sekolah. Namun mereka tak pernah mau mengangkut sekelompok siswa SD tertentu meski mikrolet dalam keadaan kosong.
Pemandangan kontras yang hampir setiap hari saya lihat itu Kamis (9/6) kemarin mendapat jawaban. Salah seorang dari siswa SD itu langsung memohon seperti mengemis kepada sopir yang berhenti di depan sekolahnya.
"Please...," begitu kira-kira permohonan siswa tadi.
Sopir yang saya tumpangi ternyata langsung paham alias ngacir meninggalkan geng siswa SD tersebut.
Ketika saya tanya mengapa ia melakukannya, sopir itu menjawab bahwa para bocah SD itu minta tumpangan gratis. Karena jumlahnya sekitar 4 hingga 6 orang, ia terpaksa menolaknya. Selain akan merugi, kehadiran penumpang-penumpang gratis itu akan menutup peluang mengangkut penumpang lain.
"Dan kalau saya turuti, saya nggak mendidik mas. Ntar jadi kebiasaan," kilahnya seraya menyebut bocah-bocah SD itu biasanya turun di sekitar Rawabelong dan semua sopir sudah paham dengan gaya bocah-bocah tersebut.
Begitulah sopir itu kemudian mengkategorikan penyebabnya menjadi dua hal.
Pertama karena kebiasaan bocah-bocah itu sendiri yang menghabiskan uang jajan hingga tak tersisa uang untuk ongkos pulang. Kedua karena kebiasaan orangtua yang sengaja tak memberi uang untuk angkutan karena bisa menumpang gratis.
"Kalau menurut saya, faktor orangtualah penyebab utamanya. Bocah-bocah itu kan pasti menurut apa kata orangtua," simpul sang sopir mikrolet tadi.
Benarkah karena orangtua? Saya sendiri tak mau menapikan faktor yang pertama.