SETELAH mendengar keluhan tentang tingkah para reporter dari redakturnya, seorang pemimpin redaksi memerintahkan staf kepercayaannya untuk menanyai balik reporter tentang perilaku para redaktur.
"Biar cover both side," kata Winda, staf kepercayaan sang pemred serius.
Winda tentu saja melakukan misinya secara diam-diam. Beberapa reporter yang dianggap bisa mengungkapkan tingkah redaktur ia dekati, bila perlu ia traktir makan. Sepekan kemudian ia menghadap sang bos untuk memberikan hasil penyelidikannya.
"Perilaku redaktur bisa terbaca melalui isi SMS yang telah ia kirimkan ke reporternya," kata Winda membuka percakapan.
"Dan ini ironis sekali, Pak. Hampir semua redatur tak peduli dengan dampak isi SMS yang telah dikirimkan ke anak buahnya. Kalau bapak punya waktu, silahkan nanti tanya sendiri ke mereka (redaktur)," kata Winda lagi.
Winda lalu menyebut tiga isi SMS yang dianggapnya paling menonjol. SMS pertama berisi "Ente kemana aja, ayo listing! Jangan loyo..."
SMS tersebut ternyata sangat menyinggung reporter yang menerimanya. "Tahu apa sih dia menuduh kita loyo, menelepon saja kagak pernah," kata reporter yang mengaku menerima SMS tersebut.
Singkat cerita, reporter tersebut, akhirnya hanya memburu kuantitas tanpa memedulikan kualitas berita.
SMS kedua berisi. "Cuma nanya nih. Apakah benar foto tersebut kamu yang ambil." Pertanyaan sang redaktur sebenarnya berawal dari kebiasaan si reporter yang suka mengkloning berita, bahkan foto. Ketika itu ia ingin mendapatkan kejujuran, cuma cara dan waktunya yang kurang tepat.
Sebab ketika SMS itu dikirim, reporter yang bersangkutan sedang di lokasi. Tentu saja selain melakukan wawancara ia pun mengambil gambar alias memotret. Maka begitu menerima SMS tersebut, hatinya langsung mendidih.
"Sialan, sudah disepelekan sumber. Masih nggak dipercaya kantor lagi," kata si reporter tadi.
Selanjutnya, ia pun hanya nulis apa adanya. Tulisan panjang yang sudah ia rencanakan tak pernah lagi ia buat. "Sudah nggak nafsu," ucapnya singkat.
Selanjutnya SMS terakhir adalah. "Jangan lupa lanjutkan kasus A, tetap semangat!." Reporter yang dikirimi SMS tersebut ternyata langsung membalas pesan SMS tersebut. "Ia nih bos. Sudah dua hari nggak semangat, apa karena cuaca mendung atau apa saya nggak tahu?"
Dua jam kemudian ia melaporkan hasil penugasan yang sudah diperintahkan redakturnya.
Kesimpulan Winda, isi SMS sangat penting dalam hubungan atasan- bawahan, redakur-reporter. SMS yang meremehkan dan menuduh sebaiknya dihindari. Sebaliknya SMS bersahabat perlu disosialisasikan.
Diam-diam Winda membocorkan hasil survei tersebut kepada seorang redaktur yang memiliki hubungan spesial dengannya.
Begitu SMS itu dipraktekan, si redaktur tadi tergopoh-gopoh menemui Winda dan menunjukkan SMS balasan dari reporternya.
"Tetap semangat apaan? Gua lagi kehujanan tauuu..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H