Mamat hanya tersenyum saat membaca pengumuman lomba membuat tulisan inspiratif di kantornya. Ingin rasanya ia ikutan lomba itu, tapi apa daya, ia bukan golongan yang memenuhi syarat dalam perlombaan yang dimaksud.
“Tapi kalaupun boleh, mana aku bisa menulis. Aku kan bukan jurnalis,”kata Mamat seolah membuyarkan lamunan yang dibikinnya sendiri.
Ya Mamat sudah setahun lebih bekerja di perusahaan tersebut sebagai office boy (OB). Ia senang meski posisinya sebagai karyawan paling bawah dengan status outsourcing pula. Mamat bahkan merasa seperti bagian dari keluarga besar di perusahaan tersebut.
Ia hafal dengan kebiasaan hampir semua karyawan di perusahaan itu. Ia juga mengenal karakter masing-masing bidang seperti di bagian wartawan, SDM, TI, produksi, sekertaris redaksi dan sebagainya.
“Tak ada yang bisa mengerjakan semua bagian. Setiap orang punya keahlian masing-masing, “ pikir Mamat sambil mencuci gelas-gelas kotor yang menjadi salah satu tugas kesehariannya.
Dan untuk bisa ahli, tak bisa diperolehnya secara gratis. Harus sekolah, belajar tiada henti, dan latihan setiap hari. “Tapi selain itu, nasib seseorang juga ikut menentukan,” ucap Mamat lagi, lalu tersenyum sendiri.
Ia lantas membandingkan dengan rekan-rekan sekolahnya di SMA yang masih menganggur. Cerita para karyawan lain yang ia kenal juga seperti itu. Banyak sarjana pengangguran di luar sana. Membayangkan itu, Mamat merasa bersyukur. Paling tidak nasibnya masih lebih baik dibanding beberapa kawan sekolahnya.
Karena hidupnya dipenuhi rasa syukur, Mamat menjalankan kesehariannya tanpa beban. Ia pun seolah menjelma menjadi OB paling dikenal di kantor tempatnya bekerja. Sebaliknya Mamat bukan hanya kenal orang per orang, ia juga hafal selera setiap orang di kantor tersebut.
“Mat, beri aku inspirasi dong. Aku disuruh bikin tulisan inspiratif nih,” ucap seorang wartawan mengagetkan Mamat.
Namun Mamat sadar bahwa wartawan itu tak serius minta pendapatnya. Karena itu ia juga tak menanggapinya. “Bagaimana kalau saya bikinin kopi, bos,” ucap Mamat.
Wartawan itu mengangguk. Mamat pun langsung mengambil cangkir dan menyeduh kopi saset merek tertentu yang menjadi favorit sang wartawan.
Usai menyeruput kopi, wartawan itu kembali ke meja kerjanya untuk menulis sesuatu. Mamat mengira ia menulis berita biasa seperti kesehariannya.
Membuatkan kopi, membelikan makanan, minuman, hingga rokok, merupakan tugas keseharian Mamat. Ia menjalaninya dengan senang hati. Agar tak repot dalam menyediakan pesanan tertentu yang rutin ia terima, Mamat berinisiatif menyediakan sendiri kebutuhan itu dan dijualnya setelah pekerjaan wajibnya selesai.
Apa yang dilakukannya cukup efektif. Kebutuhan karyawan dan wartawan akan makanan dan minuman kecil terpenuhi sementara pekerjaan Mamat menjadi lebih ringan.
Lalu apakah Mamat memperoleh keuntungan rupiah yang besar dengan pekerjaan sambilannya itu? Beberapa orang sempat mencandainya dengan panggilan Alfamat, plesetan nama minimarket yang sedang menjamur belakangan ini, Alfamart. Tapi soal berapa besar keuntungannya, hanya Mamat yang tahu.
Yang pasti, ia menerapkan konsep kantin kejujuran dalam menjual makanan dan minuman ringan setiap sore. Yakni mempersilahkan setiap orang mengambil barang sendiri dan menaruhnya uang dalam kaleng yang disediakan.
Kantin kejujuran di negeri ini pernah menjadi tren dan bermunculan dimana-mana. Namun kini nyaris tak pernah terdengar lagi kabarnya. Sebagian besar tutup dan bangkrut karena terbukti susah mengandalkan kejujuran pembeli di negeri ini. Di kantor Mamat juga sudah beberapa kali model seperti itu muncul, namun tak bertahan lama. Apakah Mamat akan mengalami hal seperti itu? Sekali lagi hanya Mamat yang tahu.
“Mat beli kopi lagi ya. Nih, sekalian aku bayar yang kemarin-kemarin,” kata wartawan yang pernah menanyakan ide tulisan insipartif kepadanya.
Tidak seperti sebelumnya yang kusut, wajah wartawan tersebut kali ini lebih cerah. “Makasih ya Mat, kamu telah memberiku ide untuk tulisan inspiratif,” ucap wartawan tersebut sambil berlalu.
Mamat bingung. Ia merasa tak pernah memberinya ide inspiratif. Toh, seperti biasa, ia tak mempersoalkannya.
Orang seperti Mamat mungkin tak bisa memberikan usulan ide untuk sebuah tulisan inspiratif. Tapi apa yang dikerjakan dalam kesehariannya bisa memberi inspirasi bagi banyak orang.
* Tulisan ini akhirnya menjadi pemenang harapan pada akhir Maret lalu dan hadiahnya berupa voucher ke Waterbom di BSD sudah diberikan kepada Mamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H