Mohon tunggu...
Deswita Maharani
Deswita Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

bukan artis, namanya emang deswita maharani | Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Representasi Wanita dalam Iklan Keju Prochiz Edisi Ibu Bekerja atau Ibu Rumah Tangga

22 Juni 2023   00:12 Diperbarui: 22 Juni 2023   00:26 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Feminisme tentu bukan sesuatu yang asing lagi untuk diperbincangkan di zaman sekarang. Banyak platform digital dan juga periklanan menyinggung soal feminisme dalam suguhannya. Dalam hal ini saya mengangkat tema feminisme dalam artikel saya, dan akan saya kaji terkait dengan representasi feminisme yang ada dalam iklan Keju Prochiz edisi #CeritaSpesialPROCHIZ "Ibu Bekerja atau Ibu Rumah Tangga".

Seperti yang dinyatakan oleh Graeme Burton, representasi mengacu pada lebih dari sekedar deskripsi karakter individu. Ini juga mengacu pada cara pengelompokan tertentu didefinisikan (Burton, 2012: 137). Gambaran tentang sebuah institusi adalah jenis representasi lainnya. Orang dapat membuat dan meningkatkan representasi kelompok tertentu melalui dialog dalam kehidupan sehari-hari. Namun, jenis representasi menjadi lebih jelas di media massa, khususnya televisi, terutama karena didukung oleh teknologi yang lebih maju, semakin efektif citra disampaikan.

Karena mereka menciptakan makna mengenai kelompok tertentu, stereotip dan representasi sering digunakan secara bergantian. Namun, representasi dan prasangka sebenarnya memiliki makna yang berbeda.  Mari kita bahas fenomena perempuan di media selanjutnya. Wanita di media sering menjadi pembuka percakapan yang menarik dan tidak pernah berakhir. Untuk mencegah prasangka gender, maka kesetaraan gender yang selama ini diusung idealnya menjadi jaminan bahwa perempuan akan diperlakukan sama dengan laki-laki, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Dalam situasi ini, peran media sebagai alat pendidikan menjadi sangat penting untuk memajukan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan. Pada kenyataannya, kehadiran media memberikan ruang bagi perempuan untuk menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mengekspresikan diri dan penemuannya dalam kehidupan sosial. Selain menggunakan perempuan sebagai alat untuk menghasilkan pendapatan untuk tujuan individu dan kelompok, media massa memiliki kewajiban yang signifikan untuk berfungsi sebagai saluran penyebaran pengetahuan kepada masyarakat umum.

Selanjutnya kita akan berbicara tentang tema gender dalam iklan. Iklan memang mengandung tema terkait gender. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dilakukan setidaknya melalui enam tema gender yang terpisah, menurut Coofman dalam Martadi (2001). Ini adalah perbedaan gender:

  • Ukuran relatif/relative size, khususnya dalam kaitannya dengan tinggi dan rendah, digunakan untuk menekankan pentingnya perhatian laki-laki terhadap perempuan;
  • Sentuhan feminism, sentuhan lembut dan halus dari seorang wanita yang sama sekali tidak menarik;
  • Peringkat dari fungsi/function ranking, laki-laki mengarahkan, sedangkan perempuan hanya menyaksikan atau dibimbing;
  • Keluarga/family, dengan ayah tetap berhubungan (dan jauh) dengan anak laki-lakinya, sedangkan ibu tetap berhubungan dengan anak perempuannya atau dunia wanita;
  • Ritualisasi subordinasi/the ritualization of subordination, dimana perempuan tampak relatif tidak mampu beradaptasi dengan situasi (sering kali dengan emosi yang meluap-luap atau dibingungkan oleh hal-hal sepele), dan bergantung pada laki-laki.
  • Penarikan berlisensi/licensed with drawal, dimana seorang wanita tersenyum dan bercanda dengan posisi lebih rendah dan kepala serta badannya dimiringkan, menunjukkan status subordinasi di depan laki-laki.
  • Selain enam ciri yang disebutkan di atas, perempuan sering dipekerjakan dalam iklan semata-mata sebagai pengisi atau penghias aspek daya tarik. Selain itu, karakteristik stereotip wanita seringkali terlalu ditekankan. Tubuh wanita biasanya digunakan sebagai alat peraga dalam iklan karena alasan estetika.

Feminisme secara umum adalah keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama, dengan perempuan memiliki hak yang sama atas kebebasan berekspresi dan bertindak seperti laki-laki. Dalam iklan Keju Prochiz edisi #CeritaSpesialPROCHIZ "Ibu Bekerja atau Ibu Rumah Tangga" misalnya, konsep iklan yang dipilih menceritakan kisah dua wanita yang, meskipun memiliki pekerjaan terpisah, berbagi pekerjaan sebagai seorang ibu. Dari alur cerita iklan ini, seorang tokoh wanita (Irma) sang ibu rumah tangga, sempat iri dengan sahabatnya, Hana yang berprofesi sebagai wanita karier. 

Hana memiliki karier yang bagus di luar rumah, di samping itu ia juga memiliki anak yang berprestasi di sekolah dan sering membawa piala. Dalam suatu waktu, Irma menyesali keputusannya berhenti kerja dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Ketika Irma mengetahui bahwa Hana (dalam sebuah adegan di sebuah toko) mendapatkan peningkatan karir, ia menjadi putus asa dan tidak bahagia sampai-sampai (dalam sebuah diskusi), Irma menganggap parodi yang keras tentang Hana. Dalam adegan ini, Hana dan Irma bertemu dalam sebuah tempat makan, saat itu Irma yang kesal terhadap Hana mengucapkan "Biar aku bukan wanita karier, aku juga mampu kok traktir kamu." 

Dari dialog tersebut dapat kita lihat, bahwa memang stereotip "Ibu Rumah Tangga" di kalangan sekarang bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan. Mungkin dari segi ekonomi, atau kecerdasan intelektual dan lain sebagainya memang banyak yang masih memperbincangkan bahkan sampai dijadikan bahan perbandingan. 

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Detik.com kepada Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani mengambil contoh "orang bisa sekolah sama-sama bagus, kita lihat saja dari sisi partisipasi sekolah sudah sama, SMP sudah mulai kurang, high education perempuan juga kurang. Begitu masuk universitas, biasanya indeks prestasinya lebih tinggi, konsisten karena biasanya mereka lebih tekun. Perempuan enggak macam-macam dan itu tidak hanya di Indonesia, di luar negeri juga sama. Tapi begitu dia sudah selesai graduated, perempuan banyak yang memilih tidak kerja, itu karena tadi by choice atau karena by default."

Kembali ke iklan, Hana benar-benar iri dengan Irma karena punya lebih banyak waktu untuk bonding dengan anaknya. Ia juga bersyukur memiliki teman seperti Irma yang sepertinya bisa menggantikannya saat sedang bekerja dengan mengantar anaknya ke kediaman Irma. Status hubungan mereka ditingkatkan dengan ucapan terima kasih Hana.

Pengalaman banyak perempuan di masa kini, ketika mereka masih dikritik karena memilih bekerja full-time atau tinggal di rumah, sangat relevan dengan narasi ini. Bagi perempuan yang masih lebih memilih satu posisi dibanding yang lain, pernyataan "tidak semua ibu itu sama, tapi semua ibu itu istimewa" yang muncul di akhir iklan berfungsi sebagai reminder.

Lalu apa hubungannya dengan feminisme? Analisis saya terhadap iklan ini berkaitan dengan pesan yang di tampilkan pada iklan terakhir "tidak semua ibu sama, tapi semua ibu spesial". Spesial dalam arti, apa pun profesinya, bagaimana pun cara dia men-treat, dia tetaplah menjadi seorang ibu. Ibu yang berperan untuk anaknya, ibu yang mengayomi, mengurus, memperlakukan, dan mendidik anaknya dengan baik. Menjadi seorang ibu rumah tangga atau seorang wanita karier itu hanya sebuah pilihan. Seperti kutipan yang saya ambil dari Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani mengatakan bahwa itu hanya by choice, atau pilihan. 

Wanita juga bisa menjadi wanita karier sama halnya dengan laki-laki, bahkan bisa berperan mengambil dua profesi sekaligus, seorang wanita karier dan seorang ibu. Jika kita berpikir secara rasional dan lebih modern, hal seperti ini seharusnya sudah menjadi sesuatu yang wajar. 

Namun, stereotip yang timbul dari ideologi atau pemahaman masyarakat tradisional mengenai wanita yang tidak boleh bekerja, yang harus di rumah saja, yang harus mengurus anaknya saja, kita tidak dapat lepas dari itu karena stigma seperti itu hanyalah sebuah 'budaya' yang memang sudah ada, budaya yang turun temurun di wariskan dalam bentuk pemikiran yang hingga pada akhirnya terbawa sampai sekarang. Seiring dengan adanya pergeseran budaya modern, dalam hal ini adalah ideologi, pemikiran yang sudah mengakar pada karakteristik masyarakat modern adalah pandangan terhadap wanita, representasi perempuan selayaknya sudah menjadi sebuah kesetaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun