Gelombang populisme deras menghanyutkan musim pemilu pada beberapa dekade terakhir, bahkan pada musim pemilu tahun ini. Narasi pro-rakyat dalam baliho-baliho demokrasi yang menyaru dengan janji manis politisi nampaknya masih menjadi senjata ampuh guna menarik hati pemberi suara.
Populisme sebagai strategi dan gagasan yang mengambil posisi kontra atau anti-elite dan gaya komunikasi tertentu dalam bahasa rakyat guna meningkatkan popularitas pemakainya dalam lahan politik kemudian menjelma gerakan sosial yang tak habis-habis digunakan sebagai strategi manakala politik mesti diinternalisasi menjadi kepentingan bersama.Â
Berbagai pendekatan mencoba memetakan apa yang dimaksud dengan populisme, pendekatan sosio-ekonomi yang dominan pada studi di Amerika Latin era 1980--1990-an, Dornbusch dan Sachs misal, memahami populisme sebagai bentuk dari kebijakan ekonomi yang tidak bertanggung jawab, diwujudkan dengan belanja pemerintah yang masif yang melibatkan terlalu banyak redistribusi kekayaan dalam prosesnya.Â
Pendekatan yang lebih baru menggambarkan populisme sebagai strategi politik guna meraih kekuasaan yang memanfaatkan mobilisasi massa; pendekatan ini juga menekankan peran aktor yang merepresentasikan diri mereka sebagai "yang berdiri bersama rakyat" guna melawan "elite politik", seperti yang saya kutip dari jurnal Mudde, C., & Kaltwasser, C. R. pada tahun 2017 yang berjudul Populism: A very short introduction.
Dalam tulisan ini, akan sedikit dibahas mengenai bagaimana ide populisme amat menjamur, terutama di Indonesia dan negara-negara lain yang elite politiknya masih menonjolkan sentimen kolektivitas dan peduli rakyat. Pertanyaannya, apakah populisme baik dimaknai sebagai gerakan, ideologi, cara berkomunikasi, maupun strategi secara substansial benar-benar secara pragmatis dipakai oleh para politisi untuk memihak pada rakyat atau semata menjadi alat demagog politik saja?
Cas Mudde dalam tulisannya di tahun 2004 yang berjudul "The Populist Zeitgeist. Government and Opposition"Â mendeskripsikan populisme sebagai ideologi yang menganggap masyarakat terbagi secara absolut dalam dua kelompok homogen dan antagonis; 'rakyat yang murni' melawan 'elite yang korup'. Homogenitas yang diatasnamakan dalam populis erat kaitannya dengan identitas.Â
Entah itu agama, ras, ataupun hal lain yang melekat erat dalam diri individu; karenanya homogenitas erat dengan eksklusivitas dan alienasi terhadap kelompok yang tak termasuk dalam kesamaan itu.Â
Dalam hal ini, populisme menawarkan penindasan dan penderitaan rakyat sebagai unsur kerekatan untuk mengambil tempat berlawanan dengan para elite yang dianggap sebagai "si antagonis" dan rakyat digambarkan sebagai identitas luhur yang baik.
Demikian, seorang politisi atau elite yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pro-rakyat dan anti-elite membangun sentimen dalam citranya sebagai sosok yang populis. Ufen A di tahun 2019 membuat referensi dalam tulisannya "Populisme dan Dampak Ekonomi dan Politiknya yang Ambivalen", dan "Populisme, Politik Identitas dan Erosi Demokrasi di Abad ke-21".Â
Menurutnya di dalam dikotomi antagonis "si baik" dan "si jahat" menurut pendekatan Mudde, akan selalu ada pihak yang tak semata sebagai musuh. Di negara seperti Amerika Latin, gelombang populisme dan demagog, elite politik yang menerapkan prinsip populisme dilihat sebagai penyebab terkikisnya demokrasi sebab keberadaan mereka dapat merujuk pada ketiadaan check and balances antar-eksekutif, strategi manipulatif dalam pemilihan, kontrol besar oleh pemerintah terhadap media, dan proteksi rendah terhadap minoritas, sebuah referensi lain dari tulisan Yuko Sato & Moises Arce pada tahun 2022 yang berjudul "Resistance to populism, Democratization".
Hal ini membuat ide populisme menjadi kontradiktif, sebagai pembawa konsep pro-rakyat dan perlawanan elite, fenomena yang banyak terjadi justru panji-panji kerakyatan yang dibawa elite politik dalam praktiknya justru membawa mereka pada otoritarianisme yang mengekang hak-hak rakyat. Tanpa benar-benar merangkai solusi untuk permasalahan konkret yang dihadapi rakyat di lapangan, elite politik menggunakannya hanya sebagai instrumen oposisi yang tidak substantif.
Di Indonesia, fenomena demagog populisme dapat dilihat dengan mata telanjang. Unsur populis yang mudah untuk digodok adalah agama. Konservatisme yang menjamur di Indonesia menjadi bantal empuk bagi elite untuk menyuburkan populisme. Pemilihan Presiden pada 2019 lalu menjadi salah satu contoh. Jokowi sebagai Calon Presiden menggandeng Maaruf Amin untuk menghapus stigma anti-islam yang melekat pada dirinya. Cara ini terbukti ampuh. Sebab, dengan strategi populisme islam seperti ini, Jokowi menarik simpati kelompok Islam konservatif dan moderat seperti Nadhlatul Ulama (NU) dan mengantongi suara di daerah dengan basis pemilih islam moderat; Jawa Timur dan Jawa Tengah. Seperti yang saya referensikan dari jurnal ilmiah tulisan Sihidi, I. T., Roziqin, A., & Suhermanto, D. F di tahun 2020 lalu yang berjudul "Pertarungan Populisme Islam dalam Pemilihan Presiden 2019".
Populisme sayap kanan yang diusung oleh Jokowi juga tak terlepas dari ideologi nasionalisme radikal yang cenderung lekat pada dirinya, yang juga dijadikan ideologi utama dalam partai yang mengusung ia yakni PDI- Perjuangan. Didirikan oleh Soekarno sebagai keberlanjutan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tahun 1965, partai ini cenderung berideologi nasionalis radikal. Ideologi nasionalis radikal ini kemudian dituangkan pendirinya dalam ide nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) yang menonjolkan marhaenisme. Meski membawa ideologi komunisme, namun marhaenisme yang dicetuskan Soekarno kini dilegitimasi oleh PDI-Perjuangan sebagai bagian dari populisme. Dengan slogan "wong cilik" sebagai branding partai beserta elite di dalamnya sebagai aktor-aktor populisme Indonesia, PDI-Perjuangan tetap pada spektrum ideologi kiri yang diusungnya.
Para populis cenderung menempatkan diri mereka di sisi rakyat sehingga seolah-olah mengetahui apa yang berada dalam benak rakyat yang riil. Hal ini kemudian berimplikasi pada proses pembuatan kebijakan yang tak lagi menjadi proses kompleks dengan keterlibatan kelompok kepentingan yang berbeda untuk menggapai titik temu.Â
Pembuatan kebijakan publik semata diwujudkan hanya oleh kepentingan rakyat yang kiranya dapat menjadi perekat kolektif guna menarik hati rakyat itu sendiri. Hal ini wajar, sebab populisme yang berangkat sebagai sub-cabang dari politik identitas menjadikannya gerakan retorik yang mereduksi masalah-masalah politik konkret, kata Velasco A pada jurnalnya di tahun 2022 yang berjudul "Populism and identity politics. In Populism: Origins and Alternative Policy Responses".
Populisme tak hanya mencanangkan homogenitas yang lekat dengan anti-pluralistik, ia juga dibuat seakan hanya menjadi saluran kekuasaan bagi para politisi. Misalnya saja saat kalah dalam elektabilitas, kelompok populis cenderung menunjuk pada manipulasi sistem dalam penafsiran mereka terhadap realita. Bukannya melaksanakan proses demokrasi di mana rakyat diberi alternatif untuk memilih, melainkan hanya jalan untuk melegitimasi pihak populis bahwa mereka adalah pihak luhur yang mesti mewujudkan kehendak rakyat.
Populisme hanya menjadi kotak kosong bagi pemburu kekuasaan. Politisi merangkainya menjadi cuap-cuap pemenang hati rakyat tanpa mau melihat realitas sosial yang ada. Populisme baik dari sayap kanan maupun kiri, tak membuat variasi ideologi dan kutubnya memiliki polaritas yang berarti di Indonesia. Justru gerakan populis hanya digunakan tim politik untuk menjadi oposisi dari sesama elite dan bukan memperjuangkan hak-hak rakyat, bahkan secara substantif pun, populisme minim aspek pragmatis yang beritikad menyelesaikan problem di lapangan.
Pluralisme politik hanya menjadi khayalan utopis dalam kerangka populisme yang di mana populisme senantiasa merekonstruksi sekat-sekat untuk pihak yang dianggap sebagai oposisinya dengan menjual isu dan situasi. Jika saat itu masyarakat memiliki religiusitas tinggi, sentimen dibangun di atas fondasi agama. Jika masyarakat memiliki etnosentrisme kental, maka sentimen rasial adalah sasarannya.
Kontestasi politik kontemporer di lapangan dengan membawa populisme mestinya tak lagi dipandang sebagai strategi untuk memenangkan hati rakyat. Bahkan jika ingin secara pragmatis menunaikan populisme sebagai konsekuensi demokrasi, populisme bukan lagi tentang keberpihakan pada rakyat, namun instrumen elite politik untuk melanggengkan status quo dalam sistem yang bobrok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI