Hal ini membuat ide populisme menjadi kontradiktif, sebagai pembawa konsep pro-rakyat dan perlawanan elite, fenomena yang banyak terjadi justru panji-panji kerakyatan yang dibawa elite politik dalam praktiknya justru membawa mereka pada otoritarianisme yang mengekang hak-hak rakyat. Tanpa benar-benar merangkai solusi untuk permasalahan konkret yang dihadapi rakyat di lapangan, elite politik menggunakannya hanya sebagai instrumen oposisi yang tidak substantif.
Di Indonesia, fenomena demagog populisme dapat dilihat dengan mata telanjang. Unsur populis yang mudah untuk digodok adalah agama. Konservatisme yang menjamur di Indonesia menjadi bantal empuk bagi elite untuk menyuburkan populisme. Pemilihan Presiden pada 2019 lalu menjadi salah satu contoh. Jokowi sebagai Calon Presiden menggandeng Maaruf Amin untuk menghapus stigma anti-islam yang melekat pada dirinya. Cara ini terbukti ampuh. Sebab, dengan strategi populisme islam seperti ini, Jokowi menarik simpati kelompok Islam konservatif dan moderat seperti Nadhlatul Ulama (NU) dan mengantongi suara di daerah dengan basis pemilih islam moderat; Jawa Timur dan Jawa Tengah. Seperti yang saya referensikan dari jurnal ilmiah tulisan Sihidi, I. T., Roziqin, A., & Suhermanto, D. F di tahun 2020 lalu yang berjudul "Pertarungan Populisme Islam dalam Pemilihan Presiden 2019".
Populisme sayap kanan yang diusung oleh Jokowi juga tak terlepas dari ideologi nasionalisme radikal yang cenderung lekat pada dirinya, yang juga dijadikan ideologi utama dalam partai yang mengusung ia yakni PDI- Perjuangan. Didirikan oleh Soekarno sebagai keberlanjutan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) pada tahun 1965, partai ini cenderung berideologi nasionalis radikal. Ideologi nasionalis radikal ini kemudian dituangkan pendirinya dalam ide nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) yang menonjolkan marhaenisme. Meski membawa ideologi komunisme, namun marhaenisme yang dicetuskan Soekarno kini dilegitimasi oleh PDI-Perjuangan sebagai bagian dari populisme. Dengan slogan "wong cilik" sebagai branding partai beserta elite di dalamnya sebagai aktor-aktor populisme Indonesia, PDI-Perjuangan tetap pada spektrum ideologi kiri yang diusungnya.
Para populis cenderung menempatkan diri mereka di sisi rakyat sehingga seolah-olah mengetahui apa yang berada dalam benak rakyat yang riil. Hal ini kemudian berimplikasi pada proses pembuatan kebijakan yang tak lagi menjadi proses kompleks dengan keterlibatan kelompok kepentingan yang berbeda untuk menggapai titik temu.Â
Pembuatan kebijakan publik semata diwujudkan hanya oleh kepentingan rakyat yang kiranya dapat menjadi perekat kolektif guna menarik hati rakyat itu sendiri. Hal ini wajar, sebab populisme yang berangkat sebagai sub-cabang dari politik identitas menjadikannya gerakan retorik yang mereduksi masalah-masalah politik konkret, kata Velasco A pada jurnalnya di tahun 2022 yang berjudul "Populism and identity politics. In Populism: Origins and Alternative Policy Responses".
Populisme tak hanya mencanangkan homogenitas yang lekat dengan anti-pluralistik, ia juga dibuat seakan hanya menjadi saluran kekuasaan bagi para politisi. Misalnya saja saat kalah dalam elektabilitas, kelompok populis cenderung menunjuk pada manipulasi sistem dalam penafsiran mereka terhadap realita. Bukannya melaksanakan proses demokrasi di mana rakyat diberi alternatif untuk memilih, melainkan hanya jalan untuk melegitimasi pihak populis bahwa mereka adalah pihak luhur yang mesti mewujudkan kehendak rakyat.
Populisme hanya menjadi kotak kosong bagi pemburu kekuasaan. Politisi merangkainya menjadi cuap-cuap pemenang hati rakyat tanpa mau melihat realitas sosial yang ada. Populisme baik dari sayap kanan maupun kiri, tak membuat variasi ideologi dan kutubnya memiliki polaritas yang berarti di Indonesia. Justru gerakan populis hanya digunakan tim politik untuk menjadi oposisi dari sesama elite dan bukan memperjuangkan hak-hak rakyat, bahkan secara substantif pun, populisme minim aspek pragmatis yang beritikad menyelesaikan problem di lapangan.
Pluralisme politik hanya menjadi khayalan utopis dalam kerangka populisme yang di mana populisme senantiasa merekonstruksi sekat-sekat untuk pihak yang dianggap sebagai oposisinya dengan menjual isu dan situasi. Jika saat itu masyarakat memiliki religiusitas tinggi, sentimen dibangun di atas fondasi agama. Jika masyarakat memiliki etnosentrisme kental, maka sentimen rasial adalah sasarannya.
Kontestasi politik kontemporer di lapangan dengan membawa populisme mestinya tak lagi dipandang sebagai strategi untuk memenangkan hati rakyat. Bahkan jika ingin secara pragmatis menunaikan populisme sebagai konsekuensi demokrasi, populisme bukan lagi tentang keberpihakan pada rakyat, namun instrumen elite politik untuk melanggengkan status quo dalam sistem yang bobrok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI