Mohon tunggu...
Wisnu Dewa Wardhana
Wisnu Dewa Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Seorang pembelajar dan pengagum pemikiran Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosok Pemuda yang Merawat Semangat Keislaman

19 Juli 2023   02:35 Diperbarui: 19 Juli 2023   02:48 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir bangsa kita disibukkan oleh suasana yang kurang menyenangkan terkait terhembusnya isu dan paham khilafah serta radikalisme yang mengancam kemajemukan bangsa Indonesia.

Negara kita, Republik Indonesia berdiri kokoh atas kesepakatan bersama dalam bingkai Pancasila yang di mana memuat nilai-nilai keislaman sebagai landasan sikap untuk kita memiliki kerangka dalam berkehidupan berbangsa.

Dalam hal ini kita harus melihat kembali ke tahun 1945, karena keadaan yang kita hadapi beberapa tahun belakangan ini tidak dapat dilepaskan dari perjalanan kesejarahan bangsa dan negara Indonesia. Semua tokoh Islam pada sidang BPUPKI berjuang supaya Islam dijadikan dasar negara.

Komprominya ialah Piagam Jakarta (22/6/1945). Kelompok Islam bersedia menerima dasar negara Pancasila dengan sila pertama berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Karena ada penolakan dari sekelompok kecil umat Kristiani, demi berdirinya negara Republik Islam, para tokoh Islam setuju menghapus tujuh kata Piagam Jakarta. Sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Perjuangan mendirikan negara berlandaskan Islam dilanjutkan dalam Konstituante pada 1956--1959, tetapi kembali gagal. Dalam pemungutan suara, kelompok Islam hanya mencapai 53 persen. Karena ada kebuntuan politik, Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam Dekrit itu, "Piagam Jakarta" dijadikan dasar pertimbangan.

Selama kampanye Pemilu 1971, partai-partai Islam termasuk Partai NU masih memperjuangkan negara berdasarkan Islam. Juru kampanye Partai NU dan partai Islam lain di berbagai daerah sering mendapat perlakuan tidak baik dan tidak adil dari militer. Pada akhir 1984, Muktamar NU menerima Pancasila sebagai dasar negara. Langkah ini diikuti hampir semua ormas Islam.

Menarik bagi saya, mengapa partai Islam dan ormas Islam selama hampir 40 tahun "keukeuh" memiliki pemahaman negara yang berlandaskan Islam? Padahal, sejak 1955, dari beberapa literatur buku yang saya baca berpendapat Pancasila itu layak menjadi dasar negara. Kalau kita cermati Pembukaan UUD 1945, kalimat-kalimatnya mengandung banyak kata bahasa Arab yang sudah menjadi khazanah Islam.

Setelah lama merenungkannya, saya menemukan jawaban. Kita semua tahu bahwa Bung Karno adalah penggali Pancasila. Angkatan saya atau yang lebih tua mengetahui Bung Karno sering menyebut nama dan mengutip pendapat Kemal Ataturk, yang mendirikan Republik Turki yang UUD-nya menyatakan Turki adalah negara sekuler. Karena Bung Karno sering mengutip pendapat Kemal -pendiri negara Turki yang sekuler- wajar kalau banyak tokoh Islam dan pengikut mereka khawatir bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler.

Menurut saya, salah satu hal yang ikut mendorong ormas Islam dan partai Islam akhirnya memahami tujuan Bung Karno dalam mengokohkan Pancasila sebagai dasar negara ialah diundangkannya UU Perkawinan pada 1974. UU itu memberi kesempatan bagi diterimanya ketentuan syariat Islam ke dalam sistem hukum nasional. Para tokoh Islam menyadari, tanpa Islam menjadi dasar negara, ternyata ketentuan syariat Islam bisa masuk ke dalam UU. Jadi, ketika ada tuntutan keadaan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara, pihak yang sebelumnya "keukeuh" dalam pemahaman mendirikan negara berlandaskan nilai-nilai keislaman bisa diyakinkan untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.

UU lain yang memuat ketentuan syariat Islam, yaitu UU Peradilan Agama pada 1989. Peradilan Agama yang semula di dalam Kementerian Agama beralih ke Mahkamah Agung. Kini pengadilan agama menjadi lembaga peradilan kedua terbesar setelah pengadilan negeri. Setelah itu, lahirlah UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal, dan UU Sisdiknas yang memberi tempat bagi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. Juga telah lahir UU tentang Pesantren. Sejumlah UU ini adalah bagian dari perpaduan keindonesiaan dan keislaman.

Kementerian Agama adalah langkah awal dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman. Pembentukan madrasah (MI, MTs, MA) dilakukan pada 1950 oleh Menteri Agama Wahid Hasyim, bersamaan dengan kebijakan memberikan mata pelajaran agama di sekolah. Ormas Islam dan pesantren telah banyak mendirikan universitas dan sekolah tinggi di berbagai provinsi. Pendidikan Islam berperan besar dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman.

Ada satu kutipan dari dialog internasional yang diselenggarakan oleh Syabab Hidayatullah dengan menghadirkan Dr. Maza, Mufti Negeri Perlis Malaysia pada hari Kamis (02/02/2017). Dikatakan bahwa "kita tidak akan dapat berdiri tepat di tengah-tengah jika kita tidak tahu betul di mana batas antara kedua ujung yang berlawanan".

Ada dua arah yang berlawanan. Arah kiri dan arah kanan. Dalam teori, umat Islam mesti berada di tengah-tengah. Tidak terlalu ke kiri, tidak juga terlalu ke kanan. Sikap yang diambil dari tuntutan kitab suci ini oleh berbagai kajian keislaman dan tulisan-tulisan ulama dijadikan ciri khas yang melekat dengan agama Islam itu sendiri. Namun pada prakteknya, sudahkah kita, sebagai umat Islam, tepat berada di tengah-tengah?

Secara pribadi, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu tanpa pesimisme yang getir. Kenyataannya, umat Islam berada pada posisi yang sama sekali tidak berada di tengah. Suburnya radikalisme kanan yang sangat konservatif pada wajah umat Islam di zaman ini adalah bukti yang sulit dibantah. Meski kita berbusa-busa mengatakan dan mengklaim bahwa kita adalah umat yang berada di tengah-tengah, hal tersebut tidak berguna jika fakta yang ada menunjukkan bahwa kita masih menampakkan sikap ekstrimisme yang nyata.

Berbagai pembelaan dan pembenaran yang dilontarkan tidak mampu menghadapi kokohnya realita. Dunia melihat, kita pun dapat melihat, bagaimana posisi umat Islam dewasa ini. Apakah kita tampil sebagai solusi? atau malah kita lah penyumbang utama problematika yang menjangkiti dunia? Apakah kita hadir sebagai juru damai? atau malah kita lah yang memicu perang? Apakah kita yang berada di garda terdepan perjuangan menegakkan keadilan? atau malah kita lah para pelaku kezaliman?

Oleh karena itu muncul pertanyaan "sudahkah kita tepat berada di tengah-tengah?", mesti terus menerus dilontarkan sebagai bahan evaluasi atas setiap sikap yang kita ambil. Akankah kita terlalu condong ke sana? atau terlalu condong ke sini? Kita lah, berdasarkan amanat kitab suci, para penegak keadilan. Kita harus berdiri tepat di tengah-tengah karena hanya pada posisi itulah kita dapat melihat dan menyikapi segala sesuatunya dengan adil.

Hanya saja, problem sebenarnya dari sikap untuk selalu tepat berada di tengah-tengah itu bukanlah pada komitmen kita untuk itu. Tapi pada pengetahuan kita mengenai posisi tengah-tengah tersebut.

Sebagaimana pada pernyataan yang saya lontarkan sebelumnya, kita tidak akan pernah tahu secara tepat posisi pertengahan itu jika kita tidak mengenali dengan baik di mana kanan dan di mana kiri itu berada. Orang yang bacaannya hanya literatur sisi kanan bagaimana bisa mengklaim bahwa ucapan dan tulisannya memiliki semangat pertengahan? Orang yang seumur hidupnya hanya berkutat dengan propaganda dan doktrin sisi kiri, bagaimana bisa berkata bahwa berada tepat di tengah-tengah lah dirinya berdiri?

Di sinilah peran ilmu pengetahuan. Orang yang bisa berdiri tepat di tengah-tengah adalah dia yang memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni mengenai sisi kanan dan juga sisi kiri. Dia tahu di mana sisi kanan bermula dan menemui titik akhir. Sebagaimana dia tahu dengan baik pula di mana sisi kiri bermula dan berakhir. Hanya dengan ilmu pengetahuan yang cukup akan kedua sisi itu, pengakuan akan sikapnya bahwa dia telah berdiri tepat di tengah-tengah bisa dikatakan sebagai suatu pengakuan yang benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada.

Atas kesadaran penuh itulah yang menjadikan Siti Nurizka Puteri Jaya, beserta keluarganya mewakafkan sebuah masjid monumental di lingkungan Pondok Pesantren Aulia Cendikia pertanggal 29 Agustus 2020. Sebuah candradimuka nilai-nilai keislaman yang berdiri di daerah Talang Jambe Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan.

Rizka beserta keluarganya sangat memahami dengan baik kisah periode klasik yang merupakan masa gilang-gemilangnya umat Islam. Sebab pada masa tersebut umat Islam berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Islam sebagai agama memberikan motivasi yang sangat jelas agar pemeluknya berkarya untuk mencapai kemajuan dan kejayaan. Yang di mana kedua hal tersebut tidak mungkin bisa tercapai tanpa ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan tidak mungkin dapat diperoleh tanpa proses pendidikan.

Dan masjid dalam sejarah periode klasik adalah awal dari proses pembelajaran dan proses pendidikan. Disebutkan juga pada periode klasik masjid memiliki multi fungsi; salah satunya menjadi pusat pendidikan Islam. Sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang masjid tetap menjadi pusat kebudayaan bagi umat Islam. Masjid menjadi tempat pendidikan, musyawarah, ibadah, pengajian-pengajian, membina umat,  dan lain sebagainya.

Dengan demikian, kita pun tersadar bahwa meramaikan masjid adalah salah satu cara bagi kita sebagai umat Islam untuk terus menegakkan keislaman.

Ditulis sebagai referensi pengetahuan agar kita selalu memiliki semangat dalam nilai-nilai keislaman.

Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1445 Hijriah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun