Naif jika saya tidak mengatakan bahwa manusia kini lebih menyukai hal-hal instan dan memanfaatkan privilege. Namun, ketika saya menelusuri Rizka, saya menemukan antitesa bahwa dia manusia instan. Ia tumbuh besar dengan semangat perjuangan memilih jalan hidupnya sendiri.Â
Merasakan kegagalan demi kegagalan adalah caranya menghargai proses. Dijadikan sebagai bahan bakar untuk terus memperbaiki kekurangannya. Dia meresapi ungkapan bijak bahwa "proses tidak mengkhianati hasil". Semua yang ia dapatkan diraih dengan tidak mudah. Siklus perjuangannya sangat terasa.
Seperti Kartini yang pernah gagal membuat sekolah perempuan karena penolakan Pemerintah Hindia Belanda, Rizka juga pernah merasakan kegagalan menembus lapisan konstitusi politik negara. Dan kegagalan tersebut merupakan pijakan semangatnya untuk terus menaiki tangga perjuangan hingga mencapai keberhasilan menjadi penyambung lidah rakyat.
Dalam kebatinan saya pun berkelakar apakah "Ka" dalam nama "Rizka" adalah memiliki arti "Kartini"? Ditambah nama "Puteri" yang bermaknakan perempuan. Seolah ia merupakan wujud Kartini di masa kini. Menggugah keyakinan ketika ia berhasil menampilkan kedisiplinan semangat kaum perempuan dalam mengimbangi hegemoni laki-laki dalam tiap kegiatan politiknya.
Saya pun berkeyakinan bahwa rentetan waktu dan peristiwa akan membuat Rizka menjadi politisi perempuan dengan ketangguhan dan kekuatan seperti Ibu Megawati Soekarnoputri, sosok yang ia kagumi sebagai pelopor semangatnya berpolitik juga pewaris api semangat kebangsaan.
Selamat Hari Kartini. Tetaplah berpentas dalam laku kehidupan berbangsa sebagai perempuan hebat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H