Mohon tunggu...
Wisnu Wizzy Wardana
Wisnu Wizzy Wardana Mohon Tunggu... Editor - Program Doktor Ilmu komunikasi Universitas Sahid Jakarta

In Omnia Paratus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konten Media Sosial dalam Perspektif Kritis Andreas Huyssen

15 Desember 2024   20:25 Diperbarui: 15 Desember 2024   20:51 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: hartsimagineering.com

Ditulis Oleh: Wisnu Wardana

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Saat ini, media sosial telah menjadi ruang utama bagi individu untuk mengekspresikan kreativitas. Namun, fenomena ini tidak lepas dari komodifikasi, di mana kreativitas berubah menjadi alat ekonomi yang dieksploitasi untuk mendapatkan perhatian, keuntungan finansial, dan status sosial (Couldry & Mejias, 2019). Dari perspektif kritis Andreas Huyssen, media sosial tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga mesin budaya massa yang memengaruhi cara masyarakat memproduksi dan mengonsumsi konten (Huyssen, 1986). 

Menurut DataReportal (2024), pengguna media sosial global telah mencapai 5,04 miliar orang, atau sekitar 62,3% populasi dunia, dengan rata-rata pengguna menghabiskan 2 jam 23 menit per hari di media sosial.

Di Indonesia, durasi ini lebih tinggi, yaitu rata-rata 3 jam 11 menit per hari, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan penggunaan media sosial terlama di dunia (DataReportal, 2024). Platform seperti TikTok dan Instagram mendominasi perhatian pengguna dengan rata-rata waktu penggunaan masing-masing 34 jam dan 28 jam per bulan (Statista, 2024). Laporan yang sama juga mencatat bahwa investasi dalam iklan digital, termasuk kolaborasi dengan pembuat konten atau influencer, meningkat sebesar 17% pada tahun 2023. Angka ini mencerminkan bahwa konten kreatif tidak lagi hanya dianggap sebagai hiburan tetapi juga sebagai alat pemasaran yang sangat efektif (Kaplan, Haenlein, & Andrei, 2023).

Dalam pandangan Huyssen, budaya massa menciptakan standar estetika yang homogen (Huyssen, 1986). Di media sosial, algoritma platform menentukan konten mana yang layak ditampilkan berdasarkan tingkat keterlibatan (engagement), yang sering kali memaksa pembuat konten untuk menghasilkan materi yang sesuai dengan tren populer, mengorbankan orisinalitas demi relevansi pasar (Bucher, 2018). Sebagai contoh, banyak konten viral di TikTok mengadopsi format tertentu, seperti tantangan tarian atau tren suara, yang semuanya diatur oleh logika kapitalisme digital. Akibatnya, kreativitas individual menjadi terfragmentasi dan terstandarisasi, menghasilkan konten yang lebih berfokus pada daya tarik pasar daripada ekspresi diri yang otentik (Zulli, 2022).

Komodifikasi Kreativitas dan Identitas Digital

Komodifikasi di media sosial membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif. Di satu sisi, platform ini memberikan peluang bagi individu untuk memonetisasi kreativitas mereka. Banyak kreator konten mampu menjadikan aktivitas online sebagai karier penuh waktu, menghasilkan pendapatan dari iklan, sponsor, atau penjualan produk (Abidin, 2021). 

Namun, ketergantungan pada media sosial untuk validasi sosial sering kali menciptakan tekanan psikologis, terutama bagi kreator konten yang menghadapi tuntutan konstan untuk memproduksi materi yang menarik, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan mental mereka (Duffy & Hund, 2019).

Selain itu, masyarakat umum semakin terbiasa mengonsumsi konten dalam format cepat dan dangkal, melemahkan kapasitas mereka untuk menikmati karya kreatif yang mendalam (Nichols, 2023). Sebagai pengguna, penting untuk mendukung kreator yang menawarkan perspektif unik dan konten yang mendidik atau memotivasi. Dengan demikian, kita dapat mendorong ekosistem digital yang lebih sehat, di mana kreativitas dihargai sebagai bentuk ekspresi manusia, bukan sekadar alat kapitalisme digital (Fuchs, 2021).

Algoritma sebagai Kurator Estetika

Menurut Huyssen, budaya massa modern membentuk preferensi estetika masyarakat (Huyssen, 1986). Di era digital, algoritma platform media sosial telah mengambil peran sebagai "kurator estetika," menentukan konten yang layak ditampilkan berdasarkan potensi viral dan tingkat keterlibatan pengguna (Noble, 2018). TikTok, misalnya, memprioritaskan video berdurasi pendek dengan daya tarik visual dalam tiga detik pertama. Hal ini memaksa kreator untuk fokus pada gimmick dan tren viral, alih-alih mengeksplorasi ide-ide orisinal yang memerlukan waktu untuk dipahami (Bishop, 2021). Algoritma juga menghilangkan ruang bagi konten yang berlapis dan reflektif, mendorong homogenisasi konten yang hanya memenuhi standar engagement tanpa mempertimbangkan kualitas intelektual atau artistik (Gillespie, 2020).

Postmodernisme dan Fragmentasi Narasi

Huyssen mengamati bahwa era postmodern ditandai dengan fragmentasi narasi besar dan pergeseran fokus ke potongan-potongan kecil budaya (Huyssen, 1986). Di media sosial, ini terlihat dalam format konten seperti Instagram Stories atau TikTok Reels, yang hanya bertahan beberapa detik tetapi memiliki dampak besar. Tren ini mencerminkan bagaimana narasi personal maupun sosial direduksi menjadi fragmen-fragmen visual atau verbal yang mudah dikonsumsi (Manovich, 2022).

Sebagai contoh, aktivis sosial yang ingin menyampaikan pesan kompleks harus mereduksi pesannya menjadi video berdurasi 15 detik agar relevan di TikTok. Akibatnya, dimensi kritis dari pesan tersebut sering kali hilang, dan narasi mendalam berubah menjadi slogan atau tagar yang mudah dibagikan tetapi sulit dipahami secara mendalam (Statista, 2024).

Nostalgia Digital dan Komodifikasi Memori

Nostalgia menjadi elemen penting dalam produksi konten digital, terutama di platform seperti Instagram, yang sering menggunakan filter vintage untuk menciptakan estetika masa lalu (Hess, 2020). Namun, nostalgia ini sering kali dangkal dan hanya berfungsi sebagai alat untuk menarik perhatian tanpa memberikan refleksi mendalam terhadap sejarah atau konteks masa lalu (Jameson, 2022). Misalnya, tren filter retro di Instagram lebih sering digunakan untuk menciptakan "vibes" daripada memahami konteks sosial dari elemen visual tersebut.

Menuju Ekosistem Digital yang Lebih Sehat

Dalam perspektif Andreas Huyssen, media sosial dapat dipandang sebagai perwujudan baru budaya massa di era postmodern. Kreativitas, yang awalnya merupakan ekspresi personal, kini telah direduksi menjadi komoditas dalam ekosistem digital yang dikendalikan oleh algoritma dan logika kapitalisme (Huyssen, 1986). Untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif dan mendalam, penting bagi kreator dan pengguna untuk mengadopsi pendekatan kritis terhadap media sosial (Couldry & Mejias, 2019). Dengan cara ini, kita dapat mendorong kreativitas sebagai sarana pemahaman dunia, bukan sekadar alat kapitalisme digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun