Mohon tunggu...
Wisnu Wizzy Wardana
Wisnu Wizzy Wardana Mohon Tunggu... Editor - Program Doktor Ilmu komunikasi Universitas Sahid Jakarta

In Omnia Paratus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konten Media Sosial dalam Perspektif Kritis Andreas Huyssen

15 Desember 2024   20:25 Diperbarui: 15 Desember 2024   20:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: hartsimagineering.com

Algoritma sebagai Kurator Estetika

Menurut Huyssen, budaya massa modern membentuk preferensi estetika masyarakat (Huyssen, 1986). Di era digital, algoritma platform media sosial telah mengambil peran sebagai "kurator estetika," menentukan konten yang layak ditampilkan berdasarkan potensi viral dan tingkat keterlibatan pengguna (Noble, 2018). TikTok, misalnya, memprioritaskan video berdurasi pendek dengan daya tarik visual dalam tiga detik pertama. Hal ini memaksa kreator untuk fokus pada gimmick dan tren viral, alih-alih mengeksplorasi ide-ide orisinal yang memerlukan waktu untuk dipahami (Bishop, 2021). Algoritma juga menghilangkan ruang bagi konten yang berlapis dan reflektif, mendorong homogenisasi konten yang hanya memenuhi standar engagement tanpa mempertimbangkan kualitas intelektual atau artistik (Gillespie, 2020).

Postmodernisme dan Fragmentasi Narasi

Huyssen mengamati bahwa era postmodern ditandai dengan fragmentasi narasi besar dan pergeseran fokus ke potongan-potongan kecil budaya (Huyssen, 1986). Di media sosial, ini terlihat dalam format konten seperti Instagram Stories atau TikTok Reels, yang hanya bertahan beberapa detik tetapi memiliki dampak besar. Tren ini mencerminkan bagaimana narasi personal maupun sosial direduksi menjadi fragmen-fragmen visual atau verbal yang mudah dikonsumsi (Manovich, 2022).

Sebagai contoh, aktivis sosial yang ingin menyampaikan pesan kompleks harus mereduksi pesannya menjadi video berdurasi 15 detik agar relevan di TikTok. Akibatnya, dimensi kritis dari pesan tersebut sering kali hilang, dan narasi mendalam berubah menjadi slogan atau tagar yang mudah dibagikan tetapi sulit dipahami secara mendalam (Statista, 2024).

Nostalgia Digital dan Komodifikasi Memori

Nostalgia menjadi elemen penting dalam produksi konten digital, terutama di platform seperti Instagram, yang sering menggunakan filter vintage untuk menciptakan estetika masa lalu (Hess, 2020). Namun, nostalgia ini sering kali dangkal dan hanya berfungsi sebagai alat untuk menarik perhatian tanpa memberikan refleksi mendalam terhadap sejarah atau konteks masa lalu (Jameson, 2022). Misalnya, tren filter retro di Instagram lebih sering digunakan untuk menciptakan "vibes" daripada memahami konteks sosial dari elemen visual tersebut.

Menuju Ekosistem Digital yang Lebih Sehat

Dalam perspektif Andreas Huyssen, media sosial dapat dipandang sebagai perwujudan baru budaya massa di era postmodern. Kreativitas, yang awalnya merupakan ekspresi personal, kini telah direduksi menjadi komoditas dalam ekosistem digital yang dikendalikan oleh algoritma dan logika kapitalisme (Huyssen, 1986). Untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif dan mendalam, penting bagi kreator dan pengguna untuk mengadopsi pendekatan kritis terhadap media sosial (Couldry & Mejias, 2019). Dengan cara ini, kita dapat mendorong kreativitas sebagai sarana pemahaman dunia, bukan sekadar alat kapitalisme digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun