Pertanyaannya kemudian, apakah dengan menghentikan tayangan-tayangan tersebut masalah bisa selesai? Apakah televisi kemudian akan berganti menjadi seorang guru yang dengan tekun mendidik para penonton?  Saya ingin kembali lagi ke Postman. Saya kutip langsung kalimat dalam bukunya : “The problem does not reside in what people watch, the problem is in that we watch (halaman 160). Jelas kan? Masalahnya tidak terletak pada tayangan apa yang kita tonton. Masalahnya adalah karena kita menonton televisi. Tapi, jangan buru-buru terjebak pada ajakan sesat untuk mematikan televisi.
Karena persoalannya terletak pada aktivitas menonton televisi, maka solusinya juga terletak pada bagaimana kita menyaksikan televisi. Bagaimana kita menonton televisi, akan dipengaruhi bagaimana pemahaman kita tentang epistemologi televisi. Dan lebih jauh, hal itu dipengaruhi budaya baca-tulis suatu masyarakat yang, mempunyai sifat dasar yang serius dan rasional.
Maksudnya, sebagaimana ditegaskan Postman, dalam sebuah masyarakat yang didominasi budaya tulisan, diskursus publik akan diwarnai dengan wacana yang serius, logis, dan relevan dengan kehidupan. Energi melakukan kampanye menghentikan tayangan televisi akan jauh lebih berguna jika digunakan untuk melakukan satu gerakan literasi (media). Dengan demikian, tayangan-tayangan yang dianggap tidak mendidik ya tidak menjadi masalah lagi. Kira-kira begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H