Mohon tunggu...
Wisnu Prasetya Utomo
Wisnu Prasetya Utomo Mohon Tunggu... lainnya -

Blogger paruh waktu. Tinggal di @wisnu_prasetya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Buanglah Sampah di Televisi

11 Januari 2014   01:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Akhir-akhir ini di media sosial, ribut-ribut tentang tayangan televisi kembali mengemuka. Pemicunya beragam : stasiun televisi yang mengabdi pada kepentingan politik pemiliknya, KPI yang tidak mampu berbuat apa-apa, acara yang dianggap tidak mendidik seperti YKS, Campur-Campur, dan sebagainya, dan seterusnya. Untuk acara televisi yang dianggap melakukan pembodohan ini, ada orang yang bahkan sampai membuat petisi online. Tuntutannya : tayangan-tayangan tersebut harus dihentikan.

Saya tertarik untuk ikut berkomentar. Bukan apa-apa. Rentetan pertanyaan datang mengganggu setelah membaca berbagai pendapat di media sosial. Sebenarnya untuk apa televisi? Benarkah sebuah tayangan televisi harus memiliki fungsi mendidik masyarakat? Apakah jika ada tayangan yang tidak mendidik maka tayangan tersebut harus dihentikan?

Saya membaca kembali buku Neil Postman. Judulnya Amusing Ourselves to Death. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Menghibur Diri Sampai Mati. Apa yang ingin dikatakan Neil Postman barangkali bisa dirangkum dalam kalimat berikut : televisi telah mencapai status sebagai meta-medium, yakni sebuah instrumen yang tidak hanya mengarahkan apa yang kita ketahui tentang dunia, tetapi juga cara kita mendapatkan pengetahuan itu sendiri.

Selanjutnya, hal terbaik yang ada di dalam televisi adalah tayangan-tayangan sampah yang ia produksi. Televisi menjadi semakin berguna ketika ia mengkooptasi berbagai wacana serius seperti berita, politik, agama, pendidikan, sampai ilmu pengetahuan dan membungkusnya menjadi sebuah modus hiburan. Mengapa? Karena memang itu raison d’etre televisi. Televisi melanjutkan watak pseudo-konteks yang diwariskan telegraf dan fotografi dan sejak awal membawa hiburan sebagai supra-ideologi.

Pseudo-konteks merupakan struktur yang di dalamnya sebuah informasi begitu terfragmentasi dan tidak relevan namun dijadikan seolah-olah berguna untuk publik. Informasi semacam itu tidak bisa diharapkan bisa digunakan untuk memecahkan masalah atau melakukan perubahan. Karena tidak terhubung dengan problem mendasar kehidupan kita, informasi malih rupa menjadi hiburan. Kurang lebih seperti itu dakwaan Postman kepada televisi.

Dakwaan semacam itu tentu tentu berangkat dari asumsi begitu besarnya kekuatan yang dimiliki oleh televisi sampai-sampai ia bisa mengarahkan nalar berpikir dan bertindak seseorang. Bahaya betul kalau tayangan itu dibiarkan berkeliaran meneror masyarakat tepat di jantung ruang keluarga sendiri. Buku yang terbit 30 tahun yang lalu itu tidak banyak mendapat respon dari komunitas akademik di Amerika. Respon yang meriah justru muncul dari industri media (termasuk televisi, tentu saja) dan publik.

Sedikit ironis memang, pernyataan-pernyataan apokaliptik Postman tentang televisi menjadi pengisi berbagai media hari-hari itu. Satu kali ia bahkan pernah tampil di televisi untuk membahas bukunya. Sebuah penampilan yang menghibur, dan, ya, di televisi. Tapi itu bisa diabaikan dulu. Dengan logika sederhana, karena kekuatan yang besar itulah maka publik mesti mengatur tayangan-tayangan yang ada dalam televisi.

Barangkali ini yang mendasari mengapa ada yang menuntut acara TV yang membodohkan harus dihentikan, Misalnya, yang akhir-akhir ini hangat, tentu saja YKS. Ada yang menuduh YKS bisa merusak moral bangsa, goyang oplosan yang disebut erotis(?) bisa mempengaruhi mental anak-anak, lawakan-lawakan di dalamnya tidak mendirik, serta berderet cacian lainnya.

Saya awalnya termasuk yang suka menyaksikan YKS yang diputar pertama kali waktu bulan puasa yang lalu. Maklum, butuh hiburan. Dan kebetulan goyang cesar bisa sedikit membuat saya tersenyum. Apalagi setiap teriak “bukak sithik joss!” Goyang itu saja yang bisa membuat saya ketawa. Sisanya tidak. Sayangnya, semakin lama tayangan ini semakin memuakkan. Goyangan yang diulang-ulang semakin lama semakin membosankan. Lawakan yang semakin lama semakin tidak jelas. Dan seterusnya.

Beberapa saat yang lalu, saya juga sempat menonton perdebatan antara Farhat Abbas dan Dewi Persik dalam acara Hitam Putih di Trans 7. Catat, ditayangkan dalam siaran langsung. Debat ini barangkali menjadi salah acara televisi tertolol yang pernah saya tonton. Ya, levelnya tidak jauh dengan perdebatan yang kerap kita saksikan di Indonesia Lawyers Club lah.

Tapi tentu saja saya tidak setuju jika ada yang mendesak tayangan-tayangan ini harus dihentikan. Kalau KPI memberikan sanksi dan meminta stasiun televisi mengubah beberapa hal yang dianggap melanggar, saya sepakat. Masyarakat menggaji mereka untuk melakukan hal itu. Tapi perlukah teriak-teriak melakukan kampanye untuk menghentikan sebuah tayangan yang kita anggap tidak bermutu?

Pertanyaannya kemudian, apakah dengan menghentikan tayangan-tayangan tersebut masalah bisa selesai? Apakah televisi kemudian akan berganti menjadi seorang guru yang dengan tekun mendidik para penonton?  Saya ingin kembali lagi ke Postman. Saya kutip langsung kalimat dalam bukunya : “The problem does not reside in what people watch, the problem is in that we watch (halaman 160). Jelas kan? Masalahnya tidak terletak pada tayangan apa yang kita tonton. Masalahnya adalah karena kita menonton televisi. Tapi, jangan buru-buru terjebak pada ajakan sesat untuk mematikan televisi.

Karena persoalannya terletak pada aktivitas menonton televisi, maka solusinya juga terletak pada bagaimana kita menyaksikan televisi. Bagaimana kita menonton televisi, akan dipengaruhi bagaimana pemahaman kita tentang epistemologi televisi. Dan lebih jauh, hal itu dipengaruhi budaya baca-tulis suatu masyarakat yang, mempunyai sifat dasar yang serius dan rasional.

Maksudnya, sebagaimana ditegaskan Postman, dalam sebuah masyarakat yang didominasi budaya tulisan, diskursus publik akan diwarnai dengan wacana yang serius, logis, dan relevan dengan kehidupan. Energi melakukan kampanye menghentikan tayangan televisi akan jauh lebih berguna jika digunakan untuk melakukan satu gerakan literasi (media). Dengan demikian, tayangan-tayangan yang dianggap tidak mendidik ya tidak menjadi masalah lagi. Kira-kira begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun