Mohon tunggu...
Wisnu Nugroho
Wisnu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis -

mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Anggito Bukan Tim Hore

17 Oktober 2011   12:09 Diperbarui: 11 Desember 2015   11:56 2392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_137459" align="alignnone" width="640" caption="Enam anggota staf khusus presiden dengan jabatan yang rumit dan sulit diingat. Untuk memudahkan, saya mengelompokkan mereka sebagai timhoreee. Satu dari anggotanya jadi wakil menteri (Wisnu Nugroho | 2009)"][/caption]

SINGKAT saja waktunya. Selain karena Anggito sibuk dan saya harus menyelesaikan tugas di kantor, tidak enak pastinya berlama-lama untuk pertemuan pertama. Apalagi di pertemuan pertama itu, saya cuma mau bilang nebeng untuk acara yang akan digelar esok harinya: Kompasiana Monthly Discussion atau biasa disingkat Kompasiana Modis.

Anggito datang tepat waktu Jumat malam itu. Dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai di bawah siku, Anggito tidak berbeda dengan tampilannya yang kerap di layar hampir semua televisi. Dua bulan terakhir sebelum kami bertemu, Anggito memang tampil di mana-mana. Tidak hanya di televisi, tetapi juga di hampir semua media. Semua orang membicarakannya. Keputusan mundur dari Kementrian Keuangan yang 10 tahun lamanya dilibati membuatnya jadi bahan pembicaraan.

Anggito jadi bahan pembicaraan tentu saja karena aneh. Di tengah kecenderungan orang mencari jabatan, Anggito memilih meninggalkannya ketika tawaran datang. Karena kekecewaan sudah singgah, janji-janji jabatan baru yang disampaikan tidak menarik perhatiannya.

“Saya tidak mencari jabatan. Ini soal pertaruhan harga diri profesional saya yang terusik dan saya tidak bermaksud untuk mendapatkan jabatan lain,” ujar Anggito.

Tidak diperhitungkannya harga diri oleh pihak pemberi janji jabatan membuat Anggito kecewa. Pihak pemberi janji jabatan seolah-olah hanya memandang semua orang butuh jabatan meskipun harga diri terkorbankan. Anggito menegaskan dirinya tidak demikian.

“Maaf untuk penolakan yang saya sampaikan!” ujarnya tenang sambil mengatupkan bibir rapat-rapat.

Tersiratnya perasaan kecewa kepada pihak pemberi janji membuat perasaan saya kacau. Kekacauan perasaan itu terutama karena buku yang saya pegang dan hendak saya berikan.  

Sudah saya duga, begitu buku berjudul “Pak Beye dan Istananya” saya berikan, raut wajah Anggito berubah. Untuk meredam perubahan raut wajahnya, saya perlahan memberi penjelasan umum soal isi buku itu agar tidak salah sangka.

Setelah raut wajahnya kembali normal, saya minta Anggito meluangkan waktu sejenak untuk membaca buku itu. Setelah sedikit merasa nyaman kembali, Anggito justru banyak bercerita tentang hubungan dan persinggungannya dengan tokoh yang saya tulis sisi tidak pentingnya dalam buku “Pak Beye dan Istananya”.

Kami kemudian tertawa bersama karena mendapati pengalaman yang kurang lebih sama terkait tokoh itu.

Ambil tangung jawab

Setelah pertemuan singkat itu, Anggito menuju aula di Plasa Telkom Yogyakarta yang akan menjadi tempat Kompasiana Modis. Malam itu, Anggito yang membawa flute kesayangannya hendak mencoba sistem suara bersama grup band Koala. Bersama Koala yang hingga kini diasuhnya, Anggito tampil membawakan dua lagu sebagai pembuka Kompasiana Modis. Salah satu lagu yang memberinya banyak ruang untuk meniup flute-nya adalah lagu berjudul “Cinderamata”.

Kepada Koala yang anggotanya satu almamater dengan dirinya di SMA 3 Yogyakarta, Anggito mengungkapan perasaannya untuk turut mengambil tanggung jawab.  

“Menemukan mereka yang berbakat, saya merasa turut bertangung jawab membesarkan dengan cara yang baik agar tidak tersesat,” ujarnya.

Kami kemudian bertemu keesokan harinya, tepat di ujung Juli 2010.  Meskipun saya nebeng acara dan dijadwalkan lima menit sebelum acara selesai, saya datang 20 menit sebelum acara dimulai. Bersamaan dengan panitia yang sedang menyiapkan segala keperluan, saya masuk aula bersama dengan sekitar 100 kompasianer (sebutan untuk blogger Kompasiana).

Mereka yang datang, Sabtu, 31 Juli 2010 itu antusias ingin mendengar langsung dari Anggito. Kemelut yang terjadi terkait dirinya yang akhirnya memilih pergi dan kembali ke Yogyakarta yang dicintainya jadi topik utama.

Kemelut dari Istana

Kemelut itu berawal dari Istana, Selasa, 5 Januari 2010. Saat itu, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha menjelaskan jadwal pelantikan Sekretaris Kabinet dan lima wakil menteri untuk memperkuat Kabinet Indonesia Bersatu II. Lima wakil menteri yang akan dilantik adalah Wakil Menteri Keuangan, Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Wakil Menteri Kesehatan, dan Wakil Menteri Pertahanan.

[caption id="attachment_137461" align="alignnone" width="640" caption="Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam satu kesempatan menjadi inspektur upacara dengan pelantang terbungkus plastik. Dengan pelantang, Presiden kerap menanggapi kemelut yang awalnya muncul dari Istana. (Wisnu Nugroho | 2006) "][/caption]

Namun, pada hari pelantikan di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Anggito batal dilantik sebagai Wakil Menteri Keuangan. Panggilan ke Puri Cikeas Indah dan kontrak politik yang sudah diteken Anggito diabaikan. Saat kemudian tidak jadi dilantik pun,  tidak ada pembicaraan atau pembatalan untuknya.

Sudi Silalahi yang dicopot dari jabatan Sekretaris Kabinet untuk menjadi Menteri Sekretaris Negara menjelaskan kepada media. Pelantikan Anggito ditunda karena syarat administratif belum terpenuhi. Agak janggal untuk urusan sepenting ini.

“Daftar riwayat hidupnya, kan, baru diterima. Setelah dilihat dan dicocokkan dengan persyaratan bahwa seorang wakil menteri harus sudah berada pada posisi struktural eselon I-A, itu belum dipenuhi, tentu kita tak bisa memaksakan,” kata Sudi.

Lebih lanjut Sudi mengemukakan, pemanggilan kandidat oleh Presiden untuk menandatangani kontrak kinerja dan pakta integritas bukanlah jaminan bakal dilantik. Pemenang dan pemegang kuasa memang bisa melakukan apa saja.

Pada hari pelantikan, Anggito yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan tidak hadir di Istana Negara. Fahmi Idris, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikadan Dokter Indonesia hadir dalam kebingungan. Fahmi diberitahu beberapa jam sebelum pelantikan di Istana Negara bahwa pelantikannya ditunda di gelombang berikutnya.

Dibenturkan dengan Perpres

Berdasarkan peraturan yang dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Perpres No 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementrian Negara, wakil menteri adalah jabatan karier, pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I-A. Anggito tidak memenuhi syarat administratif meskipun sudah dipanggil ke Cikeas dan diminta menandatangani kontrak kinerja. Cikeas adalah tempat tinggal pembuat dan penandatangan Perpres No 47/2009.

Jabatan Anggito yang ada keputusan presidennya adalah eselon I-B. Sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (eselon I-A), kepresnya masih dalam proses di Sekretariat Kabinet. Padahal, jabatan itu sudah melekat pada Anggito sejak 2006. Empat tahun mungkin belum cukup untuk proses di Sekretariat Kabinet dimana Presidennya kerap mengemukakan tentang one day service untuk urusan surat menyurat.

Kasus Anggito dan Fahmi yang terkendala soal administratif bukan kasus pertama. Sebelumnya, kalau ingatan kita tidak terlalu pendek, kita akan ingat dengan kasus Nila Djuwita Moeloek. Nila telah mengikuti uji kelayakan sebagai Menteri Kesehatan batal dilantik dan diganti calon lain.

Agak janggal memang mendapati cara kerja seperti ini. Kelengkapan administratif diabaikan untuk urusan sepenting ini. Tidak heran jika kemudian muncul prasangka politik terkait pembatalan-pembatalan ini.

Ketika kemelut ini terjadi, Departemen Keuangan sedang diserang politisi di DPR. Kasus Bank Century adalah pintu masuknya. Dalam kemelut panjang itu, mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani pada awal Mei adalah pintu keluarnya.

Diakui oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat yang saat ini Menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mundurnya Sri Mulyani menjadi faktor penyejuk politik nasional yang panas dan syarat kepentingan saat itu.

Mendampingi jiwa muda

Selang beberapa minggu setelah mundurnya Sri Mulyani untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia dan dilantiknya Agus Martowardoyo sebagai Menteri Keuangan dan Anny Ratnawati sebagai Wakil Menteri Keuangan, Anggito menyampaikan surat pengunduran diri.

“Saya berbicara dengan Pak Menteri (Agus), tanggal 24 Mei 2010 saya mundur. Sopan-sopannya saya minta izin,” ujar Anggito.

Setelah izin dikabulkan, Anggito yang bercita-cita menjadi pemusik sejak remaja kembali ke kota tempatnya menumbuhkan cita-cita sebagai remaja. Ya, Yogyakarta.  Meskipun tanpa jabatan mentereng dengan sejumlah fasilitas yang menyertainya, Anggito tidak kekurangan kebahagiaan saat kembali ke Yogyakarta.

Kerinduannya yang terwujud untuk mengajar di almamaternya di Universitas Gadjah Mada membahagiakannya. Dengan flute yang dibelinya saat hijrah ke Jakarta 10 tahun lalu, Anggito juga kerap kembali ke SMA Negeri 3 Yogyakarta. Grup band Koala adalah salah satu yang ditemuinya untuk berlatih bersama.

Meskipun banyak pihak menyayangkan keputusannya mundur, Anggito merasa lega dan mengucap syukur. Tidak ada kebencian meskipun kecewa tetap dirasakannya.

“Seperti kerap saya sampaikan, harga diri, martabat, dan profesionalitas adalah tiga hal yang tidak bisa dikompromikan,” ujarnya.

Meskipun kembali ke Yogyakarta selepas mundur, Anggito tetap bolak-balik Jakarta-Yogyakarta karena isterinya, Arma Latief, sedang menyelesaikan studi S-2. Selain mengajar, aktivitas Anggito adalah menulis artikel di berbagai media, menulis buku, membantu UGM mendesain program riset, latihan musik, mendukung kegiatan mahasiswa, marching band, bola basket, dan lain-lain.

Terakhir, Anggito secara mengejutkan terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (2010-2014). Sebuah amanah yang sesuai dengan hobinya. Ketika dalam Kompasiana Modis ditanyakan alasannya mundur, Anggito menjelaskan semata-mata demi martabat dan harga diri.

“Semua itu saya lakukan agar menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk dapat menghargai hak seseorang, siapa pun dia. Sekarang saya kembali ke UGM, saya akan tetap mengabdi kepada bangsa dan negara tercinta,” ujarnya.

Kembali ke Yogyakarta membuat Anggito meninggalkan rumah dinas dan semua fasilitas yang menyertainya selama 10 tahun. Di Yogyakarta, Anggito menempati “rumah dinas” mertuanya  di Jalan Banteng Utama, Sleman, DI Yogyakarta.

Di mana rumahnya?

Selama hidup, Anggito tidak punya rumah pribadi. Rumah dinas yang ditempati orang tuanya di Bulaksumur C-21 sudah diserahkan ke UGM. Di rumah yang ditempati ayahnya, dosen Teknologi Pertanian UGM, Anggito tumbuh menjadi remaja. Setelah menikah, Anggito tinggal bersama isteri, dan anak-anak di rumah mertua di kawasan Kotabaru, Yogyakarta. Sepulang studi S-2 di dan S-3 di University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, Anggito kembali ke rumah mertuanya. Selama 10 tahun membangun karier di pemerintahan, Anggito berpindah-pindah rumah dinas.

“Saya tidak pernah punya rumah pribadi. Maunya memang punya rumah pribadi, tetapi kami tidak pernah menetap,” ujar Anggito.

Anggito berpendapat, rumah tidak harus berwujud bangunan. Di mana pun, asalkan kehangatan keluarga dirasakan, ia merasa telah menemukan rumah. Kehangatan itu kini hadir bersamaan dengan mewujudnya kerinduan Anggito kembali ke UGM dengan orang-orang tercinta ada di sekitarnya.

Anak pertamanya, Mahditya Putra Mahardika kuliah di UGM. Anak bungsunya, Nadia Rahma Pratiwi tinggal di asrama SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah. Apalagi, di salah satu sudut taman rumah mertuanya berdiri tiang untuk berlatih bola bakset bersama putra sulungnya.

Kalau tidak puas bermain basket di UGM, Anggito dan Mahdiyta bermain bola basket bersama di halaman “rumah dinas” barunya.

Tidak terlalu istimewa untuk banyak orang, tetapi kehangatan hadir di sana.

Salam horeee

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun