Mohon tunggu...
wisnu suryapratama
wisnu suryapratama Mohon Tunggu... -

Pekerja Film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Khilaf... Sebuah Pembelaan Pengecut Sitok

7 Desember 2013   17:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:12 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini saya tergerak untuk membaca dan menonton pernyataan Sitok Srengenge di media tentang kasus kekerasan seksual yang dia lakukan terhadap korban RW. Apa yang membuat saya tergerak adalah pernyataan Sitok di sebuah televisi yang menyatakan dia khilaf dan kembali menyangkal adanya kekerasan seksual yang dia lakukan terhadap korban.

Semenjak kasus ini muncul saya, langsung menghubungi tim pendamping korban dan mendapatkan sisi pandang yang berbeda dari apa yang disampaikan oleh Sitok dalam pernyataannya. Menghadapi sebuah kasus kekerasan seksual kita tidak bisa melihatnya sebagai sebuah kejahatan biasa.

Pelaku biasanya akan berdalih bahwa kejadian tersebut atas dasar suka sama suka, atau korban dengan kemauan sendiri datang ke tempat pelaku. Pembelaan seperti ini lazim muncul. Lalu ketika dalam posisi lebih terdesak lagi dia akan berdalih dia khilaf. Dalam kasus Sitok dia sudah melakukan cara-cara ini. Apakah kita bisa mempercayainya? TIDAK.

Ketika saya tahu bagaimana kondisi korban yang depresi, putus asa, trauma maka saya bisa memastikan dengan jelas ini adalah kasus kekerasan seksual yang sistematis. Biasanya pelaku akan melakukan bujuk rayu kepada korban untuk datang ke sebuah lokasi yang nyaman buat pelaku melakukan kejahatannya.

Dalam kasus ini Sitok membujuk korban untuk datang ke tempat kosnya, sebuah tempat dimana Sitok berkuasa dan merasa nyaman. Korban menaruh kepercayaan kepada Sitok karena dia adalah sastrawan dan budayawan terkenal.

Posisi dia sebagai kurator di Komunitas Salihara membuat korban percaya. Di sini saya lihat Sitok jelas-jelas memanfaatkan posisi kuasa dia di Komunitas Salihara dan memanipulasinya untuk mendapat kepercayaan korban. Lalu begitu korban terbujuk untuk datang ke kos Sitok seketika itu pula Sitok melakukan kejahatannya. Kita juga harus melihat dalam kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi adalah pemanfaatan kuasa pelaku untuk menjerat korban.

Sitok mempunyai kuasa sebagai seorang sastrawan terpandang, kurator komunitas Salihara. Kuasa itu yang dimanfaatkan untuk mengeksploitasi posisi inferior korban, seorang mahasiswi, sendirian, di kamar kos pelaku. Ketika ini berhasil biasanya Pelaku akan mengulangi perbuatannya, segala bujuk rayu akan dilakukan dan kejadian bisa saja terulang lagi berkali-kali. Dalih beberapa orang yang membela Sitok biasanya akan berujar, "Kalo diperkosa gak mungkin sampai berkali-kali".

Untuk memahami situasi korban kita harus paham apa yang dialami oleh korban secara psikologis. Seorang korban kekerasan seksual biasanya mengalami depresi yang akut. Buat perempuan luka perkosaan akan sangat dalam. Perkosaan adalah bentuk hegemoni kuasa pelaku atas tubuh korban.

Setelah terjadi perkosaan jiwa korban sudah rusak secara psikologis. Korban akan merasa harga dirinya hilang dan hancur. Dia akan menyalahkan dirinya sendiri dan tak bisa berpikir jernih. Situasi ini yang terkadang membuat korban secara psikologis berada dalam kuasa sang Pelaku. Pelaku lalu memanfaatkan ini. Biasanya bujuk rayu akan lembali dilontarkan, dan kalau ini tidak berhasil maka ancaman yang akan keluar.

Dengan taktik ini maka pelaku memanfaatkan kehancuran individu korban untuk melakukan kejahatannya kembali. Pada taraf ini Stockholm Syndrome bisa saja terjadi. Kehancuran diri korban membuat korban dalam kondisi yang memungkinkanuntuk bersimpati pada pelaku. Terutama ketika Korban mengisolasi diri dan tidak mau menceritakan apa yang dialaminya kepada orang terdekatnya.

Pelaku yang biasanya memang sudah sakit jiwa, akan memanfaatkan ini. Dia akan menjadi satu-satunya orang yang seolah-olah paling mengerti korban. Dia akan sangat rajin menghubungi korban, menaruh perhatian pada korban. Dia tahu korban sudah tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri, maka dia manfaatkan itu. Memberikan pemahaman ini terhadap pandangan masyarakat yang tidak berpihak pada korban memang susah. Terutama kalangan dekat Si Pelaku. Apalagi jikalau kalangan dekat ini mempunyai pengaruh kuasa seperti Salihara.

Setelah kejadian ini terungkap apa yang dilakukan kalangan dekat pelaku? Teror!! Bagaimana mungkin seorang tokoh Pers sekaliber Goenawan Mohamad bisa mengirim surat klarifikasi kepada beberapa media dengan jelas-jelas menulis nama korban lengkap, bahkan dengan nama panggilan korban.

Seketika itu juga banyak orang tahu siapa korban yang harusnya dilindungi. Belum lagi pesan berantai yang dikirm kepada rekan-rekan GM dan Pelaku yang menyatakan bahwa Sitok sedang terkena musibah dan harap dibantu. Ini jelas-jelas sebuah bentuk koordinasi jaringan pelaku yang mencoba mengunakan kekuasaan media dan politik untuk mengkerdilkan korban. Juga muncul klarifikasi dari istri Sitok dan anaknya dalam saat yang berdekatan yang segera dihembuskan secara berantai di media sosial yang bisa mempengaruhi opini pembacanya. Culas sekali!!

Lalu beberapa hari kemudian muncul surat pernyataan dari Salihara yang dengan sepihak menyatakan bahwa mereka telah melakukan investigasi dan kejadian ini tidak menggunakan fasilitas Salihara dan posisi Sitok di Salihara. Investigasi macam apa yang dilakukan sepihak tanpa mendengar kesaksian pihak korban, tanpa mendengar pernyataan tim advokasi korban? Investigasi macam apa yang dilakukan oleh rekan-rekan pelaku?

Jikalau Salihara punya niat baik untuk melakukan investigasi seharusnya itu dulakukan bukan oleh orang-orang internal Salihara yang mempunyai kedekatan personal dengan Sitok. Belum lagi cacian dan pernyataan yang menyudutkan korban yang dilakukan oleh simpatisan Sitok di banyak sosial media. Sangat kejam. Bagaimana mungkin anda bisa bicara dengan bahasa yang merendahkan martabat perempuan?

Lalu setelah banyak perlawanan dari orang dan lembaga yang bersimpati pada korban maka muncullah senjata terakhir ini, "Saya Khilaf". Kata Khilaf ini biasanya diucapkan oleh orang yang mencari pembenaran atas tindakannya. Saya salah lho... tapi saya khilaf kok. Khilaf ini bisa diartikan kalau dia bertindak di luar kesadaran dan pikiran sehatnya.

Ketika terjadi sebuah kejahatan maka khilaf akan muncul dan selanjutnya nama Tuhan disebut. Dalam masyarakat yang memuja religiusitas maka ini senjata ampuh. Tak ubahnya koruptor yang datang ke persidangan memakai peci, baju koko atau jilbab. Tak ubahnya koruptor yang tiba-tiba mengucap asma Allah dan bertasbih ketika dia didakwa korupsi. Tuhan langsung dibawa.

Tuhan hadir untuk tutupu kejahatan. Khilaf itu manusiawi, ini menjadi ungkapan yang nantinya muncul. Tak ada manusia yang tak punya cela. Tapi Kita tak boleh lupa bahwa Pelaku Kejahatan itu adalah pembohong ulung. Sitok adalah pembohong ulung, selama ini dia sudah mengkhianati lembaga perkawinan, anaknya maka pembohong tak bisa dipercaya. Pembohong akan selalu melakukan kebohongan berikutnya berulang-ulangbuntuk menutupi kejahatannya. Bahkan tanpa malu Tuhan pun diseret-seret dalam kebohongannya. Saya sebagai sorang bapak, mengutuk pembohong Sitok sampai ke kuburnya!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun