Hari ini saya tergerak untuk membaca dan menonton pernyataan Sitok Srengenge di media tentang kasus kekerasan seksual yang dia lakukan terhadap korban RW. Apa yang membuat saya tergerak adalah pernyataan Sitok di sebuah televisi yang menyatakan dia khilaf dan kembali menyangkal adanya kekerasan seksual yang dia lakukan terhadap korban.
Semenjak kasus ini muncul saya, langsung menghubungi tim pendamping korban dan mendapatkan sisi pandang yang berbeda dari apa yang disampaikan oleh Sitok dalam pernyataannya. Menghadapi sebuah kasus kekerasan seksual kita tidak bisa melihatnya sebagai sebuah kejahatan biasa.
Pelaku biasanya akan berdalih bahwa kejadian tersebut atas dasar suka sama suka, atau korban dengan kemauan sendiri datang ke tempat pelaku. Pembelaan seperti ini lazim muncul. Lalu ketika dalam posisi lebih terdesak lagi dia akan berdalih dia khilaf. Dalam kasus Sitok dia sudah melakukan cara-cara ini. Apakah kita bisa mempercayainya? TIDAK.
Ketika saya tahu bagaimana kondisi korban yang depresi, putus asa, trauma maka saya bisa memastikan dengan jelas ini adalah kasus kekerasan seksual yang sistematis. Biasanya pelaku akan melakukan bujuk rayu kepada korban untuk datang ke sebuah lokasi yang nyaman buat pelaku melakukan kejahatannya.
Dalam kasus ini Sitok membujuk korban untuk datang ke tempat kosnya, sebuah tempat dimana Sitok berkuasa dan merasa nyaman. Korban menaruh kepercayaan kepada Sitok karena dia adalah sastrawan dan budayawan terkenal.
Posisi dia sebagai kurator di Komunitas Salihara membuat korban percaya. Di sini saya lihat Sitok jelas-jelas memanfaatkan posisi kuasa dia di Komunitas Salihara dan memanipulasinya untuk mendapat kepercayaan korban. Lalu begitu korban terbujuk untuk datang ke kos Sitok seketika itu pula Sitok melakukan kejahatannya. Kita juga harus melihat dalam kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi adalah pemanfaatan kuasa pelaku untuk menjerat korban.
Sitok mempunyai kuasa sebagai seorang sastrawan terpandang, kurator komunitas Salihara. Kuasa itu yang dimanfaatkan untuk mengeksploitasi posisi inferior korban, seorang mahasiswi, sendirian, di kamar kos pelaku. Ketika ini berhasil biasanya Pelaku akan mengulangi perbuatannya, segala bujuk rayu akan dilakukan dan kejadian bisa saja terulang lagi berkali-kali. Dalih beberapa orang yang membela Sitok biasanya akan berujar, "Kalo diperkosa gak mungkin sampai berkali-kali".
Untuk memahami situasi korban kita harus paham apa yang dialami oleh korban secara psikologis. Seorang korban kekerasan seksual biasanya mengalami depresi yang akut. Buat perempuan luka perkosaan akan sangat dalam. Perkosaan adalah bentuk hegemoni kuasa pelaku atas tubuh korban.
Setelah terjadi perkosaan jiwa korban sudah rusak secara psikologis. Korban akan merasa harga dirinya hilang dan hancur. Dia akan menyalahkan dirinya sendiri dan tak bisa berpikir jernih. Situasi ini yang terkadang membuat korban secara psikologis berada dalam kuasa sang Pelaku. Pelaku lalu memanfaatkan ini. Biasanya bujuk rayu akan lembali dilontarkan, dan kalau ini tidak berhasil maka ancaman yang akan keluar.
Dengan taktik ini maka pelaku memanfaatkan kehancuran individu korban untuk melakukan kejahatannya kembali. Pada taraf ini Stockholm Syndrome bisa saja terjadi. Kehancuran diri korban membuat korban dalam kondisi yang memungkinkanuntuk bersimpati pada pelaku. Terutama ketika Korban mengisolasi diri dan tidak mau menceritakan apa yang dialaminya kepada orang terdekatnya.
Pelaku yang biasanya memang sudah sakit jiwa, akan memanfaatkan ini. Dia akan menjadi satu-satunya orang yang seolah-olah paling mengerti korban. Dia akan sangat rajin menghubungi korban, menaruh perhatian pada korban. Dia tahu korban sudah tidak mempunyai kuasa atas tubuhnya sendiri, maka dia manfaatkan itu. Memberikan pemahaman ini terhadap pandangan masyarakat yang tidak berpihak pada korban memang susah. Terutama kalangan dekat Si Pelaku. Apalagi jikalau kalangan dekat ini mempunyai pengaruh kuasa seperti Salihara.