Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Jadi Kota Tanjungbalai Ke 396, Tanjungbalai Kota Toleransi Bukan Intoleransi

10 Februari 2019   13:31 Diperbarui: 10 Februari 2019   14:01 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Tanjungbalai  Sumatera Utara baru saja memperingati Hari Jadinya yang ke 396 tahun. Tepatnya 27 Desember 2018 yang baru lalu. Di tengah memperingati hari jadinya itu, ada secuil persoalan yang mengganjal dibenak masyarakat kota Tanjungbalai.

Persoalan itu adalah publikasi hasil survai yang dilakukan oleh Setara Institute dimedia elektronik, online dan media cetak nasional, dimana disebutkan dalam hasil survai yang dilakukan oleh Stara Institute tentang kota kota besar/kecil yang tergolong sebagai kota toleransi dan kota intoleransi.

Dalam survai Setara Inetitute itu disebutkan bahwa kota Tanjungbalai termasuk kota yang tergolong pada intoleransi, menempati urutan terahir dari kota kota yang disebutkan oleh Setara Institute di dalam survainya.

Dimasukkannya kota Tanjungbalai sebagai salah satu kota intoleransi di Indonesia, jelas mengundang  keritikan.  Wali kota Tanjungbalai H.Syahrial,SH.M.Hum, selaku mewakili masyarakat Tanjungbalai  mempertanyakan metode yang dipergunakan oleh Setara Institute  dalam hasil survainya, menempatkan kota Tanjungbalai sebagai salah satu kota Intoleransi di Indonesia.

Terkait Survei Setara Institute yang menempatkan Kota Tanjungbalai di Posisi Paling Bawah sebagai Kota Intoleran di Indonesia, Saya Wali Kota Tanjungbalai H.M Syahrial dan segenap Jajaran Pemerintah Kota Tanjungbalai bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Masyarakat Tanjungbalai menolak dengan tegas hasil survei yang dikeluarkan dan dipublikasikan Ke Publik melalui Media Elektronik dan Cetak Nasional.

 "Jika Tanjungbalai disebut Kota Paling Intoleran, tentu suku atau umat agama lain tidak betah dan bisa hidup dengan nyaman di Kota Tanjungbalai ini," begitu ungkap Wali Kota Termuda se Indonesia itu, saat menanggapi terkait hasil survei Setara Institute yang menempatkan Kota Tanjungbalai di posisi Paling Bawah kota intoleran di Indonesia.

Apa yang dikatakan oleh sang Walikota, jika melihat kerukunan antara , suku, agama,  Ras dan ummat beragama, dikota Tanjungbalai, rasanya kita tidak percaya dengan hasil survai yang dilakukan oleh Setara Institute.

Kerukunan yang terjalin dengan eratnya, membuat masyarakat kota Tanjungbalai yang dihuni oleh masyarakat yang hitrogen,  berbeda suku, ras, etnis dan agama itu dapat menjalani kehidupan secara berdampingan. Dan menjalankan ajaran agamanya masing masing sesuai dengan peraturan yang diterapkan oleh Pemerintah, sedikitpun tanpa ada halangan.

Mesjid, Gereja, Vihara dan Kelenteng, berdiri sejajar ditengah tengah masyarakat kota Tanjungbalai tanpa ada protes, asalkan sesuai dengan aturan yang telah diterapkan oleh pemerintah.

Tanjungbalai cukup dikenal sebagai daerah yang memiliki masyarakat  yang ramah, tutur kata, dan sopan santu. Dan hal itu telah dibuktikan oleh seorang penyanyi dan pencipta lagu legendarys dari Negara jiran Malaysia Ahmad Jais ketika berkeunjung ke kota Tanjungbalai pada tahun 70-an. 

Dan itu dituangkannya dalam salah satu bait lagu yang berjudul "Tanjungbalai" hasil gubahannya. "Penduduknya ramah, sopan santu, tegur dan sapanya, seolah olah kita telah berkenalan lama."

Protes  atas hasil survai Setara Institute yang menempatkan kota Tanjungbalai sebagai kota Intoleransi, tidak saja datangnya dari Walikotanya, tapi juga protes keras yang menempatkan kota Tanjungbalai sebagai salah satu kota Intoleransi di Indonesia juga disampaikan oleh Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) kota Tanjungbalai.

Ketua Fokad kota Tanjungbalai Asmadi SH mengatakan, Setara Institute harus mempublikasikan dasar metode survai yang dilakukan sehingga menempatkan kota Tanjungbalai sebagai salah satu kota intoleransi di Indonesia. Agar masyarakat tidak menduga duga bahwa survai yang dilakukan oleh Setara Institute, tidak sesuai fakta dengan kenyataan yang ada dilapangan.

Namun Asmadi SH juga tidak menafik, jika dikota Tanjungbalai juga pernah terjadi kerusuhan massal.  Akan tetapi kata Ketua Fokad itu,  kerusuhan yang diterjadi adalah rentetan dari kerusuhan kerusuhan yang terjadi di ibukota (Jakarta). Dan kerusuhan massal itu bukan saja terjadi di Tanjungbalai tapi juga terjadi dikota kota yang ada di Indonesia.

Jika Setara Institute, mengklaim kota Tanjungbalai sebagai kota Intoleransi, hanya berpedoman terhadap kerusuhan  yang terjadi  dan pembakaran kelenteng di kota Tanjungbalai baru baru ini, hal itu sungguh permatur. Terlalu dini Setara Institute memasukkan hal tersebut kaedalam survainya.

Karena kejadian itu bersipat pribadi, bukan bersifat social. Karena etnis turunan Tionghua dikota Tanjungbalai, juga menolak jika pristiwa itu dimasukkan kedalam golongan kerusuhan missal berbau Suku, Agama dan Ras (Sara).

Bagan Siapi Api Luput Dari Survai:

Jika memang  hasil survai yang dilakukan oleh Setara Institute, berdasarkan fakta dilapangan, tentu kota Bagan Siapi Api yang berada di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau tidak luput dari hasil survai.

Seharusnya jika pedoman hasil survai sesuai dengan fakta, maka wajar kota Bagan Siapi Sipi sebagai kota  Cina Taon di Profinsi Riau masuk kedalam kota yang paling toleransi di Indonesia. Karena di kota yang terkenal dengan sebutan kota Seribu Kubah ini, masyarakat etnis Tionghua dengan masyarakat melayu, batak dan lain sebagainya, hidup dengan penuh toleransi, rukun dan damai.

Di kota Bagan Siapi Api penduduk mayoritasnya adalah etnis Tionghua, kemudian Melayu menempati urutan kedua, baru etnis suku Batak dan lain sebagainya. 

Di kota ini rumah ibadahnya, mulai dari mesjid, Gereja, Kelenteng, Vihara  berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Masing masing penduduknya menjalankan ibadah agamanya tanpa ada gangguan sedikitpun, dari masyarakatnya.

Jika ingin melihat toleransi antar ummat beragama yang cukup kental, datanglah kekota Bagan Siapi Api.  Dikota ini Mesjid berdiri dengan megahnya ditengah tengah hunian etnis Tionghua, begitu juga Kelenteng berdiri ditengah tengah hunian masyarakat  etnis melayu, gereja dan vihara juga demikian. Tidak ada warganya yang protes. Ibadah mereka tetap berjalan, sekalipun rumah ibadah itu ditengah tengah penganut agama yang berbeda.

Maka wajar jika banyak pihak, dimana kotanya dimasukkan sebagai kota intoleransi melakukan protes dan meminta agar Setara Institute menjelaskan dasar dasar dari metode survai yang dilakukan. Namun sayangnya  Setara Institute menutup mata dan telinga terhadap protes yang dilakukan oleh masyarakat dimana kotanya masuk dalam kota intoleransi di Indonesia.

Berbuat  Baik Tidak Pandang Agama:

Mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Alm Abdurahman Wahid (Gusdur) mantan Presiden RI dan mantan Ketua NU mengatakan, "Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak Tanya agamamu."

Apa yang dikatakan oleh Gusdur itu bernar, berbuat kebaikan  kepada semua orang tidak harus memandang apa agamanya.  Karena Negara telah menjamin  tentang kebebasan beragama di Indonesia melalui Pasal 29 pada Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Mengenai hasil survai yang dilakukan oleh Setara Intitute, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos kepada Tirto mengatakan pihaknya belum dapat menjabarkan  secara detail dari penjabaran  indeks perkota tentang kota  toleransi/intoleransi itu.

Karena menurutnya saat ini Setara Institute masih melakukan proses penyutingan pada laporan direktori perkota dari stude indeks tersebut sebelum memasuki proses cetak akhir. Meski demikian. Tigor mengklaim studi tersebut melibatkan sejumlah pihak ketiga dalam proses pembuatannya.

Jika apa yang dikatakan oleh Wakil Setara Institute itu benar, alangkah naibnyalah Setara Instutute ,mempublikasikan hasil studi yang mentah, yang masih dapat berobah obah. Jangan jangan Setara Institute mempublikasikan hasil mentah dari studi yang mereka lakukan untuk melihat sejauh mana reaksi masyarakat yang kotanya dikatakan sebagai kota toleransi/intoleransi. Jika menuai keritikan Setara Institusi akan memperbaikinya.

Untuk menghindari tanggapan negative dari masyarakat terhadap krediblitas Stara Institute, agar tidak dikatakan sebagai lembaga survai abal abal, ada baiknya Stara Institute, terlebih dahulu mematangkan hasil studinya dalam suatu survai barulah mempublikasikannya kepada public. Bukan hanya sekedar coba coba, yang dapat menimbulkan kegaduhan tengah tengah masyarakat. Semoga !.

 Tanjungbalai, 10 Pebruari 2019

Tulisan ini sudah terbit di Harian Analisa Medan.

                                                                                                             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun