Sepanjang tahun 2018, masyarakat kota Tanjungbalai yang terkenal dengan sebutan kota kerang yang berada diwilayah timur Provinsi Sumatera Utara, dikagetkan dengan dua pristiwa penangkapan terduga teroris.
Pada bulan Mei 2018 yang lalu tim Densus 88 anti terror, melakukan penggerebakan terhadap kelompok terduga teroris di Kelurahan Beting Kuala Kapias Kecamatan Teluk Nibung kota Tanjungbalai Sumatera Utara. Dalam penggerebekan ini dua terduga teroris tertembak, satu meninggal dunia dan satu lagi dalam keadaan luka.
Peristiwa itupun menjadi buah bibir dikalangan masyarakat kota Tanjungbalai. Betapa tidak karena selama ini kota Tanjungbalai yang memiliki motto " Balayar Satujuan Batambat Satangkahan ", nyaris tidak terdengar adanya aksi aksi terororisme. Walaupun sebelumnya sekitar serpuluh tahun yang lalu Desus 88 anti terror pernah melakukan penangkapan teroris kelompok Ghazali di Jalan Pesat Kelurahan Pahang Kecamatan Datuk Bandar Timur kota Tanjungbalai.
Peristiwa penangkapan terduga teroris, kini terulang kembali, setelah enam bulan berlalu dari peangkapan kelompok teroris di Kelurahan Beting Kuala Kapias Kecamatan Teluk nibung.
Penangkapan kelompok terduga teroris terjadi pada Jumat 19 Oktober 2018. Lagi lagi kelompok terduga teroris yang ditangkap oleh tim Densus 88 anti terror terjadi di Kecamatan Teluk Nibung, tepatnya di Jalan Jumpul Kelurahan Kapias Pulau Buaya. Dalam penangkapan ini dua terduga teroris meninggal dunia setelah melakukan aksi saling tembak dengan tim Densus 88 anti terror.
Yang mirisnya Dari peristiwa ini, pelaku terduga teroris masih berusia belia, sekitar 20 tahun. Jika dihitung dengan usia 20 tahun, berarti pelaku teroris ini baru tammat dari Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Sungguh merupakan suatu kenaiban anak remaja yang baru tammat SLTA telah terkontaminasi dengan paham paham radikalisme.
Jika mengacu kepada usia belia yang baru tammat pendidikan SLTA, bisa terpapar terhadap paham radikalisme, jelas menimbulkan pertanyaan. Berarti ada yang salah dalam melakukan pendidikan terhadap para remaja.Â
Sehingga mereka dengan mudahnya terperdaya terhadap paham paham radikalisme. Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab? Lingkungan keluarganyakah, atau pemerintah?.
Dan yang membuat kita kaget, dari apa yang dijelaskan oleh Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Agus Andrianto, tewasnya kedua pelaku teroris itu, setelah melakukan perlawanan dengan pihak petugas dengan menggunakan senjata api rakitan dan senjata tajam.
Kemudian dari barang bukti yang ditemukan  dilokasi kejadian, setelah petugas melakukan penggerebekan dirumah terduga teroris  berupa, bahan bahan peledak, lima kotak  bom rakitan siap ledak, sebuah selongsong peluru yang sudah diledakkan, 20 butir peluru sisa yang masih aktif dan satu buah senjata tajam berupa pisau, serta lima pasang pakian baju rompi.
Sasaran peledakan, adalah Markas Komando polisi, Rumah Ibadah dan tempat tempat vital yang ada dikota Tanjungbalai. (Voa Indonesia Sabtu 20 Oktober 2018). Tentu apa yang telah dipersiapkan oleh terduga kelompok teroris yang masih berusia belia ini, bukan lagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak muda seusia mereka, tapi melainkan adalah pekerjaan orang orang  dewasa yang memang telah terlatih untuk melakukan terror.
Paham Radikalisme :
Peristiwa aksi terror yang dilakukan oleh kelompok kelompok terorisme bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia, tapi melainkan peristiwa terror berupa peledakan, bom bunuh diri dan lain sebagainya sudah tertulis dalam sejarah sejak kemerdekaan Indonesia. Dan berapa jumlah pelaku terror yang tewas dan terkadang tidak sebanding pula dengan jumlah korban akibat kejadian terror yang dilakukan oleh para pelaku terorisme.
Kejadian penggerebekan kelompok terduga teroris di kota kerang ini, tentu membuka mata kita, bahwa pelaku terror yang menamakan dirinya sebagai kelompok terorisme tidak mengenai usia. Dan kemudian tumbuhnya paham paham radikalisme itu tidak mengenal waktu dan tempat serta batasan usia.
Jika dihitung dengan jari, tentu tidak terhitung sudah berapa banyak para kelompok terorisme ini yang meregang nyawa, baik ketika melakukan bom bunuh diri, maupun ketika dilakukannya penggerebekan oleh petugas.Â
Belum lagi yang ditangkap. Namun paham paham radikalisme itu tetap tumbuh dan berkembang sampai keakar rumput. Hari ini mungkin ratusan bahkan ribuan yang tewas dan ditangkap. Tapi pada hari itu juga mungkin ratusan dan ribuan orang orang terekrut paham radikalisme.
Sasaran para kelompok terorisme kini tidak lagi mengutamakan aksinya dikota kota besar, tapi melainkan sudah beralih kekota kota kecil yang ada di Indonesia. Jika melihat peralihan aksi ini, tujuan dari aksi para terorisme ini bukan lagi untuk menegakkan kebenaran ajaran yang dianutnya, tapi melainkan mengarah kepada hal hal yang dapat menimbulkan rasa takut bagi masyarakat.Â
Aksi-aksi yang mereka lakukan dengan sasaran kota kota kecil, hanya merupakan mop bagi pemerintah bahwa terorisme itu masih ada.
Hal itu bisa terlihat dari sasaran yang akan dilakukan oleh kelompok teroris yang tertangkap dikota Tanjungbalai. Kota yang hanya memiliki luas sekitar 60 km persegi dengan kepadatan penduduk sekitar 175.000, jiwa, yang hanya memiliki Mako Polisi setingkat Polsek dan Polres. Dan satu Kompi Brimob itupun tive B. Serta tidak memiliki sarana vital, jika terjadi terror tidak akan mengguncang Indonesia.
      Memutus Mata rantai :
Kendatipun demikian, sebagai bangsa Indonesia kita tidak menginginkan terjadinya terror. Sekecil apapun terror yang terjadi yang dilakukan oleh para kelompok kelompok yang menganut paham radikalisme perlu untuk dikutuk.
Mengingat usia belia para kelompok terduga teroris dikota Tanjungbalai, pemerintah perlu untuk memutus matarantai dari paham paham radikalisme tersebut. Kita tidak bisa memabayangkan jika para remaja Indonesia terekrut paham paham radikalisme, dan dampaknya akan terlihat setelah dua puluh tahun atau tiga puluh tahun kemudian, bagaimana keadaan Negara ini nantinya.
Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah, mengoptimalkan pengawasan terhadap para generasi muda, kemudian melakukan pendidikan kebangsaan berupa paham paham bela Negara berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Saatnyalah pemerintah memasukkan kurikulum tentang bahayanya paham paham radikalisme terhadap berbangsa dan bernegara sejak dini, didalam dunia pendidik nasional, mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai kepada tingkat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) dan SLTA.
Di samping itu, pemerintah perlu untuk melakukan semacam MoY atau kerja sama dengan para ulama, untuk memberikan tausiah tausiah yang berwawasan kebangsaan dalam setiap lini peserta didik.Â
Di samping peranan orang tua dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh anak anak mereka. Dengan demikian mata rantai paham radikalisme itu akan dapat terputus. Bukankah Mencegah Lebih Baik Dari pada Mengobati ". Semoga !
Tanjungbalai, 21 Oktober 2018
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H