Pengadilan Negeri Medan Sumatera Utara yang dipimpin oleh Hakim Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo Selasa 21 Agustus 2018 Â menjatuhkan vonis bersalah kepada Melliana dalam kasus penistaan agama dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara.
Amar putusan yang dibacakan oleh Hakim dalam persidangan itu menyebutkan Melliana dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah dengan senagaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersipat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia, diatur dalam Pasal 156 KUHP tentang penistaan Agama. Â Menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama satu tahun enam bulan dikurangi masa tahanan.
Kasus yang mengantarkan Melliana warga etnis turunan Tionghua penduduk Jalan Karya Kelurahan  Tanjungbalai kota I Kecamatan Tanjungbalai Selatan kota Tanjungbalai Sumatera Utara menjadi penghuni hotel pradeo, bermula pada 29 Juli 2016 ketika dia menyampaikan keluhan kepada tetangganya, Uo, atas terlalu besarnya volume pengeras suara masjid di depan rumahnya. Uo kemudian menyampaikan keluhan Meiliana tersebut kepada adiknya, Hermayanti.
Namun, ungkapan yang disampaikan Uo ke Hermayanti menyinggung ras Meiliana yang merupakan warga keturunan Tionghoa dan beragama Buddha. Ucapan yang menyebut ras Meiliana itu juga disampaikan Hermayanti kepada Kasidi, ayah Uo dan Hermayanti, yang merupakan pengurus masjid Al-Maksum yang terletak berseberangan dengan rumah Melliana Tinggal.
Kasidi pun menyampaikan keluhan tersebut kepada sejumlah pengurus masjid. Akibatnya, terjadi konflik antara para pengurus masjid dan Meiliana hingga berimbas pada perusakan rumah tempat tinggal Meiliana . Kemudian menjurus kepada kerusuhan yang bernuansa Suku Agama Ras (Sara).Â
Massa membakar rumah ibadah warga turunan Tionghua yang ada di Tanjungbalai, Meiliana pun dilaporkan kepada polisi dan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama.
Dalam kasus yang dituduhkan kepada Melliana ini banyak versi cerita yang bermunculan, dan itu terungkap dalam persidangan, dimana Melliana membantah bahwa pihaknya dengan terang terangan melakukan pelarangan terhadap suara azan yang dikumandangkan dengan menggunakan alat pengeras suara.Â
Pihaknya hanya menyampaikan hal itu kepada tetangganya yang bernama Uo yang kebetulan berjualan disekitar tempat tinggal Melliana.
Tuduhan yang disematkan kepada Melliana sebagai pelaku penista agama, sudah dua tahun berlalu. Namun proses persidangan baru digelar sekitar bulan Juli - Agustus 2018. Kerusuhan bernuansa Sara yang terjadi di Tanjungbalai, adalah merupakan rentetan dari kejadian yang menimpa Melliana juga sudah dilupakan oleh Masyarakat Turunan Tionghua yang tinggal di Tanjungbalai.
Begitu juga dengan warga Tanjungbalai, yang mungkin turut terlibat dalam aksi perusakan dan pembakaran terhadap rumah rumah ibadah warga turunan Tionghua di Tanjungbalai, juga sudah melupakan peristiwa itu. Para pelaku perusakan dan pembakaran yang dibarengi dengan penjarahan juga sudah divonis oleh pengadilan.
Keadaan kota Tanjungbalai pasca kerusuhan itu, sudah cukup kondusif. Warga turunan Tionghuan dan warga Tanjungbalai pribumi, juga sudah tampak saling berbaur. Perdaganganpun yang banyak dikuasai oleh warga turunan Tionghua, tampak berjalan dengan normal.Â
Warga Tanjungbalai tampak berbelanja ketempat tempat dagangan warga turunan Tiongua dan sebaliknya warga turunan Tionghua juga tampak berbelanja ketempat tempat perdagangan milik warga pribumi.
Kalangan ummad Islam maupun Budha dikota Tanjungbalai hidup rukun dan damai serta saling menghormati antara sesama. Â Kedua warga yang berbeda suku dan agama di kota Tanjungbalai telah melupakan kejadian itu.
Bijak dalam Menyikapi :
Ketenangan dan kekondusivan kota Tanjungbalai, pasca putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis kepada Melliana kini mulai terusik. Vonis pengadilan yang dijatuhkan kepada Melliana dipolitisir oleh pihak pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Melliana dianggap sebagai penistaan terhadap intoleransi  kaum minoritas.
Namun yang anehnya, munculnya keberatan atas vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada Melliana berkembang melalui media social (Sosmed) Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh pihak Badan Kesatuan Bangsa dan politik (Kesbang Pol) kota Tanjungbalai, dari sekitar 15 ribu tanggapan di media sosial yang tidak terima terhadap putusan Meiliana itu, 85 persen muncul dari orang luar daerah Tanjungbalai.
Sementara Tokoh masyarakat etnis Tionghoa Kota Tanjungbalai Leo Lopulisa mengatakan, hukum sudah berjalan dan ditegakkan. Apapun hasilnya wajib dihormati tanpa harus dipolitisasi karena bisa menimbulkan persoalan baru dan berpotensi mengganggu kondusivitas daerah.
"Adil atau tidak saya tidak bisa komentari. Pastinya proses hukum sudah dijalankan dan hasilnya wajib kita terima. Demi kondusivitas Kota Tanjungbalai, diharapkan semua pihak tidak menunggangi putusan hukum tersebut," kata Leo seperti dikutip kantor berita Antara, (Jumat 24 Agustus 2018.)
Ucapan bijak yang disampaikan oleh tokoh masyarakat turunan Tionghua kota Tanjungbalai itu, perlu untuk diapresiasi, karena mempolitisasi putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada Melliana dapat mengusik tatanan kerukunan antara ummad beragama dikota Tanjungbalai yang sudah kondusiv
Wajar jika banyak pihak dari tokoh masyarakat kota Tanjungbalai  menyayangkan sikap pihak pihak yang merasa keberatan atas putusan tersebut sebagaimana disampaikan melalui media sosial. Apalagi, komentar itu datangnya dari orang luar yang tidak memahami kondisi Tanjungbalai pasca kerusuhan.
Bawa Air Jangan Bawa Api :
Terlepas dari masuk atau tidaknya unsure Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap suatu golongan dalam perkara penodaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa Sara yang vonisnya dijatuhkan kepada Melliana, seperti yang disampaikan oleh Menteri Agama Lukmam Hakim Syaifuddin dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Dewan Mesjid Indonesia  (DMI) yang mengatakan kepada Republika.Co.Id (Jumat 24 Agustus 2018) dimana Melliana tidak perlu untuk dipenjara,Â
Karena unsur Pasal 156 KUHP tidak masuk dalam unsure tuntutan penistaan agama yang dilakukan oleh Melliana, Â tentu dapat memicu rasa ketidak adilan pula bagi warga yang merasa agamanya dinodai.
Seharusnya para pejabat Negara tidak perlu untuk mengomentari hasil dari vonis pengadilan  yang dijatuhkan kepada Melliana, jika komentar yang disampaikan dapat kembali memicu persoalan Sara di kota Tanjungbalai.
Para pejabat Negara perlu untuk membawa air, agar persoalan penistaan agama yang dapat memicu kerusuhan yang bernuansa Sara dapat memadamkan gejolaknya, bukan malah membawa api yang dapat mengobarkan rasa panas dikalangan masyarakat.
Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menanggapi vonis yang dijatuhkan kepada Melliana, menunjukkan sikap kenegarawanannya. Jokowi mengatakan pihaknya tidak dapat untuk melakukan interpensi terhadap pradilan.Â
Presiden menyarankan kepada pihak Melliana untuk menggunakan saluran hukum yang ada dengan cara banding jika pihak Melliana merasa belum mendapatkan keadilan dalam vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepadanya.
Semua pihak seharunya menghormati putusan pengadilan, bukan memberikan komentar dengan tafsir tafsir liar yang dapat memicu kerusuhan bernuansa sara terulang kembali dikota kerang. Melliana yang merasa diperlakukan tidak adil dalam vonis pengadilan yang dijatuhkan kepadanya memang perlu untuk dibantu.
Akan tetapi bantuan yang diberikan kepada Melliana, bukan dengan cara berkoar koar melalui Sosmed yang dapat memanaskan situasi. Bantulah Melliana memalaui saluran hukum yang ada.Â
Karena persoalan yang dihadapi oleh Melliana ibarat menarik rambut dalam tepung, bagaimana rambut tidak putus dan tepungpun tidak rusak. Semoga!
Tanjungbalai, 25 Agustus 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H