Â
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya berbeda tafsir dengan pihak Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam hal penundaan proses hukum terhadap calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang terlibat dalam kasus hukum, baik pidana umum maupun pidana khusus seperti korupsi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Jendral TNI Prn Wiranto mengeluarkan himbauan kepada para penegak hukum agar menunda penetapan tersangka kepada calon Kepala Daerah pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2018.
Himbauan yang disampaikan oleh Menko Polhukam untuk menunda proses hukum yang melibatkan calon Kepala Daerah yang mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), adalah demi untuk menjaga ketertiban dan keamanan dalam pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018. Setelah Pilkada usai barulah proses hukum yang melibatkan calon Pilkada dilanjutkan.
Adanya himbauan yang disampaikan oleh Menko Polhukam tersebut, tampaknya antara KPK dengan pihak Polri dan Kejagung berbeda tafsir. Bagi KPK himbauan yang disampaikan oleh Meko Polhukam, tidak mengharuskan KPK untuk menunda proses hukum bagi calon Pilkada yang terlibat kasus pidana khusus. Sedangkan Polri dan Kejagung, layaknya seperti mematuhi atas himbauan yang disampaikan oleh Menko Polhukam. Polri dan Kejagung menunggu hingga Proses Pilkada selesai, barulah proses hukum yang melibatkan calon Pilkada diproses.
Bagi KPK tidak ada istilah penundaan bagi calon Pilkada yang terlibat kasus korupsi. Setiap calon Pilkada yang terlibat kasus korupsi, proses hukumnya tetap berlanjut, tanpa harus menunggu pelaksanaan Pilkada selesai.
Dan hal itu dibuktikan oleh Ketua  KPK Agus Raharjo, dengan ditanda tanganinya Surat Perintah Penyidikan (Spendik) untuk menjadikan calon Kepala Daerah sebagai tersangka kasus korupsi. Sudah ada empat calon Kepala Daerah yang mengenakan rompi oranye ditengah proses Pilkada berlangsung. Diantaranya adalah Marianus Sae, Bupati Ngada dan menjadi calon Gubernur Nusa Tenggara Timur. Kemudian Imas Aryumningsih Bupati Subang dan kembali mencalonkan diri sebagai Bupati Subang untuk priode kedua. Setelah itu Nyono Suharli Wihandoko Bupati Jombang dan mencalonkan diri kembali sebagai Bupati Jombang untuk priode kedua, dan Mustafa Bupati Lampung yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Lampung.
Langkah berani yang diambil oleh Ketua KPK dalam mengabaikan himbauan yang disampaikan oleh Menko Polhukam, tentu menimbulkan pro dan kontra. Bagi calon Kepala Daerah yang terlibat kasus korupsi beserta pendukungnya, tentu mendukung dan mengapresiasi atas himbauan yang disampaikan oleh Menko Polhukam.
Dengan ditundanya proses hukum bagi calon Kepala Daerah yang terbentur kasus Korupsi, tentu dapat bernafas lega. Karena masih ada kesempatan untuk menghirup udara segar diluar hotel pradeo. Nasib baik jika dalam Pilkada memetik kemenangan, proses hukum tentu akan menjadi panjang dan berliku.
Sementara bagi rakyat yang bersikap netral, yang jauh dari konotasi politik, tentu mendukung langkah berani yang diambil oleh KPK. Apa yang dilakukan oleh KPK telah sesuai dengan Pasal 3 Undang Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK telah membuktikan dirinya sebagai lembaga Negara independen.
KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, bebas dari intervensi kekuasaan dari manapun. Pemerintah tidak dapat untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan oleh KPK.
Sikap Menko Polhukam yang telah mengeluarkan himbauan untuk menunda proses hukum terhadap calon Kepala Daerah, Â yang turut dalam Pilkada serentak tahun 2018, tentu tidak terlepas dari sikap pemerintah yang ingin untuk mencampur adukkan antara proses politik dengan proses hukum. Idiealnya urusan Pilkada sebagai proses politik harus menyampingkan proses hukum. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dalam segala bidang.
KPK Bukan Malaikat
Dalam melakukan penetapan  tersangka bagi calon Kepala Daerah, yang mengikuti Pilkada, KPK harus dapat mengeluarkan diri dari anggapan,  bahwa KPK tidak punya kepentingan dalam politik praktis. KPK dalam setiap menetapkan tersangka, terhadap calon Kepala Daerah yang mengikuti proses Pilkada, harus memiliki alat bukti yang kuat.
Jangan sampai penetapan tersangka bagi calon Kepala Daerah, hanya didasari pesanan yang bernuansa politik. Bukti kuat yang dimiliki KPK merupakan hal yang mendasar. Tujuannya agar tidak bisa disanggah dalam pra peradilan, apa bila seorang tersangka menempuh jalaur itu. Dan tidak menjadi pitnah bagi orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Jangan menetapkan tersangka bagi seseorang dengan cara terburu buru, gara gara mau Pemilu lantas Sprindik dikeluarkan. Hal ini perlu diingatkan kepada KPK, karena KPK bukanlah Malaikat.
Ketika KPK dipimpin oleh Abraham Samad, kasus penetapan tersangka Konjen Pol Budi Gunawan, merupakan catatan hitam bagi KPK. KPK menetapkan Komjend Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan rekening gendut menjelang Budi Gunawan dilantik menjadi Kapolri.
 Banyak pihak mengatakan jika penetapan Komjend Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan rekening gendut, penuh dengan nuansa politis. Budi Gunawanpun melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan mengajukan pra peradilan. Dan hasilnya gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dimenangkan oleh pengadilan.
Dan anehnya KPK, dapat menerima kepeutusan pengadilan yang memenangkan gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan. Berbeda dengan kasus Setya Novanto (Setnov) Ketua DPR RI yang tersandung kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
 KPK tampak begitu getol memburu kasus Setnov yang ditengarai merugikan Negara Rp 2,3 triliyun. Walaupun Setnov telah memenangkan gugatannya atas penetapan dirinya sebagai tersangka melalui pra peradilan, akan tetapi KPK tetap memburu kasus Setnov dengan kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka. Lalu kenapa terhadap Budi Gunawan KPK dapat menerima putusan pengadilan. Disinilah  Banyak pihak menduga, jika penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan bernuansa politik. Apa lagi kasus tersebut mencuat pada tahun politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Tak Perlu Ditunda
Menurut data KPK yang  beredar, ada 208 calon Kepala Daerah petahana dari 171 daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang akan melaksanakan Pilkada secara serentak. Namun KPK enggan menyebutkan berapa banyak calon Kepala Daerah yang bakal menerima Sprindik ditengah proses Pilkada.
Sikap yang diperlihatkan oleh KPK, bertolak belakang dengan sikap yang diperlihatkan oleh Polri. Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian justru telah memerintahkan Polisi diseluruh Indonesia untuk tidak memperoses terlebih dahulu perkara yang bersinggungan dengan calon Kepala Daerah. Proses hukum baru akan dilanjutkan setelah Pilkada selesai.
Langkah Polri untuk menunda proses hukum terhadap calon Kepala Daerah, nampaknya juga diikuti oleh pihak Kejaksaan Agung. Kejagung AM Prasetio, juga sepakat dengan pihak Kapolri untuk menunda proses hukum bagi calon Kepala Daerah yang tersangkut kasus hukum.
Pada hal secara idiealnya kasus hukum yang menjerat calon Kepala Daerah tidak perlu untuk ditunda. Dengan dilanjutkannya proses hukum terhadap calon Kepala Daerah yang mengikuti Pilkada akan membuat jelas bagi masyarakat yang akan memilihnya.
Masyarakat akan mengetahui tife dari calon Kepala Daerah yang akan dipilihnya. Jika calon Kepala Daerah itu benar benar adalah calon Kepala Daerah yang tersangkut dalam kasus dugaan korupsi, tentu masyarakat tidak akan memilihnya.
Dengan cara demikian, maka akan lahir calon calon Kepala Daerah yang benar benar memiliki integritas, dan elektablitas yang benar benar bersih, jauh dari sikap serakah yang mengkorupsi uang rakyat untuk kepentingan pribadinya.
Selama ini Pilkada hanya melahirkan Kepala Daerah yang banyak melakukan korupsi. Karena proses Pilkada layaknya seperti menjual kucing dalam karung. Tanpa menunda proses hukum bagi calon Kepala Daerah yang tersandung hukum, maka dapat dipastikan Pilkada akan bersih dari calon calon yang memiliki sikap drakulla. Semoga !.
  Tanjungbalai, 25  Maret 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI