Sikap Menko Polhukam yang telah mengeluarkan himbauan untuk menunda proses hukum terhadap calon Kepala Daerah, Â yang turut dalam Pilkada serentak tahun 2018, tentu tidak terlepas dari sikap pemerintah yang ingin untuk mencampur adukkan antara proses politik dengan proses hukum. Idiealnya urusan Pilkada sebagai proses politik harus menyampingkan proses hukum. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi dalam segala bidang.
KPK Bukan Malaikat
Dalam melakukan penetapan  tersangka bagi calon Kepala Daerah, yang mengikuti Pilkada, KPK harus dapat mengeluarkan diri dari anggapan,  bahwa KPK tidak punya kepentingan dalam politik praktis. KPK dalam setiap menetapkan tersangka, terhadap calon Kepala Daerah yang mengikuti proses Pilkada, harus memiliki alat bukti yang kuat.
Jangan sampai penetapan tersangka bagi calon Kepala Daerah, hanya didasari pesanan yang bernuansa politik. Bukti kuat yang dimiliki KPK merupakan hal yang mendasar. Tujuannya agar tidak bisa disanggah dalam pra peradilan, apa bila seorang tersangka menempuh jalaur itu. Dan tidak menjadi pitnah bagi orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Jangan menetapkan tersangka bagi seseorang dengan cara terburu buru, gara gara mau Pemilu lantas Sprindik dikeluarkan. Hal ini perlu diingatkan kepada KPK, karena KPK bukanlah Malaikat.
Ketika KPK dipimpin oleh Abraham Samad, kasus penetapan tersangka Konjen Pol Budi Gunawan, merupakan catatan hitam bagi KPK. KPK menetapkan Komjend Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan rekening gendut menjelang Budi Gunawan dilantik menjadi Kapolri.
 Banyak pihak mengatakan jika penetapan Komjend Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan rekening gendut, penuh dengan nuansa politis. Budi Gunawanpun melakukan perlawanan melalui jalur hukum dengan mengajukan pra peradilan. Dan hasilnya gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dimenangkan oleh pengadilan.
Dan anehnya KPK, dapat menerima kepeutusan pengadilan yang memenangkan gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Budi Gunawan. Berbeda dengan kasus Setya Novanto (Setnov) Ketua DPR RI yang tersandung kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
 KPK tampak begitu getol memburu kasus Setnov yang ditengarai merugikan Negara Rp 2,3 triliyun. Walaupun Setnov telah memenangkan gugatannya atas penetapan dirinya sebagai tersangka melalui pra peradilan, akan tetapi KPK tetap memburu kasus Setnov dengan kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka. Lalu kenapa terhadap Budi Gunawan KPK dapat menerima putusan pengadilan. Disinilah  Banyak pihak menduga, jika penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan bernuansa politik. Apa lagi kasus tersebut mencuat pada tahun politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres).
Tak Perlu Ditunda
Menurut data KPK yang  beredar, ada 208 calon Kepala Daerah petahana dari 171 daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang akan melaksanakan Pilkada secara serentak. Namun KPK enggan menyebutkan berapa banyak calon Kepala Daerah yang bakal menerima Sprindik ditengah proses Pilkada.
Sikap yang diperlihatkan oleh KPK, bertolak belakang dengan sikap yang diperlihatkan oleh Polri. Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian justru telah memerintahkan Polisi diseluruh Indonesia untuk tidak memperoses terlebih dahulu perkara yang bersinggungan dengan calon Kepala Daerah. Proses hukum baru akan dilanjutkan setelah Pilkada selesai.