Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilgub 2018, Pertarungan Jokowi VS Megawati

28 Januari 2018   07:48 Diperbarui: 28 Januari 2018   10:11 2547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fhoto/Tribunnews.com

Tahapan dari pelaksanaan pemilihan Gubernur,  yang akan diselenggarakan sekitar Juli 2018 secara serentak  telah dimulai. Masing masing pasangan  kandidat sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui usungan Partai Politik (Parpol) dengan koalisinya.

Ada tujuh belas Provinsi yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak tahun 2018. Untuk daerah Sumatera terdapat empat Provinsi. Diantaranya Sumatera Utara (Sumut), Riau, Sumatera Selatan (Sumsel), dan Lampung. Sedangkan untuk wilayah Jawa, terdapat tiga Provinsi yakni,  Jawa Barat (Jabar). Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim).

Kemudian untuk wilayah timur terdapat sepuluh Provinsi yang akan melaksanakan Pilkadanya yaitu, Kalimatan Barat (Kalbar), Kalimantan Timur (Kaltim), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku dan Papua.

Dari tujuh belas Provinsi yang akan menggelar Pilkada secara serentak tahun 2018, menggambarkan adanya dua kekuatan Parpol, untuk melakukan uji kekuatan elektablitas partainya lewat Pilgub yang akan digelar.

Kedua kekuatan Parpol tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar (PG). dimana keduanya adalah partai pendukung Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) -- Jusuf Kalla (JK). Walaupun kedua Parpol ini merupakan Parpol pendukung Pemerintahan Jokowi -- JK, namun dalam hal penunjukkan nama calon yang diusung dalam Pilkada serentak di tujuh belas Provinsi, kedunya saling berbeda.

PDIP, merupakan Parpol pendukung utama Jokowi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, mengusung kandidat diluar dari Parpol pengusung Jokowi, walaupun dibeberapa Provinsi PDIP melakukan koalisi dengan Parpol pendukung Jokowi.

Begitu juga dengan Partai Golkar, yang sebelumnya merupakan partai oposisi, dalam hal mengusung kandidatnya untuk dicalonkan sebagai Gubernur, dibeberapa Provinsi Golkar juga mengusung calon Gubernurnya berseberangan dengan calon yang diusung oleh PDIP.

Hanya ditiga Provinsi saja Golkar dan PDIP, memiliki calon Gubernur yang sama, yaitu di Provinsi Riau, Arsyad Juliandi Rahman-Suyatno, Kemudian di Provinsi Sumatera Selatan, Dody Reza Alex Nurdin -- Giri Ramanda Kiemas, dan di Provinsi Jawa Tengah Ganjar Pranowo -- Taj Yasin.

Selebihnya di empat belas Provinsi lainnya, PDIP dan Golkar berseberangan dalam mengusung calon Gubernurnya.

Untuk Sumut Golkar mengusung Letjend TNI Edy Rahmayadi -- Musa Rajekshah, Sedangkan PDIP mengusung Djarot Syaiful Hidayat -- Sihar Sitorus. Di Provinsi Lampung PDIP mengusung Herman Sanusi -- Sutono, sedangkan Golkar mengusung Arinal Djunaidi -  Chusnunia Chalim.

Sedangkan Jawa Barat PDIP mendukung Tubagus Hasanuddin -- Irjen Pol Anton Charliyan. Golkar mengusung Dedy Mizwar -- Dedi Mulyadi. Jawa Timur PDIP mengusung Syaifullah Yusuf -- Futi Guntur Soekarno. Golkar mengusung Khofifah Indar Parawangsa -- Emil Elestianto Dardak.

Sedangkan diwilayah timur, untuk Kalimantan Barat , PDIP mencalonkan  Karolin Margaret Natasa -- Suryadman Gidot. Golkar Sutar Maji -- Ria Norsan. Kalimantan Timur, Golkar mencalonkan Andi Syofian Hasdam -- Nur Sirwan Ismail. PDIP mengusung Rusmadi -- Syafaruddin.

Di Provinsi Bali PDIP mencalonkan I Wayan Koster -- Tjok Oka Arta Sukawati, sedangkan Golkar mencalonkan Ida Bagus Ray Darma Wijaya -- I Ketut Sudi Kerta.  Untuk Nusa Tenggara Barat,  Golkar mengusung Suhaili Fadil Thohir -- M.Amim. PDIP mencalonkan Ahyar Abduh -- Mori Hanafi.

Golkar dan PDIP , dalam mencalonkan, calon Gubernur di Provinsi Nusa Tenggara Timur, juga tidak sejalan. Golkar mencalonkan Viktor Laiskodat -- Josef A.Nae Soi, sedangkan PDIP mengusung Marianus Sae -- Emelia J Nem Leni.

Perbedaan calon,  antara PDIP dan Golkar,  juga terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan.  Golkar mencalonkan Nurdin Khalik -- Abdul Aziz Qahhar. Sementara PDIP mencalonkan Nurdin Abdullah -- Sudirman Sulaiman.

Hal yang sama,  dalam perbedaan calon Gubernur juga terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara.  PDIP mencalonkan Asrin -- Haqua.  Golkar medukung Ali Mazi -- Lukman Abunawas. Di Provinsi Maluku Utara,  PDIP mencalonkan Abdul Gani Kasuba -- M. Al Yasin Ali. Sedangkan Golkar mendukung Ahmad Hidayat Mus -- Rivai Umar.

Di Provinsi Maluku dan Papua, PDIP dan Golkar juga berbeda calon. Untuk Provinsi Maluku Golkar mencalonkan Said Assegaf -- Andrias Renta Nubun. Sedangkan PDIP mencalonkan Irjend Pol Murad Ismail -- Barnabas Orno. Dan di Provinsi Papua Golkar mencalonkan Lukas Enem Be -- Klemen Tinol. PDIP mengusung Jhon Wemfi Watipo -  Habil Melkias Suwao.

Sinyal Perpisahan :

Dari perbedaan dalam pengusungan calon Gubernur antara PDIP dan Golkar, melahirkan sinyal perpisahan antara Megawati Soekarno Putri dengan Presiden Jokowi, yang merupakan sekutu dekat Jokowi.

Sinyal tersebut muncul dengan sangat kuat, setelah PDIP menghindari untuk berkoalisi dengan kandidat yang didukung Jokowi, dan begitu juga sebaliknya, Jokowi yang ditunggangi oleh Golkar juga menghindari calon yang didukung oleh PDIP.

Langkah politik yang diambil oleh Jokowi ini, sesungguhnya memang sangat mengherankan, jika mengingat, keberhasilan Jokowi menjadi Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta dan Presiden, yang tidak terlepas dari dukungan PDIP. Walaupun sebelumnya Jokowi bukanlah Kader PDIP.

Setelah menjadi Walikota Solo barulah Jokowi memutuskan untuk menjadi kader partai PDIP, walaupun Megawati mengatakan, Jokowi adalah petugas partai, bukan kader partai. Walaupun sebagai petugas Partai, tidaklah pantas bagi Jokowi untuk berseberangan dengan garis partai.

Kesan awal dari tanda tanda akan berpisahnya Jokowi dan Megawati, telah terlihat dari restu yang diberikan oleh Jokowi terhadap Airlagga Hartarto, Menteri Perindustrian untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar,  dan memperbolehkan Airlangga merangkap jabatan.

Kemudian Jokowi mengangkat Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menjadi Menteri Sosial dan Pemberdayaan Wanita, menggantikan Kofifah Indar Para Wangsa, yang direstui oleh Jokowi maju sebagai calon Gubernur Jawa Timur, untuk melawan Syaifullah Yusuf yang dicalonkan oleh PDIP.

Menakar Elektablitas Partai :

Melihat dari peta Pilgub di tujuh belas Provinsi,  yang akan digelar secara serentak pada Juli 2018, sangat terlihat Jokowi dan Megawati sedang mengukur elektablitas partai koalisi. Maka sampai saat ini,  PDIP belum menyatakan untuk mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Berbeda dengan partai koalisi pendukung pemerintah, seperti Golkar, Nasdem, Hanura, PAN, PKB dan PKPI, yang telah menyatakan sebagai partai, yang akan mencalonkan kembali Jokowi sebagai Presiden pada Pilpres 2019. Sementara PPP, walaupun sebagai Partai pendukung pemerintah, namun masih bersikap abu abu.

Lewat Pilgub secara serentak di tujuh belas Provinsi tahun 2018, PDIP mengukur kadar elektablitas partai koalisinya. Hasil dari Pilgub inilah nantinya,  PDIP baru memutuskan, apakah PDIP akan mencalonkan kembali Jokowi, sebagai Presiden pada Pilpres 2019, atau PDIP mengajukan kandidat yang baru.

Sementara Jokowi yang mengandalkan Partai Golkar, yang memiliki 14,75 persen suara, hanya tinggal menambah sekitar 5,25 persen saja, untuk memenuhi presidential threshold sebesar 20 persen. Secara tekhnis posisi Jokowi sudah aman, untuk mencalon kembali sebagai calon Presiden pada Pilpres 2019, walau tanpa didukung oleh PDIP.

Yang menarik, dari adu kekuatan antara Jokowi dan Megawati, di Pilgub 2018 di tujuh belas Provinsi, saling berebut kantong Islam. PDIP dengan cerdiknya melihat kelemahan Jokowi, yang memiliki hubungan buruk dengan kelompok islam intlektual perkotaan.

Kelemahan Jokowi ini, dimamfaatkan oleh PDIP dengan melakukan pendekatan, dengan kaum Nahdiyin Nahdlatul Ulama (NU), dengan mengusung Syaifullah Yusuf, yang belatar belakang NU sebagai calon Gubernur Jawa Timur.

Yang jelasnya Pilgub serentak tahun 2018 di tujuh belas Provinsi, merupakan adu strategi, antara Megawati dengan Jokowi. Karena keberhasilan dalam Pilgub 2018 akan menetukan nilai tawar politik Jokowi dengan Megawati pada Pilpres 2019.

Jika hasil Pilgub 2018 mengantarkan Jokowi berada diatas angin, kemungkinan besar Jokowi akan meninggalkan PDIP. Sebagai Presiden,  Jokowi tidak ingin hanya menjadi petugas partai dikandang banteng. Jokowi tidak ingin selamanya berada dibawah bayang bayang Megawati. Namun tidak tertutup pula kemungkinan,  keduanya akan tetap bersatu dalam Pilpres 2019.

Hiruk pikuk Pilgub 2018, tak lebih dari pada alat untuk mengukur elektablitas partai dan koalisinya. Hasil dari Pilgub 2018 inilah nantinya,  yang menentukan percaya dirinya PDIP untuk mencalonkan calon Presiden diluar Jokowi. Dan sebaliknya Jokowi juga mengukur kekuatannya melalui Partai Golkar, apakah dia masih membutuhkan PDIP atau tidak , dalam pencalonan Presiden tahun 2019 yang akan datang.

Tanjungbalai, 28 Januari 2018                                                                             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun