Nafisah menyuruh sang mandor untuk tidur diatas rerumputan dibawah rimbunan pohon sawit, Nafisahpun mendekap sang mandor dari atas, goyangan ronggeng yang dipersembahkan oleh Nafisah kepada bekas gundiknya ini semakin membuat sang mandor tidak dapat untuk mengendalikan dirinya. Keduanyapun mendaki gunung yang tinggi, tapi belum sampai kepuncak, disaat itu pulalah Nafisah yang telah lama menyimpan dendamnya terhadap mandor besar Kartijo, dia membalaskan dendam itu.
      Dalam dekapan sang mandor, Nafisah mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari besi tembaga yang ada dirambutnya, lalu menusukkannya kearah mata sang mandor besar Kartijo. Nafisah bagaikan kemasukan setan, dia berulang kali menusukkan tusuk konde itu kearah leher sang mandor, akibat tusukkan dileher, sang mandor tidak dapat mengeluarkan suaranya, hanya tubuhnya yang menggelepar bagaikan sapi yang baru kena sembelih. Sedikitpun Nafisah tidak memiliki rasa takut bahwa dia telah membunuh mandor besar Kartijo. Ilmu yang dimiliki oleh mandor besar Kartijo hambar, disaat dia ingin mencapai puncak dari permainan yang dipersembahkan oleh Nafisah.
      Seperti tidak ada kejadian apa apa, Nafisah keluar dari rimbunan pohon sawit, sebelum bergabung dengan teman temannya dalam group ronggeng, dia merapikan pakiaannya dan menyisir rambutnya seperti sedia kala, dan kembali memasang tusuk konde miliknya yang telah menghilangkan nyawa mandor besar Kartijo.
      Lagu berbahasa jawa kembali mengalun dari panggung ronggeng. Nafisah dan teman temannya sesama ronggeng kembali menggoyang goyangkan tubuhnya mengikuti irama lagu. Para peronggeng laki laki naik keatas panggung dan memilih masing masing pasangannya. Sementara mandor besar Kartijo telah meregang nyawa dimalam gelap gulita dibawah rimbunan pohon sawit diperkebunan itu.
      Para undangan yang menghadiri hajatan tuan asisten yang duduk dikursi depan, sedikitpun tidak merasa curiga dengan tidak terlihatnya mandor besar Kartijo dikursinya. Sang mandor datang ketempat undangan itu bersama dengan orang suruhannya yang juga sebagai supirnya. Orang suruhannya inipun juga tidak merasa curiga dengan tidak terlihatnya sang mandor ditempat duduknya.
      Diatas panggung ronggeng, barulah rasa takut muncul dihati Nafisah, namun dia berusaha untuk menenangkan hatinya agar tidak ada yang curiga terhadap dirinya, beberapa kali Nafisah menghela nafas panjang, sementara dia tetap meronggeng melayani pasangannya.
      Rasa takut yang dirasakan oleh Nafisah, adalah merupakan hal yang wajar. Setiap orang yang memiliki rasa dendam ketika membalaskan dendamnya, sedikitpun dia tidak merasa ketakutan, akan tetapi setelah dendamnya terbalaskan, dan orang yang didendamnya itu meregang nyawa, barulah rasa takut itu datang menghantui pemikiran. Takut akan ketahuan bahwa kitalah pembunuhnya, takut akan masuk penjara, dan takut akan dendam dari keluarga sikorban yang suatu saat akan terbalaskan kepada kita.
      Sampai acara ronggeng berakhir, barulah Nafisah mendengarkan adanya keributan, orang suruhan sang mandor besar Kartijo, terlihat panic dan bertanya tanya tentang keberadaan tuannya yang belum terlihat, tuan asisten yang punya hajatan, memerintahkan para centeng untuk mencari keberadaan sang mandor, namun sedikitpun kecurigaan terhadap Nafisah belum terlihat. Group ronggeng dimana Nafisah menjadi penari ronggengnyapun berkemas dan meninggalkan acara pesta yang telah berakhir, dan juga meninggalkan mandor besar Kartijo yang  telah berakhir pula kehidupan dan kekuasaanya ditangan Nafisah. (Bersambung ..)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H