Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Orang-orang di Kebun Sawit (21)

22 Agustus 2017   21:25 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:46 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebelumnya

Sama seperti sejarah negeri ini, yang ditulis oleh tangan tangan kekuasaan para pemenang. Semasa kekuasaan ditangan pemenang, semasa itu pula sejarah yang ditulisnya tetap dikenang, dan tidak seorangpun yang berani untuk merobah sejarah itu. Akan tetapi jika para pemenang yang menulis sejarah kekuasaannya telah berakhir, dan muncul pemenang baru, maka sejarah yang ditulisnyapun berbeda. Begitulah sejarah, dan sulit untuk membuktikan suatu sejarah, mana yang benar dan mana yang tidak benar. Walaupun tinta untuk menulisnya sama.

Kemudian :

            " Kami mengucapkan terimaksih kepada kepada keluarga ini yang telah menyelamatkan anak kami " , ayah Nafisah mengucapkan kata kata itu dengan penuh takzim.

            " Dengan rasa senang hati kami menerima ucapan itu. Tapi ada satu hal yang ingin kami sampaikan kepada kakang ", orang tua Kasiran tidak melanjutkan kata kata nya, kedua orang tua Nafisah saling pandang, dan meraba raba perkataan apa yang akan disampaikan oleh keluarga ini kepada mereka.

            " Katakanlah kang, kami siap untuk mendengarkannya, sekalipun itu terasa pahit buat kami ", mata kedua orang tua Nafisah mengarahkan pandangannya kepada kedua orang tua Kasiran, kemudian pandangan itu beralih kepada Kasiran dan Nafisah.

            " Kami bermaksud untuk menjadikan Nafisah sebagai mantu kami, isteri buat Kasiran ",  suasana hening, diluar malam tak berbintang, pada hal sebelumnya langit dipenuhi dengan bintang bintang, tetapi dihati Nafisah muncul cahaya bintang. Orang tua Nafisah terdiam sesaat, bagaikan tidak mampu untuk berkata kata.

            " Apakah kakang telah mengetahui siapa Nafisah ?", orang tua Nafisah ragu dengan apa  yang didengarnya.

            " Sudah, dan Nafisah sendiri yang telah menjelaskannya ".

            " Apakah Kasiran tidak merasa malu menikahi Nafisah bekas seorang gundik ", mata ayah Nafisah memandang kearah Kasiran.

            " Tidak, saya tidak akan merasa malu, karena semua orang punya masa lalu ", jawab Kasiran dengan tegasnya.

            " Baiklah kalau begitu, kami menyerahkan semuanya kepada keluarga ini ".

            " Kapan waktunya kami akan mengabari kakang ",

            " Iya,  kapan waktunya beri tahu kami ", balas orang tua Nafisah. Apa yang menjadi pembicaraan malam itu, merupakan awal dari sebuah kehidupan baru yang akan dijalani oleh Nafisah.

            Kehidupan  sebagai mana mestinya bagi orang orang yang telah mengikat pernikahan secara sah menurut hukum agama dan Negara. Nafisah tidak lagi sebagai seorang gundik, tapi dia adalah calon ibu dari anak anaknya kelak dari hasil pernikahannya dengan Kasiran.

            Kini Nafisah melalui malam malamnya tidak lagi sendiri, tidak seperti selama ini, ketika menjadi gundik mandor besar Kartijo. Dia menyerahkan seluruh tubuhnya, tapi tidak jiwanya. Walaupun dia tidur seranjang dengan mandor besar Kartijo, tapi tidak pula pada cintanya. Kini dia tidak saja menyerahkan tubuhnya, tapi juga jiwanya, rasa cinta dan kasih sayangnya, perhatiannya, jiwa raganya diberikannya kepada suaminya Kasiran, pemuda kampung yang telah menyelamatkan dirinya dari kekuasaan.

            Hari hari berlalu, tahun datang dan pergi silih berganti, situasi negarapun semakin tidak menentu. Tokoh tokoh  pergerakan dari Partai Komunis Indonesia mulai memasuki perkebunan, dengan membawa janji janji manis kepada para kuli di perkebunan. Para kuli mulai merasa tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh PKI untuk menuju perobahan, sama rasa sama rata, rapat rapat antara tokoh pergerakan PKI dengan para kuli diperkebunan mulai digelar. Kuli kuli diperkebunan bagaikan mendapat angin untuk menentang kekuasaan para mandor.

            Sedangkan diluar peerkebunan faham faham sosialis yang disebarkan oleh para tokoh pergerakan dari PKI mulai merasuk ketengah tengah masyarakat. Ada masyarakat yang termakan issue ajaran itu, dan ada pula yang menolak ajaran faham komunis itu. Namun situasinya tetap sama dengan apa yang terjadi didalam perkebunan. Hampir setiap malam ada saja rapat rapat digelar oleh tokoh tokoh PKI dengan masyarakat, begitu juga dengan tokoh tokoh yang membawa faham fahan Nasional  juga menggelar rapat rapatnya bersama masyaraka yang menjadi anggotanya.

            Munculnya tokoh tokoh pergerakan untuk menuju perobahan dari dua aliran faham, membuat para spekulan memamfaatkan situasi dengan menaikkan harga harga sandang dan pangan, rakyat semakin sengsara, pemerintah sibuk mengusur partai partai,  rakyat tidak dapat hanya untuk berpangku tangan mempertahankan kehidupannya. Pemerintah mulai melakukan pencatuan terhadap kebutuhan pangan rakyat, mulai dari beras, gula, kopi, teh dan sampai kepada minyak tanah. Masyarakat untuk mendapatkan kepeluan ini terpaksa antri untuk menunggu giliran pencatuan itu.

            Menghadapi situasi seperti ini, Nafisah menyampaikan keiinginannya kepada Kasiran untuk turut bekerja membantu perekonomian keluarga. Keiinginannya itu disampaikannya kepada Kasiran disuatu malam diatas ranjang.

            " Kang mas,  harga harga kebutuhan pangan dipasar setiap hari semakin menaik ".

            " Ya, inilah akibatnya jika para pemimpin kita disibukkan dengan urusan partai ", Kasiran memeluk Nafisah diatas ranjang yang jauh dari sederhana.

            " Jika situasinya seperti ini terus menerus, maka kita akan kesulitan untuk makan, sedangkan yang bekerja hanya kang mas sendiri ".

            " Apa yang saya dapat itulah yang kita makan ",

            " Tapi jika terus terusan seperti ini, kita juga akan kesulitan untuk makan ". Kasiran memandang kearah Nafisah dia meraba apa yang dikatakan oleh Nafisah.

            " Lalu maksudmu bagaimana ?".

            " Kalau seandainya kang mas tidak keberatan, dan memberikan izin, rasanya saya ingin turut bekerja untuk membantu kang mas " Dia menatap Satiran.

            " Pekerjaan apa yang bisa adik lakukan, sedang kan saat ini orang orang kesulitan untuk mencari pekerjaan ", terlihat ada kerutan dikening Kasiran, dia berpikir pekerjaan apakah yang akan dilakukan oleh isterinya ini.

            " Kemarin mbak yu Poniem, tetangga sebelah, mengajak saya untuk bergabung dengan group ronggeng yang dipimpinnya ".

            " Apa adik mau menjadi penari ronggeng?", Kerutan dikening Kasiran semakin menebal. Dia tahu sebagai penari ronggeng yang berpindah pindah tempat, apakah isterinya ini sanggup untuk tidak pulang kerumah berminggu minggu.

            " Iya, apa kang mas setuju?, lagi pula menjadi penari ronggeng juga bukan pekerjaan yang jelek " , Kasiran terdiam sejenak. Menjadi penari ronggeng juga bukan pekerjaan yang salah. Akan tetapi mampukah Nafisah menjaga diri dari tangan tangan jahil laki laki yang meronggeng?. Kata  Kasiran dalam hatinya.

            " Menjadi penari ronggeng itu, tentu berhadapan dengan banyak laki laki. Dan tidak semua laki laki itu adalah orang yang baik, menari ronggeng hanya untuk menghibur diri, agar hatinya merasa gembira. Tapi disamping itu tentu banyak juga laki laki yang meronggeng bukan untuk mencari kesenangan hatinya, tapi melainkan meronggeng bagi mereka untuk mencari kesempatan memegang megang lawan ronggengnya, untuk menyalurkan birahinya. Apakah adik sudah siap untuk menghadapi semua ini ", Kasiran memberikan pandangan kepada Nafisah. (Bersambung ..)

            Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)

 Asahan, Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun