" Ya, biarkan saja dia disini, nanti malam binatang binatang buas akan menyantapnya. Apa yang diucapkan oleh mandor besar Kartijo didengar dengan jelas oleh Nafisah. Tapi bagi Nafisah lebih baik dia mati dimakan oleh binatang buas dari pada mati ditangan lelaki laknat ini.
Tampa menunggu perintah untuk kedua kalinya, Gatot masuk kedalam mobil, lalu memajukan mobil meninggalkan Nafisah dan rumah besar, pintu dan daun jendelanya masih terbuka.
      Tidak ada seorangpun yang bisa hidup dengan selamat dari mangsaan para binatang buas yang setiap malam mendatangi rumah besar itu. Begitulah cara para petinggi dan mandor perkebunan menyiksa para kuli yang melakukan kesalahan. Jika dalam penyiksaan kuli itu meregang nyawa, jasadnya langsung ditanam dibelakang rumah besar, tapi jika masih hidup, kuli itu dibiarkan begitu saja dihalaman rumah besar. Dan malamnya para binatang buas itu datang untuk memangsa kuli itu.
      Besok paginya para kuli akan menemukan tulang belulang dan cabikan pakaian yang berserakan sampai kedalam perkebunan. Dan anehnya tidak ada kegemparan yang terdengar diperkebunan walau para kuli telah menemukan tulang belulang dan cabikan pakaian. Semua berjalan seperti apa adanya, karena mulut para kuli untuk bersuara telah diredam oleh kekuasaan.
***
      Suara lonceng dari gardu yang dipukul oleh centeng menyadarkan Nafisah dari lamunannya, dipandanginya kedua anaknya yang tertidur dengan lelapnya. Keristal keristal putih bagaikan salju jatuh membasahi bantalnya. Dipejamkannya matanya erat erat untuk menghilangkan bayangan kehidupan masa lalunya, namun baginya sulit untuk menghilangkan kenangan pahit masa lalu itu. (Bersambung..)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, Agustus 2017