Sebelumnya :
      " Mbak, aku itu dijadikan gundik oleh mandor besar, karena kekuasaannya, bukan karena aku suka sama dia ", Nafisah tetap menatap wajah Poniah. Karena apa yang dikatakannya itu adalah merupakan kenyataan. Sebab  kekuasaan yang dimiliki oleh mandor besar Kartijolah, maka dia mau tidak mau, suka atau tidak suka, masuk dan terperangkap dalam dunia pergundikan.
Kemudian :
      " Kamu kan tahu kalau mandor besar itu adalah gundik saya ", mata Poniah melotot kearah Nafisah.
      " Sekalipun itu gundiknya mbak, tapi saya tidak salah ".
      " Sapa bilang kamu tidak salah,telah  merebut gundik orang ".
      " Mbak saya itu bukannya merebut gundik mbak, tapi saya dipaksa oleh kekuasaan mandor besar. Kalau saya dibolehkan untuk memilih, saya tidak akan memilih jadi gundik ", kata kata Nafisah membuat Poniah naik darah.
      " Apa kau bilang?".
      " Ya, mbak, kalaulah saya boleh memilih saya tidak akan hidup sebagai gundik".
      " Beraninya kau menghina aku, menghina gundik mandor besar sama dengan menghina mandor besar ". Suara Poniah begitu keras mengundang para kuli yang lalu lalang ditempat itu memandang kearah mereka.
      " Saya tidak menghina mbak, karena kita sama sama hidup dalam dunia pergundikan. Tapi itulah prinsip yang ada pada diri saya " ujar Nafisah lembut
      " Dengar baik baik ya perempuan jalang. Suatu saat kau akan menerima balasan dari saya atas penghinaan yang kau lakukan ini ". Tangan Poniah menunjuk kearah wajah Nafisah. Kemudian berlalu dari hadapan Nafisah.
      Pertengkaran antara Nafisah dan Poniah, memang tidak sampai ketelinga mandor besar Kartijo, pertengkaran itu hanya menjadi pergunjingan para kuli ditempat tidur, gaungnya tidak sampai keluar dari kelambu pasangan suami isteri para kuli. Walaupun diperkebunan penuh dengan pergunjingan, akan tetapi tidak seorang kulipun yang berani untuk membawa pergunjingan itu keluar dari dalam pondoknya.
      Kekuasaan adalah tameng untuk meredam segala bentuk pergunjingan. Nasib kuli diperkebunan tetaplah menjadi budak dari kekuasaan. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Rakyat hanya dijadikan sebagai pelengkap untuk menyatakan adanya suatu Negara. Sementara hak para rakyat dikebiri oleh pemerintah yang berkuasa. Rakyat dibungkam, diancam dan ditakut takuti, sehingga rakyat hanya bisa menerima. Kebebasan berendapat untuk menciptakan demokrasi hanya menjadi menjadi sebuah mimpi, kala itu.
      Tidak ada satupun tangan tangan kekuasaan diluar perkebunan yang mampu untuk menjelma menjadi dewa sebagai penolong bagi para kuli kuli diperkebunan. Hiruk pikuk perkebunan gaungnya tidak pernah terdengar keluar dari perkebunan, begitu juga sebaliknya, apa yang terjadi didunia luar dari perkebunan tidak pula pernah menyentuh kedalam kehidupan perkebunan.
      Para kuli yang berada didalam perkebunan layaknya seperti berada didalam rumah kaca. Orang orang diluar dapat melihat isi dari rumah kaca itu. Dan sebaliknya orang orang yang berada  rumah kaca dengan leluasa dapat  melihat keluar. Tapi mulut mereka tidak dapat untuk saling sapa, karena dibatasi oleh  dinding kekuasaan. Seperti inilah nasib orang orang yang berada dikebun sawit.
***
Malam semakin larut, bulan sepotong terlihat dilindungi oleh awan diperkebunan itu. Nafisah dan dua orang anaknya sudah berada ditempat tidur yang ala kadarnya. Pikirannya kembali menerawang jauh kelain dunia yang tidak berbatas. Baginya takdir tidak lebih dari kekuasaan, sama dengan kekuasaan para mandor yang ada diperkebunan.
Kedua anaknya telah pulas dalam tidurnya, karena kelelahan bermain dengan anak tetangga. Dipandanginya kedua wajah anaknya yang kini telah menjadi yatim. Bagaimanakah perjalanan hidup kedua anaknya ini kelak?, apakah takdirnya akan sama dengan takdir ibunya yang penuh dengan penderitaan? Mungkinkah anaknya lahir ditempat yang salah, dalam lingkungan kekuasaan yang tidak dapat untuk ditepis, yang dilakoni oleh orang orang munafik, yang berlagak sebagai pemimpin yang katanya mengayomi dan melindungi orang orang yang dipimpinnya. Tapi nyata nyata tidak punya hati dan perasaan, laksana musang berbulu domba.
Kenangan kenangan pahit dalam kehidupannya sebagai seorang gundik, kini kembali terulas dengan baik dikornea matanya. Ingin rasanya dia menefis kenangan itu, tapi semakin dipejamkannya matanya, semakin jelas dan terang benderang peristiwa masa lalu itu hadir dimatanya.
Titik titik bening menetes dari kelopak matnya, dia teringat akan mandor besar Kartijo, laki laki tua yang telah menghacurkan kehidupannya lewat tangan tangan kekuasaan yang dimiliki oleh sang mandor besar.
Suatu malam Nafisah menonton keramaian yang diadakan oleh para kuli diperkebunan. Keramaian itu dilaksanakan dalam rangka merayakan hari kemerdekaan negeri ini. Lapangan kantor perkebunan  disulap oleh para kuli menjadi arena tempat hiburan itu. Ada ronggeng, perjudian kuda pusing dan lain sebagainya, yang sengaja didatangkan oleh para petinggi perkebunan dari luar perkebunan.
Para kuli, terlihat datang berbondong bonding untuk menyaksikan malam hiburan itu. Sudah menjadi kebiasaan diperkebunan jika ada keramaian para kuli yang seharian telah bekerja memeras keringatnya tetap saja meringankan langkah untuk datang ketempat kearamaian itu.
Nafisah tanpa seizing mandor besar datang ketempat keramaian  bersama dengan tiga orang adiknya, dia berada cukup jauh dari panggung dimana acara akan berlangsung. Didepan panggung dia melihat deretan bangku telah diisi oleh para petinggi perkebunan, beserta para isteri mereka dan juga para mandor dengan istri isteri mereka. Dia melihat mandor besar Kartijo berada di urutan depan disampingnya ada istrinya.
Malam hiburan bagi kuli kuli diperkebunan itu digelar sampai tengah malam, para petinggi perkebunan, para mandor terlihat, secara bergiliran naik keatas pentas ronggeng, tanpa terkecuali mandor besar Kartijo. Colekan yang dilakukan oleh para petinggi perkebunan dan mandor kepada penari ronggeng, menjadi hiburan dan tontonan yang menarik bagi para kuli. Namun untuk menari ronggeng tidak seorang kulipun yang diperbolehkan untuk naik kepentas ronggeng.
Para kuli, mencari hiburannya masing masing, ada yang membawa anak nya untuk naik kuda pusing, tapi banyak juga para kuli yang turut bermain judi lotre putar. Para kuli diperkebunan ini menaruhkan nasibnya pata jarum lotre putar, sekali putaran mengena, sepuluh kali putaran tidak mengena. Itulah judi. Dalam catatan sejarah perjuadian belum pernah pemain mengalahkan sang Bandar. (Bersambung..)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
 Asahan, Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H