" Dengar baik baik ya perempuan jalang. Suatu saat kau akan menerima balasan dari saya atas penghinaan yang kau lakukan ini ". Tangan Poniah menunjuk kearah wajah Nafisah. Kemudian berlalu dari hadapan Nafisah.
      Pertengkaran antara Nafisah dan Poniah, memang tidak sampai ketelinga mandor besar Kartijo, pertengkaran itu hanya menjadi pergunjingan para kuli ditempat tidur, gaungnya tidak sampai keluar dari kelambu pasangan suami isteri para kuli. Walaupun diperkebunan penuh dengan pergunjingan, akan tetapi tidak seorang kulipun yang berani untuk membawa pergunjingan itu keluar dari dalam pondoknya.
      Kekuasaan adalah tameng untuk meredam segala bentuk pergunjingan. Nasib kuli diperkebunan tetaplah menjadi budak dari kekuasaan. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Rakyat hanya dijadikan sebagai pelengkap untuk menyatakan adanya suatu Negara. Sementara hak para rakyat dikebiri oleh pemerintah yang berkuasa. Rakyat dibungkam, diancam dan ditakut takuti, sehingga rakyat hanya bisa menerima. Kebebasan berendapat untuk menciptakan demokrasi hanya menjadi menjadi sebuah mimpi, kala itu.
      Tidak ada satupun tangan tangan kekuasaan diluar perkebunan yang mampu untuk menjelma menjadi dewa sebagai penolong bagi para kuli kuli diperkebunan. Hiruk pikuk perkebunan gaungnya tidak pernah terdengar keluar dari perkebunan, begitu juga sebaliknya, apa yang terjadi didunia luar dari perkebunan tidak pula pernah menyentuh kedalam kehidupan perkebunan.
      Para kuli yang berada didalam perkebunan layaknya seperti berada didalam rumah kaca. Orang orang diluar dapat melihat isi dari rumah kaca itu. Dan sebaliknya orang orang yang berada  rumah kaca dengan leluasa dapat  melihat keluar. Tapi mulut mereka tidak dapat untuk saling sapa, karena dibatasi oleh  dinding kekuasaan. Seperti inilah nasib orang orang yang berada dikebun sawit.
***
Malam semakin larut, bulan sepotong terlihat dilindungi oleh awan diperkebunan itu. Nafisah dan dua orang anaknya sudah berada ditempat tidur yang ala kadarnya. Pikirannya kembali menerawang jauh kelain dunia yang tidak berbatas. Baginya takdir tidak lebih dari kekuasaan, sama dengan kekuasaan para mandor yang ada diperkebunan.
Kedua anaknya telah pulas dalam tidurnya, karena kelelahan bermain dengan anak tetangga. Dipandanginya kedua wajah anaknya yang kini telah menjadi yatim. Bagaimanakah perjalanan hidup kedua anaknya ini kelak?, apakah takdirnya akan sama dengan takdir ibunya yang penuh dengan penderitaan? Mungkinkah anaknya lahir ditempat yang salah, dalam lingkungan kekuasaan yang tidak dapat untuk ditepis, yang dilakoni oleh orang orang munafik, yang berlagak sebagai pemimpin yang katanya mengayomi dan melindungi orang orang yang dipimpinnya. Tapi nyata nyata tidak punya hati dan perasaan, laksana musang berbulu domba.
Kenangan kenangan pahit dalam kehidupannya sebagai seorang gundik, kini kembali terulas dengan baik dikornea matanya. Ingin rasanya dia menefis kenangan itu, tapi semakin dipejamkannya matanya, semakin jelas dan terang benderang peristiwa masa lalu itu hadir dimatanya.
Titik titik bening menetes dari kelopak matnya, dia teringat akan mandor besar Kartijo, laki laki tua yang telah menghacurkan kehidupannya lewat tangan tangan kekuasaan yang dimiliki oleh sang mandor besar.
Suatu malam Nafisah menonton keramaian yang diadakan oleh para kuli diperkebunan. Keramaian itu dilaksanakan dalam rangka merayakan hari kemerdekaan negeri ini. Lapangan kantor perkebunan  disulap oleh para kuli menjadi arena tempat hiburan itu. Ada ronggeng, perjudian kuda pusing dan lain sebagainya, yang sengaja didatangkan oleh para petinggi perkebunan dari luar perkebunan.