Sebelumnya :
Suatu hal yang tidak dapat untuk dipungkiri, hidup diperkebunan penuh dengan liku liku. Paras cantik bagi seorang kuli wanita merupakan modal untuk mencari keuntungan, dengan mendekati para mandor atau petinggi perkebunan. Jika seorang kuli mendapatkan perhatian para mandor, apa lagi mandor besar dan para petinggi perkebunan, maka uang akan mengalir, berbagai fasilitas akan didapat dengan mudah, tidak perduli kuli itu memiliki suami atau tidak.
Berikutnya :
"Kenapa kau terlambat?", tanya mandor Sarmin tanpa merobah intonasi suaranya.
"Anu mandor ", Dia gugup untuk menjawab pertanyaan sang mandor. Kakinya gemetar dalam berdiri dihadapan mandor Sarmin yang terkenal kegalaknya.
Sinar mata hari mulai terasa terik menghunjam keubun ubun, Nafisah mencoba menenangkan hatinya, akan tetapi semakin dia menenangkan hatinya semakin hatinya bergemuruh. Pandangan mandor Sarmin menjelajahi seluruh tubuhnya.
"Anunya apa !", hardik mandor Sarmin lagi.
"Saya kesiangan bangun mandor", tanpa menatap mandor Sarmin  dia memberanikan diri untuk menjawab.
"Karena kamu kelelahan melayani mandor besar tadi malam, makanya kamu kesiangan bangunnya ". Bagaikan tersengat aliran listrik Nafisah terperanjat mendengarkan tuduhan yang dikatakan oleh sang mandor. Apa lagi mandor Sarmin mengatakan hal itu dengan suara yang meninggi, dan didengar dengan jelas oleh para kuli yang ada dipembibitan.
Nafisah hanya mampu untuk diam, lidahnya kelu seketika. Mata para kuli memandang kearahnya. Namun tidak seorangpun para kuli itu berani mengolok olokkan Nafisah didepan mandor Sarmin.
"Saya tahu kalau mandor besar punya hubungan percintaan denganmu. Tapi kamu juga harus tahu kalau saya juga ingin untuk menjadikanmu sebagai gundik saya ". Tampa sedikitpun merasa malu kepada para kuli mandor Sarmin mengucapkan kata kata itu .
"Tidak mandor, saya tidak punya hubungan apa apa dengan mandor besar, selain dari hubungan kuli dengan tuannya", jawab Nafisah nyaris tidak terdengar. Sinar mata hari semakin panas saja. Sesekali angin dari rimbunan pohon sawit berhembus menerpa wajahnya.
"Kamu tidak punya hubungan dengan mandor besar?, tapi mata kepala saya melihat jika mandor besar sering menemuimu ", mandor Sarmin memegang payu dara Nafisah yang masih mengkal walaupun Nafisah telah melahirkan anak dua.
"jangan mandor ", tangan Nafisah menepis lembut tangan mandor Sarmin. Mata para kuli melihat tangan mandor Sarmin meremas remas payu dara Nafisah.
"Ini hukuman bagi kuli yang terlambat masuk kerja ". Napas Nafisah memburu, ada sedikit rasa nikmat bercampur takut yang dirasakannya. Selama tiga bulan dia menjanda belum ada tangan laki laki yang memegang dan meremas payu daranya. Pagi ini buah dadanya yang telah lama tidak disentuh oleh tangan laki laki, kini diremas remas oleh mandor Sarmin.
"Lihat Nafisah keenakan teteknya dibelai belai bandot tua itu ", Hartini teman Nafisah sesama kuli berbisik kepada Parni yang juga kuli dipembibitan itu. Pandangan mata keduanya tertuju kepada mandor sarmin dan Nafisah yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja.
"Tentu nanti malam akan berlanjut pada belaian yang lebih asik ", Parni menipali bisikan Hartini. Kedua mata kuli itu mencuri curi pandang kearah mandor Sarmin dan Nafisah.
"Kehadiran janda itu dipembibitan menarik perhatian mandor Sarmin, sehingga dia lupa terhadap diriku ", keluh Hartini
Selama ini sebelum Nafisah dipekerjakan dibagian pembibitan, perhatian mandor Sarmin tertuju kapada Hartini. Walaupun hartini sudah punya anak tiga dan masih memiliki suami yang sama sama sebagai kuli diperkebunan itu. Â Tubuh Hartini masih terlihat mengkal, padat dan berisi, warna kulitnya hitam manis, wajahnya masih terlihat kencang, tidak terlihat adanya guratan guratan ketuaan.
Wanita keturunan jawa ini begitu pandai merawat dirinya. Sehingga dia terlihat awet muda, pada hal usia Hartini sudah hampir memasuki kepala empat. Hubungan mandor Sarmin dengan Hartini bukan lagi merupakan rahasia dikalangan para kuli dipembibitan. Mandor Sarmin dalam menyalurkan nafsu birahinya kepada Hartini tidak lagi secara sembunyi sembunyi. Sang mandor sedikitpun tidak merasa sungkan, malu dan takut mencumbui Hartini dihadapam para kuli dipembibitan.
Hartini juga demikian, dia juga tidak merasa malu atau takut ketahuan suaminya dalam melayani nafsu sang mandor tua dihadapan para kuli dipembibitan. Suami Hartini hanya bisa menebalkan telinga dan menutup mata terhadap semua yang dilakukan oleh isterinya. Karena kekuasaan telah menutup pintu keberanian bagi suami Hartini, dan semua orang yang hidup diperkebunan..
Berbeda dengan Nafisah yang tidak tergoda dengan rayuan laki laki ketika suaminya masih hidup. Kenangan pahit dan getirnya kehidupan yang pernah mereka rasakan, membuat Nafisah sulit untuk melupakannya. Karena Suaminyalah Nafisah dapat hidup sampai saat ini. Karena Nafisah memiliki catatan sejarah hidup yang cukup pahit sebelum dia dibawa oleh suaminya menjadi kuli diperkebunan Sumatera Utara ini.
Banyak mandor yang merayu rayunya dengan memberi janji janji manis berbunga materi. Namun Nafisah menolaknya dengan halus. Dia menjaga kehormatan dirinya yang pernah hilang dimata suaminya, anak anaknya dan para tetangga, serta dihadapan sesama kuli.
Dia dengan tegar menolak semua rayuan itu, walaupun resikonya cukup berat dikeluarkan dari perkebunan. Waktu itu Nafisah siap untuk menjalani kehidupan diluar perkebunan, karena suaminya mendukung  apa yang dilakukannya. Suaminya juga pernah mengatakan bahwa kehidupan bukan saja hanya diperkebunan, tapi melainkan dimana ada bumi terbentang disitu pasti ada kehidupan.
Walaupun sebagai seorang kuli, tapi suaminya mempunyai harga diri. Dia tidak mau hidup dalam jajahan. Siapa saja  mandor yang berani menggangu istrinya, suaminya siap tampil didepan. Dia juga berani untuk mendatangi para petinggi perkebunan, maupun tuan pemilik perkebunan, apa bila ada yang tidak pantas dilakukan oleh para mandor terhadap dirinya dan isterinya. Sebab itu pulalah para mandor tidak berani secara terang terangan menggangu Nafisah.
Dan kini semua itu sudah berlalu, setelah menjanda Nafisah menjadi ragu untuk menjalani kehidupan diluar perkebunan, karena diluar sana Nafisah tidak memiliki siapa siapa, termasuk keluarga. Dia dan suaminya adalah perantau yang datang dari pulau Jawa. Sementara untuk kembali pulang kekampung halaman dipulau Jawa Nafisah bagaikan kehilangan nyali, akibat persoalan yang pernah dihadapinya.
Lagi pula kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Hanya keluarga dekat saja yang tinggal dikampung halamannya, sementara kehidupan keluarganya ini memiliki kehidupan yang pas pasan tidak jauh beda dengan kehidupannya diperkebunan ini. Nafisah tidak ingin menjadi beban bagi keluarganya.
Tepisan tangan Nafisah, membuat sang mandor tersinggung, belum pernah ada kuli wanita diperkebunan itu yang berani untuk menolak rabaan dan elusan mandor Sarmin. Hanya baru Nafisah yang berani untuk menolaknya.
"Hartini !", panggil mandor Sarmin. Hartini yang lagi tekun dengan pekerjaannya berpaling kearah sang mandor, lalu menjawab panggilan sang mandor.
"Ya, mandor?".          Â
"Kau kemarilah ", tangan mandor Sarmin melambai kearahnya.
"Mandor mungkin mau menyalurkan birahinya denganmu dihadapan Nafisah ", ujar Parni sebelum Hartini melangkahkan kakinya kearah mandor Sarmin dan Nafisah. (bersambung...)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)
                                                   Asahan, Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H