Banyak mandor yang merayu rayunya dengan memberi janji janji manis berbunga materi. Namun Nafisah menolaknya dengan halus. Dia menjaga kehormatan dirinya yang pernah hilang dimata suaminya, anak anaknya dan para tetangga, serta dihadapan sesama kuli.
Dia dengan tegar menolak semua rayuan itu, walaupun resikonya cukup berat dikeluarkan dari perkebunan. Waktu itu Nafisah siap untuk menjalani kehidupan diluar perkebunan, karena suaminya mendukung  apa yang dilakukannya. Suaminya juga pernah mengatakan bahwa kehidupan bukan saja hanya diperkebunan, tapi melainkan dimana ada bumi terbentang disitu pasti ada kehidupan.
Walaupun sebagai seorang kuli, tapi suaminya mempunyai harga diri. Dia tidak mau hidup dalam jajahan. Siapa saja  mandor yang berani menggangu istrinya, suaminya siap tampil didepan. Dia juga berani untuk mendatangi para petinggi perkebunan, maupun tuan pemilik perkebunan, apa bila ada yang tidak pantas dilakukan oleh para mandor terhadap dirinya dan isterinya. Sebab itu pulalah para mandor tidak berani secara terang terangan menggangu Nafisah.
Dan kini semua itu sudah berlalu, setelah menjanda Nafisah menjadi ragu untuk menjalani kehidupan diluar perkebunan, karena diluar sana Nafisah tidak memiliki siapa siapa, termasuk keluarga. Dia dan suaminya adalah perantau yang datang dari pulau Jawa. Sementara untuk kembali pulang kekampung halaman dipulau Jawa Nafisah bagaikan kehilangan nyali, akibat persoalan yang pernah dihadapinya.
Lagi pula kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Hanya keluarga dekat saja yang tinggal dikampung halamannya, sementara kehidupan keluarganya ini memiliki kehidupan yang pas pasan tidak jauh beda dengan kehidupannya diperkebunan ini. Nafisah tidak ingin menjadi beban bagi keluarganya.
Tepisan tangan Nafisah, membuat sang mandor tersinggung, belum pernah ada kuli wanita diperkebunan itu yang berani untuk menolak rabaan dan elusan mandor Sarmin. Hanya baru Nafisah yang berani untuk menolaknya.
"Hartini !", panggil mandor Sarmin. Hartini yang lagi tekun dengan pekerjaannya berpaling kearah sang mandor, lalu menjawab panggilan sang mandor.
"Ya, mandor?".          Â
"Kau kemarilah ", tangan mandor Sarmin melambai kearahnya.
"Mandor mungkin mau menyalurkan birahinya denganmu dihadapan Nafisah ", ujar Parni sebelum Hartini melangkahkan kakinya kearah mandor Sarmin dan Nafisah. (bersambung...)
Cerita yang dikemas dalam bentuk novel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka. Jika ada nama dan tempat, serta kejadian yang sama, atau mirip terulas dalam novel ini. Itu hanyalah secara kebetulan saja. (Mohon Izin Bapak Adin Umar Lubis, Fhoto anda di Blogspot.com saya jadikan sebagai Beugrond dalam novel ini)