Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[TMN 100 H] Senandung Cinta dari Selat Melaka "99"

21 Juni 2016   14:47 Diperbarui: 21 Juni 2016   14:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya :

Pesta pernikahan itu baru berakhir setelah jam dua malam. Azis dan Meilan tampak kelelahan setelah sehari penuh mengikuti acara pernikahan mereka. Namun diwajah mereka terlihat rasa kebahagian yang sangat. Mimpi mimpi indah Meilan kini telah menjadi kenyataan, Azis telah resmi menjadi Suaminya, dan iapun juga sudah resmi menjadi isteri Azis. Hanya mereka berdualah yang nantinya, akan menjaga agar pernikahan mereka ini bisa langgeng sampai diakhir hanyat mereka.

Kemudian :

Malam itu Meilan tidak lagi tidak  tidur satu kamar dengan kedua adik Azis. Tapi melainkan dia sudah bisa tidur berdua dengan Azis dikamar yang telah dihiasi dengan bunga bungaan. Kamar itu wanginya harum semerbak, sebagai mana lazimnya wanginya kamar penganten baru.

Sebagai penganten baru, Azis dan Meilan nampaknya masih canggung dan kaku. Keduanya masih terlihat malu dan sungkan, apa lagi diantara keluarga Meilan ada yang mencandai mereka. Meilan tidak masuk kekamar penganten, dimana didalamnya Azis sedang menunggunya. Dia malah memasuki kamar dimana bisanya dia tidur bersama dengan kedua adik Azis.

            “ Kakak kenapa tidur disini?”. Tanya Salmi ketika mereka melihat Meilan memasuki kamar mereka.

            “ Kenapa rupanya?, apa kakak tidak boleh lagi tidur disini?”. Ujar Meilan menjawab pertanyaan Salmi dan Sasa.

            “ Kakak kan sudah menikah dengan bang Azis”. Kata Salmi, Meilan memandang keduanya.

            “ Kalau sudah menikah jadi kakak tidur dimana?”.

            “ kata teman kami, kalau wanita itu sudah menikah, dia sudah bisa tidur satu kamar dengan suaminya”, Ujar Salmi. Meilan membuka matanya lebar lebar dan memandang kepada kedua gadis kecil itu. Wajahnya bersemu merah. Rasa kaget dan malunya ia mendengar apa yang dikatakan oleh Salmi dan Sasa. Inilah anak zaman sekarang kecil kecil sudah tahu dengan hal hal yang hanya boleh diketahui oleh orang dewasa.

            “ Kakak tidurlah bersama bang Azis, kasihan bang Azis sendirian “ , Kata Salmi. Salmi menarik tangan Meilan agar keluar dari kamar mereka. Sasa menolak nolak tubuh Meilan sampai kedepan pintu. Dan akhirnya Meilan mereka tarik dan dorong sampai kedepan pintu kamar Azis. Kedua gadis itupun cepat cepat masuk kembali kekamrnya dan mengunci kamar itu dari dalam sehingga Meilan tidak dapat lagi masuk kedalam. Dari balik pintu Meilan mendengar kedua gadis kecil itu tertawa tawa, Meilan pun akhirnya tersenyum sendiri.

            Perlahan lahan Meilanpun membuka pintu kamar itu, Azis memandang kearah meilan. Mata merekapun beradu pandang, Meilan menundukkan wajahnya. Ada rasa lucu diahatinya ketika ia memasuki kamar itu. Inilah untuk yang pertama kali ia memasuki kamar yang didalamnya telah menunggu seorang lelaki. Tapi Meilan tidak menyapa Azis, karena Azis masih berbicara lewat telefhon kepada seseorang. Azis berdiri didepan jendela yang terbuka dan pandangannya mengarah ketengah selat Melaka. Meilan tidak tahu dengan siapa Azis berbicara lewat telefhon itu.

            Dengan masih memakai dandanan busana penganten Meilan duduk disisi pembaringan, Azis menatap kearah Meilan yang duduk disisipembaringan itu. Alang cantik dan manisnya isteriku ini? Kata Azis dalam hatinya.

            “ Joni bertanya kapan kita pulang ke Medan. Mereka telah menyusun rencana untuk menggelar pesta pernikahan kita di Medan”. Azis duduk disamping Meilan

            “ Lalu apa yang abang jawab dengan Joni?”. Meilan bangkit dari duduknya, dia duduk dikursi meja rias yang ada diruangan kamar itu. Dipandanginya wajahnya lewat cermin berukuran besar di meja rias itu.

            “ Kubilang sama Joni nanti dikabari, kalau kami mau pulang. Katanya mereka sudah memboking hotel untuk tempat acara pesta itu”.

            “ Kenapa dihotel, kenapa tidak dirumah saja?”. Tanya Meilan, tangannya tampak membuka satu persatu perhiasan yang dipakainya pada acara pesta itu. Mata Azis bagaikan lekat memandangi Meilan membuka perhiasan perhiasan itu.

            “ Aku juga bilang begitu, tapi kata Joni lebih baik dihotel agar tidak merepotkan “. Azis juga membuka pakaian pengantennya dan menggantinya dengan pakaian biasa. Ia lalu menghampiri Meilan yang duduk menghadap cermin. Dipeluknya Meilan dari belakang dengan penuh mesra. Dirapatkannya wajahnya kewajah Meilan, kemudian keduanya menatap kearah cermin.

            “ Sungguh begitu cantik dan manisnya isteriku malam ini”. Bisik Azis ditelinga Meilan.

            “ Suamiku juga begitu tampannya” , Balas Meilan. Azis mengecup lembut kening isterinya itu.

            “ Aku begitu mencintai dan menyayangi dirimu. Rasa tidak msanggup aku untuk hidup sendiri tampa ada kau disisiku” , dekapan Azis ketubuh Meilan semakin rapat.

            “ Aku juga merasakan hal seperti itu suamiku, ketika kau meninggalkanku hidupku bagaikan hampa. Pada hal waktu itu aku belum mengerti apa artinya cinta. Apa lagi pada saat ini aku sudah mengerti makna dari pada cinta itu, mambuat aku tidak ingin jauh dari dirimu suamiku “.

            “ Kuharap kepadamu isteriku, hanya kematianlah yang nantinya memisahkan kita, Azis mencium kepala Meilan, begitu wanginya bau rambut Meilan. Angin yang berhembus lembut dari selat Melaka menyusup memasuki ruangan kamar lewat jendela yang terbuka.

            Azis melepaskan pelukannya. Untuk memberikan kesempatan kepada Meilan berganti pakaian. Suara mesin perahu nelayan, sayup sayup melintas dikesunyian malam, bintang dilangit yang bertaburan cahayanya memancar menyentuh permukaan laut selat Melaka.

            “ Suamiku berpalinglah sejenak keluar jendela, agar isterimu ini bisa dengan leluasa berganti pakaian “.

            “ Kenapa mesti berpaling, bukankah kau telah menjadi milikku. Kau adalah perhiasanku, dan tidak ada salahnya pula jika aku  ingin melihat perhiasanku itu”. Azis menatap Meilan. Meilan masih tetap berdiri disisi pembaringan.

            “ Tapi aku masih merasa malu suamiku, jika kau melihat aku tanpa sehelai benang. Wajhnya bersemu merah ketika mengucapkan kata kata itu, dan membuat dia nampak lebih cantik dimata Azis.

            “ baiklah isteriku jika kau masih malu dengan suamimu dalam keadaan tampa sehelai benang. Biarlah aku berpaling sejenak, tapi jangan lama lama ya sayang?, jangan sampai suamimu ini tersiksa oleh hembusan angin malam selat Melaka”. Azispun memalingkan wajahnya keluar jendela. Dikejauhan ditengah selat Melaka tampak kerlap kerlip lampu perahu para nelayan yang dipermainkan ombak.

            Satu demi satu pakaian yang melekat ditubuh Meilan dilepaskannya. Ia masih tetap berdiri disisi tempat tidur dalam keadaan tanpa sehelai benang. Diambilnya selimut yang ada dipembaringan itu, lalu dibalutkannya keseluruh tubuhnya. Kemudian diapun merebahkan dirinya diatas pembaringan.

            Azis yang masih mengarahkan pandangannya ketengah laut selat Melaka, tiba tiba dia teringat dengan kedua orang tuanya. Ayahnya mati dibunuh, sementara ibunya meninggal tampa sempat dilihatnya. Kalau seandainya mereka masih hidup, tentu mereka juga akan merasakan kebahagian yang dirasakan oleh putranya ini.

            Siapakah sebenarnya yang membunuh ayahku. Katanya bertanya dalam hatinya. Tapi apakah aku perlu lagi untuk mencari siapa pembunuhnya?. Bukankah Apek Tonghi gurunya telah mengatakan tidak baik untuk menyimpan dendam, karena dendam tidak akan menyelesaikan permasalahan. Tapi ia akan terus berputar  bagaikan rotasi pada sumbunya. Dan dendam itu akan melahirkan dendam baru pula, yang akhirnya tidak pernah selesai.

            Lalu siapakah Apek Baktong. Kenapa aku harus bertanya kepada Apek Baktong seperti yang dikatakan oleh papanya Meilan. Sementara aku sendiri tidak tahu keberadaan Apek Baktong, dan apa pula kaitannya dengan kematian ayahku. Apakah aku harus bertanya kepada Meilan siapa Apek Baktong itu dan dimana dia berada. Sampai sini lamunan Azis membuyar karena Meilan menegurnya.

            “ Suamiku, berpalinglah kearahku, dan tutuplah jendela itu, aku sudah selesai berganti pakaian”. Azis memalingkan wajahnya kearah Meilan. Ternyata Meilan bukannya berganti pakaian tapi melainkan tengah berbaring ditempat tidur, tubuhnya dibalut oleh selimut. Azis menutup jendela itu. Ia melangkah menghampiri Meilan yang sedang berbaring ditempat tidur. Dalam hatinya berkata saat ini dia tidak akan menanya tentang Apek Baktong. Karena ia takut pertanyaannya itu akan mencabik rasa kebahagiaan yang sedang dinikmati oleh Meilan.

            Bau harum kamar penganten, yang berpadu dengan bau harumnya tubuh Meilan, mengundang keiinginan Azis untuk mencium bau harum itu. Azis memeluk tubuh Meilan, kemudian mengecup lembut bibir merah dan tipis milik Meilan. Meilan membalas kecupan itu. Bagaikan seorang nelayan yang tengah menyeberangi Samudra Azis dan Meilan hayut dipermainkan gelombang nafsunya.

            Napas keduanya semakin memburu, perahu yang mereka dayung terkadang oleh kekiri dan ada kalanya pula perahu itu oleng kekanan. Lalu menaik dihantam gelombang, kemudian menurun dengan mengikuti permainan riak dan gelombang.  Keduanya membiarkan perahu itu hayut terbawa harus, yang kemudian akhirnya kadas, bagaikan perahu yang sedang patah kemudi.

            Keringat dingin membasahi kedua tubuh anak manusia ini. Nafas merekapun layaknya seperti sedang berburu. Detak jantung mereka berpacu, bagaikan lari kuda yang sedang berlomba, Azis dan Meilan adalah jokinya. Lama perahu itu dipermainkan oleh gelombang, dan akhirnya terdampar ketepian.

            “ Terimakasih suamiku, kau telah memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Malam ini semua itu telah kau persembahkan buatku”, Ujar Meilan dengan nafas yang terengah engah. Lalu dia memeluk dan menciumi Azis.

            “ Aku juga mengucapkan terimaksih kepadamu isteriku. Kau telah menampung segala hasratku, aku juga belum pernah merasakan kebahagian, seperti yang telah kau berikan padaku malam ini”. Azis mencium kening Meilan. Lalu ia memeluk tubuh Meilan. Pelukkan itu baru terlepas setelah Azan untuk sholat subuh bergema.

           

Bersambung ..

Tepian Selat Melaka, 2016

Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan  100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana

“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun