Bau harum kamar penganten, yang berpadu dengan bau harumnya tubuh Meilan, mengundang keiinginan Azis untuk mencium bau harum itu. Azis memeluk tubuh Meilan, kemudian mengecup lembut bibir merah dan tipis milik Meilan. Meilan membalas kecupan itu. Bagaikan seorang nelayan yang tengah menyeberangi Samudra Azis dan Meilan hayut dipermainkan gelombang nafsunya.
Napas keduanya semakin memburu, perahu yang mereka dayung terkadang oleh kekiri dan ada kalanya pula perahu itu oleng kekanan. Lalu menaik dihantam gelombang, kemudian menurun dengan mengikuti permainan riak dan gelombang. Keduanya membiarkan perahu itu hayut terbawa harus, yang kemudian akhirnya kadas, bagaikan perahu yang sedang patah kemudi.
Keringat dingin membasahi kedua tubuh anak manusia ini. Nafas merekapun layaknya seperti sedang berburu. Detak jantung mereka berpacu, bagaikan lari kuda yang sedang berlomba, Azis dan Meilan adalah jokinya. Lama perahu itu dipermainkan oleh gelombang, dan akhirnya terdampar ketepian.
“ Terimakasih suamiku, kau telah memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Malam ini semua itu telah kau persembahkan buatku”, Ujar Meilan dengan nafas yang terengah engah. Lalu dia memeluk dan menciumi Azis.
“ Aku juga mengucapkan terimaksih kepadamu isteriku. Kau telah menampung segala hasratku, aku juga belum pernah merasakan kebahagian, seperti yang telah kau berikan padaku malam ini”. Azis mencium kening Meilan. Lalu ia memeluk tubuh Meilan. Pelukkan itu baru terlepas setelah Azan untuk sholat subuh bergema.
Bersambung ..
Tepian Selat Melaka, 2016
Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana
“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)