Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[TMN 100 H] Senandung Cinta dari Selat Melaka "56"

9 Mei 2016   14:56 Diperbarui: 9 Mei 2016   15:20 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya:

“Ya, sama sama?”, Azis menyalami wali kelasnya itu, diapun melangkah meninggalkan local itu. Dibawah sinar mata hari yang terik, Azis mengayuh sepedanya. Kucuran keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Waktu terus berlalu. Kini dia akan menduduki local kelas dua SMA, tapi apakah waktu akan tetap bersahabat dengannya, sehingga dia bisa menyelesaikan pendidikan di SMA kota Bagan Siapi Api ini?. Semua itu tidak dapat untuk dijawab oleh Azis, hanya waktu pulalah yang nantinya akan menjawab.

Kemudian :

Malam itu udara diperkampungan si Naboi, sangatlah dinginnya, Dilangit awan hitam blangbonteng menghiasi angkasa, Angin Selat Melaka bertiup dengan kencangnya, tak ada cahaya bitang diperkampungan itu, ini menandakan bahwa hujan akan turu. Azis baru saja menyelesaikan sholat Isa. Tadi sore dengan meniki sepedanya dia sampai ke Sinaboi. Kepada wak Alang dia sudah permisi kalau dia dua hari tidak masuk kerja jaga malam, karena libur sekolah dia pulang ke si Naboi.

“ Kata uwakmu, kau tidak lagi tinggal dirumahnya”, Tanya ibunya ketika mereka duduk diatas bangku kayu diteras rumah.

“ Iya bu “, jawab Azis. Matanya memandang ke pohon pohon maghrup yang tumbuh diseberang jalan didepan rumahnya.

“ Kenapa kau tidak tinggal disitu?, dan dimana kau tinggal sekarang?”. Tanya ibunya lagi matanya memandang kearah Azis.

“ Ibu tentu tahu bagaimana sikap isteri uwak itu?”. Ibunya, tidak menjawab, karena dia tahu bagai mana sikap kakak iparnya itu.

“ Aku tinggal digudang ikan sambil bekerja?”. Azis melanjutkan kata katanya untuk menjawab pertanyaan ibunya.

“ Bagaimana sekolahmu, sementara kau bekerja di gudang ikan itu?”, Mata ibunya memandang penuh selidik kearah wajah Azis.

“ Aku kerja digudang itu jaga malam, jadi tidak mengganggu sekolahku”.

“ Makanmu dari mana?”. Tanya wanita separoh baya itu lagi.

“ Pulang sekolah aku membantu para nelayan itu menaik kan ikannya kegudang. Mereka member sedikit aku uang. Itulah untuk biaya makanku ibu?”, Ada perasaan pilu dihati orang tuanya ini mendengar perkataan anaknya itu.

“ Baik baiklah kau bekerja, jangan sesekali kau melakukan kejahatan ditempat kerjamu itu. Kita orang tidak berada, kalau kau membuat masalah ditempat kerjamu itu, akan berakibat buruk bagimu dan keluarga kita?”, Kata Wanita itu setengah menesehatinya.

“ Iya bu”. Jawab Azis, tapi pikirannya tetap melayang kearah Meilan. Ataukah gadis itu masih melanjutkan sekolahnya atau tidak?. Pertanyaan pertanyaan ini mengganggu pikirannya. Diluar hujan rintik rintik mulai turun, ibunya masuk kedalam ruangan rumah. Sementara Azis masih tetap duduk dibangku itu. Cahaya halilintar yang diiringi dengan sura Guntur membuat Azis teringat akan ayahnya. Kalau seandainya ayahnya masih hidup tentu penderitaan ini, tidak akan datang bertamu pada kehidupannya. Katanya membathin.

Iya teringat akan kedatangan tiga orang yang tidak dikenalnya, ketika menemui ayahnya dirumah. Diruangan inilah mereka berbicara, katanya dalam hati. Setelah kepergian orang itulah, tiga bulan berselang ayahnya meninggal, karena perahu yang dibawanya memborong ikan ditengah laut ditabrak oleh kapal pukat trawl. Apakah kematian ayahnya dilatar belakangi dengan kehadiran yang tiga orang itu?, sampai kini Azis belum menemukan jawabannya.

Waktu itu, dia masih dudu dikelas tiga sekolah dasar. Azis sempat mendengarkan pertengkaran kecil antara ketiga orang itu dengan ayahnya. Mereka mengancam ayahnya agar tidak turut campur dalam persoalan, beroperasinya pukat trawl diperairan si Naboi.

“ Kami bermaksud untuk menawarkan kerja sama dengan Bapak, agar Bapak tidak mengganggu usaha kami?”. Kata Bahar, salah seorang dari ketiga orang itu. Azis mengetahui namanya Bahar, kerena kedua kawannya memanggilnya dengan sebutan Bahar.

“ Saya tidak pernah mengganggu usaha orang?, yang kalian maksudkan, usaha kalian yang mana yang saya ganggu?”. Tanya ayahnya kepada ketiga orang itu.

“ Bapak memang belum mengganggu usaha kami, karena kamipun belum menjalankan usaha itu. Tapi ada baiknya jika kami menemui Bapak sebelum usaha itu kami jalankan”, ujar yang satunya pula.

“ Apa usaha yang akan kalian jalankan, makanya kalian perlu menemui saya?”, Tanya ayah Azis kepada mereka.

“ Kami mendengar kalau Bapak punya pengaruh dikalangan para nelayan, makanya kami menemui Bapak, karena usaha yang akan kami jalankan adalah untuk mengoperasikan pukat trawl di perairan si Naboi ini”. Kata Bahar member penjelasan kepada ayah Azis tentang usaha yang akan mereka jalankan.

“ Pukat trawl yang akan beroperasi itu apakah milik kalian?”, Tanya orang tua Azis.

“ Tidak. Kami hanya bertugas dilapangan untuk pengamanannya”. Jawab Bahar.

“ Kalau bukan milik kalian, lalu pukat trawl itu milik siapa?”.

“ Tidaklah perlu Bapak untuk mengetahuinya pukat trawl itu milik siapa, jika Bapak berkenan untuk menerima tawaran kami ini, barulah kami beri tahu pukat trawl itu milik siapa?,”. Ujar yang satu lagi.

“ Kalau begitu tidak ada sangkut pautnya dengan saya, karena saya bukan nelayan”. Kata Ayah Azis dengan tegas.

“ Tapi Bapak memiliki pengaruh kepada para nelayan itu”. Kata yang satunya pula.

“ Kaliankan tahu, kalau pukat trawl itu, telah dilarang oleh pemerintah untuk dioperasionalkan. Karena akibat pukat trawl itu, habitat hewani laut mati dan tidak dapat berkembang. Akibatnya akan menjadi patal bagi para nelayan tradisional di desa ini jika itu kalian operasikan. Kalau untuk itu saya tidak mendukung pekerjaan kalian”. Ujar ayahnya, yang membuat ketiga orang itu agak emosi.

“ Jadi bapak akan menghalangi usaha kami?”, Ujar Bahar.

“ Kalau itu yang kamu maksudkan jelas saya tidak setuju”. Jawab orang tua Azis.

“ Kalau begitu jangan salahkan kami jika terjadi sesuatu terhadap diri Bapak, jika usaha pukat trawl yang kami jalankan ini gagal. Lagi pula aparat keamanan laut tidak keberatan dengan usaha yang akan kami jalankan ini?’. Kata teman Bahar yang satu.

“ Jadi kalian mengancam saya?”.

“ Kami tidak mengancam bapak, tapi itulah yang perlu kami sampaikan kepada Bapak?”. Ujar Bahar, lalu ketiganya mereka meninggalkan rumah orang tua Azis.

Seminggu setelah mereka mendatangi orang tua Azis, terdengarlah ribut ribut diperkampungan nelayan di Sinaboi itu. Para nelayan mulai berkelompok kelompok membicarakan tentang adanya pukat trawl yang melakukan penangkapan ikan di Selat Melaka pada perairan Sinaboi.

Para nelayan mulai melakukan aksi mereka untuk menentang pengoperasian pukat trawl itu. Dalam penentangan terhadap beroperasinya pukat trawl itu, orang tua Azis memang terlibat. Selaku orang yang mempunyai pengaruh terhadap para nelayan, Ayah Azis membakar semangat mereka, agar pengoperasian pukat trawl itu dihentikan.

Masya nelayanpun dikerahkannya untuk menghadang pengoperasian pukat trawl itu. Perjuangan yang dilakukan oleh orang tuanya itu, adalah untuk membela kepentingan para nelayan tradisional, dimana kehidupan mereka nyaris dibawah garis kemiskinan. Lagi pula apa yang dilakukan oleh ayahnya sesuai dengan Kepres 39 tahun 1972, dimana pemerintah telah melarang pengoperasian pukat trawal diperairan Indonesia.

Penentangan inipun mendapat perlawanan dari nelayan pukat trawl. Setiap hari pula mereka mengintip para nelayan tradisonal itu ketika melaut. Mereka menabrak perahu perahu nelayan tradisional dengan kapalnya. Akibatnya para nelayan tradisional inipun menjadi takut untuk melaut jika sendirian. Telah banyak dari mereka yang menjadi korban kekerasan oleh para nelayan pukat trawl. Namun anehnya walaupun para nelayan tradisional ini telah melaporkannya kepada pihak keamanan laut, namun realisasinya tidak pernah ada. Para petugas keamanan laut seakan menutup matanya tentang beroperasinya pukat pukat trawl itu.

Akibat kekerasan yang dilakukan oleh para nelayan pukat trawl terhadap nelayan tradisional, dan tidak digubrisnya pengaduan mereka oleh pihak keamanan laut, membuat kesabaran para nelayan tradisonal hilang.

Suatu hari mereka berkumpul dirumah orang tua Azis. Seteah mendapatkan wejangan dari orang tua Azis, ratusan nelayan tradisonal itu bergerak kelaut dengan membawa berbagai macam senjata tanjam, ada juga yang membawa minyak bensin untuk membakar kapal kapal pukat trawl yang mereka temui. Dalam peristiwa itu ada tiga unit kapal pukat trawl yang mereka bakar. Namun mereka menyelamatkan nelayannya dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib.

Tiga bulan dari pristiwa penyerbuan para nelayan tradisonal terhadap kapal kapal pukat trawl itulah, orang tua Azis meninggal akibat perahunya ditabrak oleh kapal pukat trawl. Dua hari mayat ayahnya, besrta anak sampannya dua orang baru ditemukan. Cerita dari mulut kemulut yang sempat didengarkan oleh Azis, bahwa setelah perahu ayahnya ditabrak, dan perahu itu tenggelam, para nelayan pukat trawl yang berada diatas kapal, melempari kearah ayahnya yang berada didalam air. Ada nelayan lain yang mau menolongnya, tapi diacam oleh para nelayan pukat trawl yang menabrak perahu ayahnya itu.

Mungkinkah ketiga orang itu, yang pernah mendatangi dan mengancam orang tuanya yang melakukan pembunuhan terhadap ayahnya? Azis juga tidak dapat untuk menjawabnya. Namun dalam hatinya suatu saat ia akan mencari tahu tentang siapa pembunuh ayahnya itu. Diluar hujan turun semakin derasnya, cahaya halilintar dan suara Guntur, tidak henti hetinya bergelegar. Azis menutup pintu rumah, kemudian dia masuk kedalam kamarnya.

Bersambung…….

Bagan Siapi Api 2016

Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana

“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun