[caption caption="sumber fhoto/even my diary"][/caption]
Dear Diary….
Hari ini, genap lima tahun aku dan isterku tinggal dinegeri orang. Harapan untuk mendulang kesuksesan dirantau orang, ternyata harapan yang semu belaka. Bagaikan sebuah fatamorgana, yang hanya membuat kami sadar hanya untuk kecewa.
Pada awalnya aku menentang keiinginan istriku, untuk mencari kehidupan dinegeri orang. Waktu itu ia berkata kalau kita ingin sukses, maka berusahalah dikampung orang. Kemudian dia menyisipkan sebuah Hadist Rasulullah Muhammad SAW, “Jika kamu tak bisa hidup tempat kamu sekarang, maka hijrahlah kamu, carilah kehidupan yang baru ditempat yang lain”, begitu kira kira isteriku berkata untuk mendukung niatnya pindah keluar kota dari kampung halaman kami.
Memang kuakui, apa yang dikatakan oleh ibu dari anak anakku itu, karena dikala itu kehidupan dikota kami tinggal, sangatlah sulit. Prekonomian masyarakatnya sangat rendah. Lapangan kerja sangat minim. Untuk membuka home industry modal tak punya, lagi pula keuangan masyarakat yang nantinya menjadi konsumen dari hasil home industry itu lagi seret. Hal itu terjadi setelah penyeludupan barang barang bekas dari luar negeri ditutup total dikota tempat kami tinggal. Tapi walaupun demikian aku tetap menentang pendapat isteriku itu. Aku berprinsif “ lebih baik hujan batu nenegeri sendiri, dari pada hujan emas dinegeri orang”.
Pertengkaran kecil diantara kamipun terjadi. Bukanlah aku memuji diri, memang sudah menjadi sipatku, jika aku malas untuk bertengkar dengan siapa saja, terlebih terhadap istri. Maka mau tak mau aku harus mengalah, untuk mengikutkan keiinginannya mendulang kesuksesan dinegeri orang. Kami berduapun berangkat merantau kesalah satu kota di Profinsi Riau. Anak kami yang hanya dua orang, sudah bekerja dan sudah berkeluarga, kami percayakan untuk mengurus rumah yang kami tinggalkan.
Dikota yang baru ini kami mengontrak rumah, kemudian membuka usaha jajanan malam secara kecil kecilan diemperan toko. Untuk tempat jualan diemperan took itu kami juga harus membayar uang lampunya. Buka jam empat sore, tutup jam dua belas malam, terkadang tergantung pula kepada pengunjung yang datang ketempat usaha kami, bisa saja kami tutup sampai jam dua malam, malah lebihpun dari jam segitu. Karena mana mungkin kami menutup dagangan kami sementara pembeli masih lagi enak enaknya bercerita dengan teman teman mereka.
Dalam menjalankan usaha kecil kecilan ini, kami tidak memakai kariyawan, karena kami melihat pembeli yang datang ketempat jualan kami hanya terbatas. Buat apa menggaji kariyawan, jika untuk mengerjakannya kami berduapun mampu. Karena yang kami jual hanya nasi goreng, mie goreng/rebus, Indomie goreng/rebus ditambah dengan minuman. Seperti kopi, teh manis, panas dan dingin serta beberapa jenis minuman lainnya yang tidak memakai alcohol.
Hanya pada hari hari tertentu saja tempat jualan jajanan malam kami memang ramai dikunjungi oleh pembeli, dan pada saat saat seperti itulah kami berdua sibuk untuk melayaninya. Memang betullah kata pribahasa bahwa “Pembeli itu adalah raja” dan itu dapat kami rasakan sendiri. Dari sekian banyak pembeli, banyak pulalah tingkahnya, terkadang membuat kami kesal atas tingkah pembeli yang datang ketempat jualan kami.
Ada pembeli yang mau dilayani seperti raja. Jangan terlambat membuatkan pesanannya wajahnyapun berobah masam, dan suaranyapun meninggi emosi. Ada juga pembeli yang datang suka membuat peraturannya sendiri, harus inilah, harus itulah, dan semuanya harus dituruti. Belum lagi jika ada pembeli yang minta dibuatkan kopi, kalau airnya kurang panas ia pun merepet sepanjang jalan yang tak berujung.