Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(My Deary) Cinta yang Kandas

11 April 2016   15:57 Diperbarui: 11 April 2016   18:27 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="sumber fhoto/even my deary"][/caption]Dear Diary.....

Tak pernah kubayangkan, jika akhirnya hubunganku dengan Yusnah, harus berakhir, karena dia dinikahkan oleh orang tuanya dengan lelaki lain. Pada hal hubunganku dengannya sejak kami masih duduk dibangku SMP, kemudian berlanjut ketika kami di Sekolah Lanjutan Atas (SLTA). Waktu itu aku memilih masuk Sekolah Menegah Atas (SMA), sedangkan dia memasuki Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Tamat SMA dan dia tamat SPG, cinta kami tak ikut tamat, ia mengikuti perjalanan kami. Waktu itu aku masuk kuliah di USU, sementara dia melanjutkan pendidikan di IKIP yang sekarang bersalin nama menjadi Unimed. Walaupun satu kota sama sama dikota Medan, tapi lain kampus. Hubungan kami tetap terjalin dengan baiknya.

Wisudapun datang menghampiri kami. Masa masa indah dikapuspun tertinggal jauh, kami kembali pulang kekampung halaman. Sama sama di kota Tanjungbalai Asahan. Ia menjadi guru honor disalah satu sekolah swasta, sementara aku masih saja melanglang buana untuk mencari pekerjaan. Sesuai dengan disiplin ilmu yang kumiliki tekhnik cipil lanskap (pertamanan) sulit untuk mendapatkan pekerjaan dikota kecil tempat aku tinggal.

Namun bagi dirinya hal itu tak jadi masalah walaupun aku belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Terkadang ada order yang harus kukerjakan untuk membuatkan taman dihalaman rumah, mapun dikantor kantor pemerintah dan swasta. Jika aku telah menerima upah dari hasil pekerjaanku, aku membawa dia untuk sekedar makan minum di restaurant kecil yang ada dikota kami tinggal.

Suatu hari pulang dari mengajar dia datang kerumahku, lalu ia bercerita kalau dia mau dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan lelaki pilahan mereka. Walaupun lelaki itu adalah pamili dari ayahnya. Namun semula ia menolak untuk dijodohkan, tapi akhirnya ia tak mampu untuk menolak perjodohan itu.

Aku maklum kenapa dia tak berani untuk menolak perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuanya itu?, karena dia adalah seorang wanita, yang hanya memiliki air mata. Dia mengajakku untuk menikah dengan cara lari. Tapi waktu itu aku menolaknya, kupinta kepadanya agar kami menikah dengan cara baik baik. Dan kukatakan kepadanya agar keluargu datang untuk meminangnya, tapi itupun ditolaknya. Entah apa sebabnya aku sendiripun tak tahu.

Ditengah hati yang risau, gundah dan gulana, aku tak pernah lagi untuk bertemu dengannya. Beberapa kali kukirim pesan via temannya, namun tak pernah berbalas. Hanya saja kata teman nya itu ia dilarang orang tuanya untuk keluar rumah. Makanya aku tak pernah lagi melihatnya mengajar di sekolah swasta itu. Segala daya upaya kuusahakan untuk dapat menghubunginya, namun usaha yang kulakukan kandas bagaikan perahu patah kemudi.

Sore menjelang malam, seseorang datang kerumahku mengantarkan sepucuk surat undangan, hatiku berdetak, siapa gerangan yang akan menikah. Kutanya sipengantar surat undangan itu, ia membisu seribu bahasa. Hanya jawabnya bacalah, ia pun berlalu bagaikan mimpi disiang bolong aku berdiri melihat kepergiannya, namun surat undangan  tetap tergenggam ditangan.

Bagaikan disambar gledek aku membaca surat undangan itu. Kulihat poto sidia dengan gaun pengantin warna putih berdampingan dengan seorang laki laki mengenakan pakaian jas warna hitam. Sehitam jas yang dipakainya itulah pemandanganku saat itu. Bagaikan patahnya ranting tempat ku bergantung, bagaikan runtuh bumi tempatku berpijak. Salahkah aku ketika dia mengajak aku untuk lari nikah? Atau salahkah dia menolak ketika kutawarkan untuk meminang dirinya?. Siapakah yang salah diantara kami sebenarnya.

Hari haripun berlalu, pesta pernikahannya itupun hanya tinggal menghitung hari. Hadirkah aku dalam pestanya, jika aku hadir, sanggupkah aku melihat kemesraanya saat bersanding dipelaminan?. Jika aku tak hadir apakah aku seorang pengecut. Berhari hari pula perasaan itu berperang dalam hatiku.

Sehari menjelang pernikahannya dilaksanakan, kuceritakan apa yang sedang kuhadapi dengan seorang teman dekatku. Lantas teman itu menyarankan, jika pacarnya mempunyai teman yang bisa untuk dimintai pertolongan. Artinya ia bersedia untuk mendampingiku menghadiri pesta pernikahan sidia.

Akupun bertemu dengan nya dirumah pacar sang teman. Iapun kuminta untuk menemaniku menghadiri pernikahan mantan kekasihku. Ternyata dia menyanggupi, walau tanpa bayaran apapun.

Benar saja pada saat itu beberapa mata undangan yang hadir dalam pesta itu yang mengetahui hubunganku dengan mempelai wanita yang sedang duduk disingga sana pelaminan memandang kearahku. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka, apakah mereka kasihan melihatku?, atau mereka memuji keberanianku untuk menghadiri pesta itu? Aku sama sekali tak pernah tahu.

Sandiwara yang kulakonkan dengan wanita pinjaman ini, yang belakangan menjadi isteriku berjalan dengan mulusnya, sipat manjanya kepadaku dilokasi pesta itu, seolah olah bahwa kami sudah cukup lama menjalin hubungan, sehingga tidak terlihat kaku ketika dia menggandeng tanganku untuk memberi ucapan selamat kepada dua mempelai.

Setahun pesta pernikahan itu berlalu, hubunganku dengan aktris yang melakonkan sandiwara sehari itu, semakin dekat, rasa cinta dan kasih sayangkupun pindah kehatinya. Namun persoalan berikutnya datang menyusul. Namun aku sudah kokoh untuk menjadikan dia sebagai isteriku, ibu dari anak anakku kelak.

Wanita itu datang kembali kepadaku, ia menyatakan kalau pernikahannya dengan lelaki pilihan orang tuanya itu tidak bahagia, lalu ia kembali mengajakku untuk menikah, dia akan menggugat cerai suaminya. Namun sedikitpun hatiku tak goyah mendengarkan keluh kesahnya. Malah hati ini menjadi benci melihatnya, karena ia sudah mengkhianati cintaku kepadanya. Sedikitpun hati ini tak kan berpindah kehatinya.

Dalam perjalanan waktu, direntang cahaya rembulan tanpa bintang, disaat angin bertiup dengan lemah gemulai. Aku mendengarkan kisah yang tidak masuk diakal. Layaknya seperti didalam adengan sebuah film.

Kenapa orang tua wanita dari mantan kekasihku itu begitu benci kepada keluarga kami? Sehingga dia bersikeras memisahkan putrinya denganku?, terungkaplah kisah itu.

Orang tuaku adalah seorang perantau, dia tinggal dirumah induk semangnya yang berdekatan dengan tempat tinggal ibu mantan kekasihku itu. Ibu dari mantan kekasihku itu adalah anak yatim yang sejak kecil telah ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya, maka dia tinggal dirumah uwaknya yang berdekatan dengan rumah dimana ayahku tinggal.

Namun ada kesepakatan antara induk semang ayah dengan uwak ibu mantan pacarku itu untuk menikahkan mereka berdua karena ibu mantan pacarku itu punya hati terhadap ayah. Tapi sayangnya pada saat itu ayah menolak untuk menikah dengannya, karena hati ayah sudah tercuri oleh seorang dara, yakni itulah yang menjadi ibuku. Dan akhirnya ayah menikah dengan dara itu, dan melahirkanku beserta kakak dan adik adikku.

Sejak itu pulalah dendam tumbuh subur dihati ibu mantan pacarku itu, terhadap ayah ibu dan kami anak anak mereka. Sampai ibu meninggal dunia, kisah penolakan ayah terhadap cinta ibu dari mantan pacarku itu, tak pernah diketahuinya. Begitu rapinya ayah menyimpan kisah itu agar tak menimbulkan rasa sakit hati.

Kisah inipun terungkap kepadaku, pada suatu hari sebelum ayah pergi untuk mengembara kelain dunia ,  dia menceritakan kepadaku, dihadapan istriku menantunya dan cucunya anak anak kami. Tiga bulan kisah itu diceritakannya, iapun mulai sakit sakitan, dan akhirnya menepati janjinya dengan sangkhaliknya.

 

Bagan Siapi Api 11 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun