Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

{TMN 100 H} Senandung Cinta dari Selat Malaka "9"

23 Maret 2016   15:23 Diperbarui: 23 Maret 2016   15:44 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber fhoto/Hr Medan Bisnis"][/caption]Sebelumnya

“ Aku mengucapkan terimakasih atas bantuan yang kau tawarkan. Tapi untuk kali ini biarlah kuusahakan seniri. Tapi mungkin lain waktu aku membutuhkan bantuanmu. Itupun kalau kau tak keberatan”. Meilan diam. Dia tidak berani lagi untuk memaksa Azis untuk menerima bantuannya. Karena Meilan tahu betul dengan watak remaja yang berada didepannya ini. Dia hanya menatap keapada Azis. Namun dalam hatinya dia berpikir bagaimana nantinya dia membantu Azis tanpa Azis merasa jika bantuan yang diberikannya memberatkan dirinya.

Mata hari menggariskan cahaya terakhirnya dilangit senja, rona merah dari sinar mata hari tampak bagaikan membenam dipermukaan laut Selat Malaka. Itu merupakan pertanda bahwa mata hari akan berangkat keperaduannya, sinarnya yang menerangi alam, akan digantikan oleh cahaya rembulan. Kisah perjalanan hidup tidak berakhir sampai disini, walaupun matahari tak menampakkan sinarnya. Tapi ia akan tetap bergulir bagaikan roda pedati. Cerita baru tentang kehidupan akan muncul, seiring munculnya cahaya rembulan.

Dikejauhan ditengah laut Selat Malaka, cahaya lampu perahu para nelayan tampak bagaikan bintang yang bertebaran dilangit biru. Angin laut selat malaka bertiup dengan lembutnya, membuat keindahan sendiri jika dipandang dari tubir pantai Sinaboi.

Sejak pertemuan antara Azis dengan Meilan dirumah Maisyaroh, keduanya kini sering bertemu, walaupun pertemuan mereka, dilakukan dengan sembunyi sembunyi. Meilan merasa takut jika kedekatannya dengan Azis melebihi kedekatan sebagai teman sekolah oleh keluarganya. Hal yang sama juga dirasakan oleh Azis, dia juga tidak ingin, kedekatannya dengan Meilan merupakan kedekatan yang tidak wajar bagi seorang lelaki seusia dia, diketahui oleh ibunya. Keduanya menyimpan rapi hubungan mereka, agar jangan sampai ada yang tahu.

Suasana perpisahan sekolah di SMP tempat Meilan dan Azis menuntut ilmu hari itu sangat meriah, pihak sekolah sebelumnya sudah membentuk panitia  untuk acara perpisahan . Azis diberi kepercayaan oleh teman temannya dan para guru untuk menjadi ketua panitia perpisahan. Maisyaroh sebagai sekretarisnya, dan Meilan ditunjuk sebagai bendahara.

Panggung yang ditata sederhana oleh para siswa yang tergabung dalam kepanitiaan, tampak begitu asri. Satu persatu tertib acara dibacakan oleh Maisyaroh. Kemudian secara berurutan pula yang tertera didalam tertib acara naik keatas pentas. Mulai dari pidato pembukaan oleh ketua Panitia, sampai kepada kata nasehat dan bimbingan yang disampaikan oleh yang mewakili guru dan kepala sekolah. Setelah itu dilanjutkan dengan acara hiburan dengan diiringi music tunggal Keyboard.

Azis dan Meilan yang duduk satu meja disisi sebelah kiri pentas, melihat kearah panggung, mereka melihat aksi Maisyaroh menyanyilkan lagu Cindainya Siti Nurkhalijah. Suaranya begitu merdu, mirip suara penyanyi aslinya.

“ Zis, kau tak jadi berhenti sekolahkan?”, suara Meilan terdengar berbisik ditengah alunan music dari atas pentas. Azis hanya diam dia ragu untuk menjawabnya, karena dia belum menyampaikan keinginanya itu kepada ibunya.

“ Kau dengarkah aku bertanya kepadamu?”, ulang mailan lagi, ketika ia melihat Azis tidak menjawab pertanyaanya.

“ Mungkin juga iya, tapi mungkin juga tidak!”, matanya tetap memandang kearah pentas melihat penampilan Maysaroh yang akan mengakhiri nyanyiannya

“ Maksudmu?”, mata Meilan memandang kepada Azis

“ Mungkin juga aku tidak jadi berhenti sekolah, dan melanjutkan sekolahku. Tapi mungkin juga aku akan berhenti sekolah dan tidak melanjutkannya lagi?”. Ujar Azis. Dari atas pentas penampilan maisyaroh telah berakhir. Tepuk tangan  bergemuruh diberikan oleh para undangan kepada Maisyaroh. Pembawa acara yang juga dari siswa Kelas tiga SMP itu kemudian memanggil Bono untuk naik keatas pentas. Bono tampak percaya diri melangkah dengan pasti menuju arah pentas.

“ Kenapa kau tak memberi kepastian, agar aku mengetahuinya?”, mata Meilan juga melihat keatas pentas. Bono melantunkan lagu melayu Patwa Pujangga, Hadirinpun bertepuk dengan meriahnya.

“ Andai kata kau mengetahuinya, lalu apa hubungannya”, Tanya Azis

“ Setidaknya aku mengetahui kau memang tidak sekolah lagi. Dan aku bisa menentukan jalanku sendiri”. Jawab Meilan

“ Maksudmu?”, Azis semakin tak mengerti arah pembicaraan Meilan

“ Tak perlulah kuberitahu apa maksudku menanyaimu, nanti kau akan mengetahi sendiri”, kata Meilan agak keras, sehingga membuat Azis semakin tak mengerti. Tapi walaupun demikian dia berpikir lebih baik menjelaskannya kepada gadis ini, dari pada gadis ini akan semakin meradang kepadanya.

“ Aku belum membicarakannya dengan ibuku, apakah ibuku menerima keinginanku untuk berhenti sekolah atau tidak?”. Meilan terdiam sejenak. Dalam hatinya berharap agar orang tua Azis tidak mengizinkan anaknya itu berhenti sekolah.

“ Aku berharap semoga ibumu tidak mengizinkan engkau berhenti sekolah”, kata Meilan membuat Azis terkesima dan menatap Meilan dalam dalam.

“ Mei, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku, aku ini orang miskin Mei”, Azis menatap meilan, matanya seakan menghunjam tajam kearah hati Meilan. Ia ingin tahu kenapa begitu besar perhatian Meilan terhadap dirinya.

“ Aku mencintaimu Zis, tak perduli apakah kau kaya atau miskin. Yang ada dihatiku, aku suka padamu?”. Untuk yang pertama kali Meilan mengucapkan kata kata itu kepada Azis. Suasana diatas pentas semakin meriah, Bono memanggil beberapa temannya untuk naik keatas pentas. Azis bagaikan berhenti bernapas mendengar perkataan Meilan itu.

“ Kumohon juga kepadamu agar kau mengerti terhadap perasaanku”, suaranya memelas. Ia takut jika Azis tak melanjutkan sekolahnya dan bekerja maka hubungan mereka akan sirna begitu saja. Karena jika Azis bekerja, apa lagi Azis pergi merantau, waktu mereka untuk bertemu berduaan akan sulit untuk mereka lakukan. Tentu azis akan mempunyai kesibukan dalam pekerjaanya. Atau diperantauannya.

“ baiklah Meilan, jika itu keinginanmu, aku akan melanjutkan sekolahku?”. Ujar Azis seakan memberi harapan kepada Meilan yang menginginkan agar ia tetap melanjutkan sekolahnya.

“ Tapi Meilan,” kata Azis,  ia tak meneruskan perkataannya, namun bagi Meilan ia telah menangkap apa yang akan dikatakan oleh Azis selanjutnya.

“ Dimana aku nantinya bersekolah, disitu pula engkau bersekolah”,

“ Tapi”,  belum sempat Azis melanjutkan kata katanya Meilan memotong pembicaraan Azis.

“ Aku tahu apa yang kau gusarkan. Semuanya nanti aku yang mengaturnya, yang penting setelah kita menerima izazah, kan kuberitahu dimana kita bersekolah?”. Azis diam diam memegang tangan Meilan. Tak ada yang melihat adengan ini, karena para siswa yang semula duduk dikursinya berdiri dan berjoget dibawah panggung. Meilan juga menggenggam erat tangan remaja yang di cintainya ini.

Dari atas panggung pembawa acara mendaulat agar Azis dan Meilan naik keatas panggung untuk bernyanyi berdua. Mendengar ini Azis menjadi kelabakan, bukan karena dia tak pandai bernyanyi, tapi melainkan dia merasa enggan dan bercampur malu bernyanyi secara duet dengan Meilan. Berbeda dengan Meilan, sedikitpun tak tampak kegelisahannya kitika namanya dipanggil untuk naik keatas pentas bersama Azis. Malah ada kebanggaan dihatinya bisa bernyanyi duet dengan lelaki pujaannya.

Suana semakin meriah, tak henti hentinya teman teman Azis dan Meilan untuk menyuruh dua sejoli ini segera naik keatas pentas. Bahkan suara suara itu juga terdengar dari beberapa orang guru yang duduk dibarisan depan panggung.

Azis dan Meilan belum juga berdiri dari tempat duduknya, melihat ini teman teman Azis dan Meilan mendatangi mereka, dengan suara yang bersorak sorak mereka menggiring azis dan Meilan untuk naik keatas pentas. Lokasi acara perpisahan para siswa kelas tiga SMP ini tidak berada didalam ruangan, tapi melainkan mengambil tempat dihalama sekolah yang dipasang tenda. Sehingga yang menonton acara itu bukan saja kalangan murid kelas tiga SMP, tapi juga disana berbaur murid murid kelas satu dan dua.

Azis dan Meilan akhirnya naik keatas panggung atas giringan para rekan rekannya. Setelah keduanya berada diatas pentas, tepuk tangan untuk Azis dan Meilanpun terdengar dengan gemuruhnya. Teman teman Azis dan Meilan dari bawah panggung meminta agar Azis dan Meilan melantunkan lagu yang mereka sebutkan, sementara itu ada juga seorang guru yang meminta agar keduanya menyanyikan lagu yang disebutkannya. Meilan dan Azis terlihat melakukan  kompromi lagu apa yang akan mereka nyanyikan.

 

Bersambung…….

 

Bagan Siapi Api 2016

 

Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan  100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana

 

“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun