[caption caption="Sumber fhoto/Hr Medan Bisnis"][/caption]Sebelumnya
“Aku kawannya Meilan, tapi aku tak pernah dititipi Meilan makanan. Itu tandanya Meilan tak suka dan tak naksir denganku “, Bono menjelaskan Azis hanya mangut mangut saja. Dipersimpangan Balai Desa keduanya berpisah. Azis membelok kearah kiri, sedangkan Bono berjalan lurus menuju rumahnya.
Sore itu udara di Sinaboi agak redup, mata hari terlindung awan, angin Selat Malaka bertiup dengan lembutnya. Meilan sudah berada dirumah Maisyaroh. Meilan datang dengan naik sepeda. Gadis itu datang dengan membawa goreng pisang sesuai dengan pesanan Maisyaroh. Hubungan Meilan dengan Maisyaroh sangat akrab bila dibanding dengan teman temannya satu sekolah.
Kedua gadis remaja itu duduk dibale bale dibelakang rumah maisyaroh. Belakang rumah Maisyaroh terletak persis dipinggir pantai Selat Malaka. Dari tempat mereka duduk dengan leluasanya dapat untuk melihat deburan ombak selat Malaka. Ombak kecil terlihat dikejauhan. Satu dua tampak perahu nelayan menuju arah pantai. Dipantai yang berlumpur dibelakang rumah Maisyaroh terlihat sepasang burung camar sedang mencari makan. Sesekeli mereka melompat keatas untuk menghindari datangnya ombak menghempas pantai.
Azis baru sampai kerumah Meisyaroh. Dia juga datang dengan menaiki sepeda. Disamping rumah Maisyaroh dia menyandarkan sepedanya begitu saja. Setelah bertanya dengan adik Maisyaroh yang sedang bermain didepan rumah, Azis melangkahkan kakinya menuju ruang belakang. Ia masuk tidak dari depan walaupun adik Maisyaroh menyuruhnya masuk dari depan, tapi Azis memilih jalan samping rumah Maisyaroh.
Bagi Azis rumah Maisyaroh bukanlah merupakan rumah yang asing baginya. Karena hubungan ayah Maisyaroh dengan ayahnya semasih hidup, sangatlah akrab. Maka Azis sering datang kerumah ini. Kadang ia disuruh ayahnya, atau ibunya untuk mengantarkan sesuatu, atau menyampaikan pesan dari kedua orang tuanya. Keringat tampak membasahi sebahagian bajunya. Azis duduk didepan Meilan dan Maisyaroh.
Dia tidak memahami benar apa maksud Meilan untuk bertemu dengan nya dirumah Maisyaroh. Walaupun dia tidak mengerti akan maksud Meilan, tapi untuk menolaknya dia sungkan, karena gadis keturunan Tiongkok ini cukup perhatian dan baik kepada dirinya.
Azis memang terlihat lugu dengan hubungan cinta, walaupun dia telah duduk dikelas tiga SMP. Tidak seperti anak anak remaja lainnya, yang hapal dalam hal bermain cinta. Kelas enam SD pun sudah berani duduk dua duaan ditempat tempat yang gelap. Berbeda dengan Meilan dan Maisyaroh. Walaupun usia mereka sama, tapi dalam hubungan cinta cintaan mereka lebih tampak memahaminya. Apakah mereka seorang wanita yang terkadang sipat dan pembawaannya lebih dewasa dari usia mereka.
Lama mereka bertiga terdiam, suasana sore itu memang cukup romantis. Tiupan angin dari laut Selat malaka membuai angan mereka. Saling pandang dan tersenyum itulah yang dapat mereka lakukan. Karena masing masing tak tahu harus dari mana memulai perkataan. Daun mangrup yang banyak tumbuh disekitar pantai, terbang melayang ditiup angin dan jatuh menimpa kepala Meilan.
Dengan lembut gadis itu meraba kepalanya yang ditumbuhi rambut yang hitam berkilau, lalu membuang daun mangrup yang menyangkut dirambutnya. Dimata Azis betapa cantiknya gadis turunan tiongkok ini. Meilan datang dengan memakai baju kemeja kotak kotak berwarna hijau yang dipadu dengan warna hitam dan putih. Ia begitu seksi dengan jelana jeans yang sempit berwarna biru tua. Rambutnya yang panjang sebatas pinggangnya dibiarkannya terngerai ditiup angin selat Malaka. Sesekali dia mengurai anak rambutnya yang jatuh luruh dikeningnya akibat terkena hembusan angin.
“ Zis, kudengar dari teman teman setamat SMP kau tak menyambung sekolah lagi?, apa memang kau mau berhenti sekolah setelah tamat dari SMP ini?”, Maisyaroh memecahkan suasana beku diantara mereka. Meilan memandang Azis, ada segurat kesedihan terhampar diwajah remaja yang disukainya ini.
“Rencanaku memang seperti itu, tapi apakah ibuku setuju jika aku tak melanjutkan sekolahku”, Azis tampak mencuri pandang kearah Mailan. Meilan mengetahui hal itu sedikitpun gadis turunan tiongkok itu tidak memalingkan wajahnya. Mata mereka akhirnya saling pandang, Meilan tersenyum, azis menunduk. Rasa tak sanggup dia memandang senyuman gadis itu.
"Jika kau berhenti, lalu kau mau kemana “, tatapan mata Meilan seakan meraba isi hati Azis.
“Rencanaku bekerja?”.
“ kau mau bekerja apa?”, susul Meilan ingin tahu. Ada setitik ketakutan diwajah Meilan jika Azis tak melanjutkan sekolahnya. Ketakutan itu akan membuat mereka berpisah.
“ Mungkin aku bekerja melaut seperti teman teman yang lain, atau pergi merantau kekota untuk mencari kehidupan?”, suara Azis lirih, dia tetap menunduk, sesekali dilemparkannya pandangan matanya kearah laut Selat Malaka.
“ Apa yang memberatkanmu makanya kau berhenti sekolah. Andai kata kau tak keberatan, sebagai teman kami ingin juga mendengarkan ceritamu hingga kau mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahmu. Tapi jika kau keberatan untuk menceritakannya, akupun tak memaksamu “, Azis memberanikan diri untuk memandang kearah Meilan. Dia berusaha untuk meraba makna dari perkataan Meilan. Tak dapat untuk dipungkirinya kalau dia sendiripun tertarik terhadap gadis ini.
“ Sejak ayahku meninggal, hanya ibu yang bekerja untuk menghidupi kami. Sementara abang dan kakak ku tak bisa untuk diharapkan membantu, karena mereka juga hidup dengan pas pasan. Lagi pula ibu tidak ingin memberatkan hidup mereka”, Azis memulai ceritanya. Kepada gadis ini Azis memang selalu terbuka, apakah karena Meilan mempunyai perhatian dengan nya, atau karena dia juga suka terhadap gadis ini, maka dia tak sungkan untuk menceritakan keadaannya.
Disamping itu Azis juga orang yang tak tinggi hati. Dia selalu jujur kepada siapa saja. Dan tak merasa rendah diri walaupun dia menceritakan keadaannya. Sekalipun cerita tentang keadaan keluarganya itu terasa pahit untuk dikisahkan. Meilan dan Maisyaroh mendengarkan apa yang diceritakan oleh Azis.
“Aku masih memiliki dua orang adik perempuan, yang satu masih duduk di kelas enam dan yang satu lagi dikelas empat. Mereka ini juga perlu sekolah dan juga perlu pembiayaan sekolah. Belum lagi biaya sekolahku dan biaya makan kami. Sementara ibuku, kalian tahu sendiri hanya bekerja digudang penjemuran ikan. Berapalah gaji ibuku. Itupun jika ada ikan yang harus dijemur barulah ibuku bekerja. Sementara ayahku tidak meninggalkan harta apapun kepada kami anak anaknya untuk menyambung hidup”, suaranya terdengar lirih, Meilan tampak menahan kesedihan atas apa yang diceritakan oleh Azis. Kemudian dilanjutkannya lagi, karena kedua gadis yang dihadapannya tak menyangkal apa yang dikatakannya.
“ Mengharapkan bantuan dari saudara, kami tidak mempunyai saudara yang kaya, kehidupan saudara saudara ayah maupun ibu hampir sama dengan kehidupan kami. Lagi pula seperti yang kukatakan tadi, ibuku bukan lah orang yang suka mengeluh dihadapan saudara saudaranya. Sedangkan kepada kami anak anaknya ibu tidak pernah mengeluh”, sampai disini Azis tak melanjutkan kata katanya. Dipandanginya air laut yang bergelombang, ada kesedihan yang meresap didalam hatinya jika ia mengenang masa masa kecilnya, sewaktu ayahnya masih berada diantara mereka.
Meilan juga merasakan kesedihan yang sama, setelah ia mendengar sepenggal kisah kehidupan Azis. Maisyaroh juga tampak hanyut dengan apa yang dikatakan oleh Azis. Hanya saja kesedihan Maisyaroh tidak sama dengan rasa sedih yang dirasakan oleh Meilan.
“Sebentar ya aku kedepan melihat adikku”, lalu Maisyaroh meninggalkan Azis dan Melain berdua.
“Bagaimana kalau aku membantumu”, matanya menatap Azis, dia ingin mengetahui jawaban Azis.
“Aku tak mau untuk menyusahkan orang. Aku tak ingin hidup seperti benalu, tumbuh dipohon yang besar kemudian menghisap sari madu dari pohon itu. Biarlah aku berusaha sendiri, bagaimana nantinya, apakah aku mampu untuk melanjutkan sekolahku atau tidak!”.
“Tapi aku merasa kau tidak memberatku. Aku membantumu dengan tulus”, jawab Meilan.
“Aku mengucapkan terimakasih atas bantuan yang kau tawarkan. Tapi untuk kali ini biarlah kuusahakan seniri. Tapi mungkin lain waktu aku membutuhkan bantuanmu. Itupun kalau kau tak keberatan”. Meilan diam. Dia tidak berani lagi untuk memaksa Azis untuk menerima bantuannya. Karena Meilan tahu betul dengan watak remaja yang berada didepannya ini. Dia hanya menatap keapada Azis. Namun dalam hatinya dia berpikir bagaimana nantinya dia membantu Azis tanpa Azis merasa jika bantuan yang diberikannya memberatkan dirinya.
Bersambung…….
Bagan Siapi Api 2016
Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana
“Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H