“Rencanaku memang seperti itu, tapi apakah ibuku setuju jika aku tak melanjutkan sekolahku”, Azis tampak mencuri pandang kearah Mailan. Meilan mengetahui hal itu sedikitpun gadis turunan tiongkok itu tidak memalingkan wajahnya. Mata mereka akhirnya saling pandang, Meilan tersenyum, azis menunduk. Rasa tak sanggup dia memandang senyuman gadis itu.
"Jika kau berhenti, lalu kau mau kemana “, tatapan mata Meilan seakan meraba isi hati Azis.
“Rencanaku bekerja?”.
“ kau mau bekerja apa?”, susul Meilan ingin tahu. Ada setitik ketakutan diwajah Meilan jika Azis tak melanjutkan sekolahnya. Ketakutan itu akan membuat mereka berpisah.
“ Mungkin aku bekerja melaut seperti teman teman yang lain, atau pergi merantau kekota untuk mencari kehidupan?”, suara Azis lirih, dia tetap menunduk, sesekali dilemparkannya pandangan matanya kearah laut Selat Malaka.
“ Apa yang memberatkanmu makanya kau berhenti sekolah. Andai kata kau tak keberatan, sebagai teman kami ingin juga mendengarkan ceritamu hingga kau mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan sekolahmu. Tapi jika kau keberatan untuk menceritakannya, akupun tak memaksamu “, Azis memberanikan diri untuk memandang kearah Meilan. Dia berusaha untuk meraba makna dari perkataan Meilan. Tak dapat untuk dipungkirinya kalau dia sendiripun tertarik terhadap gadis ini.
“ Sejak ayahku meninggal, hanya ibu yang bekerja untuk menghidupi kami. Sementara abang dan kakak ku tak bisa untuk diharapkan membantu, karena mereka juga hidup dengan pas pasan. Lagi pula ibu tidak ingin memberatkan hidup mereka”, Azis memulai ceritanya. Kepada gadis ini Azis memang selalu terbuka, apakah karena Meilan mempunyai perhatian dengan nya, atau karena dia juga suka terhadap gadis ini, maka dia tak sungkan untuk menceritakan keadaannya.
Disamping itu Azis juga orang yang tak tinggi hati. Dia selalu jujur kepada siapa saja. Dan tak merasa rendah diri walaupun dia menceritakan keadaannya. Sekalipun cerita tentang keadaan keluarganya itu terasa pahit untuk dikisahkan. Meilan dan Maisyaroh mendengarkan apa yang diceritakan oleh Azis.
“Aku masih memiliki dua orang adik perempuan, yang satu masih duduk di kelas enam dan yang satu lagi dikelas empat. Mereka ini juga perlu sekolah dan juga perlu pembiayaan sekolah. Belum lagi biaya sekolahku dan biaya makan kami. Sementara ibuku, kalian tahu sendiri hanya bekerja digudang penjemuran ikan. Berapalah gaji ibuku. Itupun jika ada ikan yang harus dijemur barulah ibuku bekerja. Sementara ayahku tidak meninggalkan harta apapun kepada kami anak anaknya untuk menyambung hidup”, suaranya terdengar lirih, Meilan tampak menahan kesedihan atas apa yang diceritakan oleh Azis. Kemudian dilanjutkannya lagi, karena kedua gadis yang dihadapannya tak menyangkal apa yang dikatakannya.
“ Mengharapkan bantuan dari saudara, kami tidak mempunyai saudara yang kaya, kehidupan saudara saudara ayah maupun ibu hampir sama dengan kehidupan kami. Lagi pula seperti yang kukatakan tadi, ibuku bukan lah orang yang suka mengeluh dihadapan saudara saudaranya. Sedangkan kepada kami anak anaknya ibu tidak pernah mengeluh”, sampai disini Azis tak melanjutkan kata katanya. Dipandanginya air laut yang bergelombang, ada kesedihan yang meresap didalam hatinya jika ia mengenang masa masa kecilnya, sewaktu ayahnya masih berada diantara mereka.
Meilan juga merasakan kesedihan yang sama, setelah ia mendengar sepenggal kisah kehidupan Azis. Maisyaroh juga tampak hanyut dengan apa yang dikatakan oleh Azis. Hanya saja kesedihan Maisyaroh tidak sama dengan rasa sedih yang dirasakan oleh Meilan.