[caption caption="Sumber fhoto/Hr Medan Bisnis"][/caption]Sebelumnya......
Setelah menjanda Syarifah permisi kepada Apek Hai untuk berjualan kopi ditangkahan milik Apek Hai. Dan Apek Hai ternyata tidak keberatan dengan keiinginan Syaripah untuk membuka warung kopi kecil kecilan ditangkahan milik nya itu Malah Apek Hai turut memberikan bantuan modal kepada Syaripah untuk membuka warung kopi itu
Dilangit cahanya merah dari sinar mata hari mulai memudar, lampu lampu didalam pergudangan mulai dihidupkan, kesibukan didalam gudang juga terlihat mulai berangsur sepi. Hanya tampak ada beberapa orang lagi yang masih menunggu untuk ditimbang ikannya. Mereka ada yang duduk diatas kursi yang disediakan didalam gudang itu, dan ada pula yang duduk diatas viber tempat ikan yang banyak terdapat didalam gudang itu.
“ Kopi satu kak?”, Azis mengambil tempat duduk disudut warung kopi syarifah. Dari tempat dia duduk matanya bisa melepas pandangan dengan leluasa kearah dalam gudang maupun ketengah samudra Selat Malaka.
“ Belum bongkar Zis?” Tanya Syarifah, sembari meletakkan secangkir kopi pesanan Azis diatas meja.
“ Belum kak, agak kesorean kami masuk”, jawab Azis dengan bahasa melayu yang kental. Aziz mengaduk kopi yang telah ada dihadapannya
“ Banyak dapat ikannya?” , susul Syarifah lagi bertanya sebelum ia beranjak untuk membuatkan kopi pesanan yang lain.
“ Lumayan jugalah kak, tak terutang belanja”, Azis mengangkat cangkir kopinya lalu menyeruputnya sedikit demi sedikit, kemudian ia mengambil rokok dari saku bajunya, dipasangnya sebatang, dan dihisapnya dalam dalam
“ Zis, kamu sudah bongkar?” wak Udin bertanya dia baru keluar dari dalam gudang.
“ Belum wak. Orang uwak udah bongkar?, Tanya Azis balik bertanya
“ Sudah, agak siang tadi kami merapat”, jawab wak udin, tangannya dengan lincah melinting tembakau dengan daun nipah yang sudah dikeringkan. Kemudian dia berpaling kea rah Syarifah.
“ Fah buatkan uwak kopi, agak kontal sikit yo”.
“ Iyo wak, sabontar wak yo, kubuatkan dulu punyo abah delenni”, sahut Syarifah, sambil membuatkan kopi yang dipesan.
“Dimano kamu malabuh?”, wak Udin menggeser duduknya, diambilnya korek api yang terletak diatas meja, lalu dimarakkannya untuk memasang rokok.
“ Dibarat wak, kalau orang uwak dimano, tak nampak kami orang uwak tadi”, kata Azis menjawab pertanyaan wak Udin dan Azis balik bertanya kepada wak Udin.
“ Kalo kami kearah Tenggaro (Tenggara), itupun untunglah sompat malabuh. Dibante angin barat laut tulah, sahinggo payah malabuh”, sesekali terdengar suara batuk wak udin, karena tertelan asap rokoknya.
“ Ini wak kopi uwak”, Syarifah meletakkan kopi didepan wak Udin
“ Barikan nyo orang uwak?”
“ Bagitulah, agak lumayan jugo, kalau kamu adonyo?”, Tanya wak Udin sambil menyeruput kopi yang dihidangkan oleh Syarifah.
“ Ado jugolah wak, lopaslah balanjo tak tarutang”, jawab Azis, sesekali matanya memandang kearah dalam gudang, apakah mereka sudah bisa untuk menaikkan ikan ikan nya untuk ditimbang.
“ Besok melaut nyo orang uwak?”
“ Mungkin tidak, karono abah Jalel ondak mangkhitankan anak nyo dio, sogan pulak lah awak tak datang, rumah awak sabalik dindding dengan rumahnyo?”, wak Udin menjelaskannya kepada Azis.
“ Iyolah wak, sabalik dinding pesta, awak tak datang soganlah awak “, kata Azis menipali apa yang dikatakan oleh wak Udin. Dari dalam gudang terlihat Apek Hai berjalan kearah warung kopi milik Syarifah.
“ Azis loe punya ikan apa sudah timbang?”, Tanya Apek Hai setelah ia dekat dihadapan Azis.
“ Belum Pek, inilah mau timbang tapi orang tadi masih rame”, jawab Azis lalu mempersilakan Apek Hai untuk duduk.
“ Olang sudah habis timbang, kasi naik loe punya ikan biar kasi timbang “, Kata Apek Hai lalu ia kembali berjalan masuk kedalam gudang. Azis mengeluarkan uangnya dan memanggil Syarifah.
“ Kak, berapa minum kami?”, Azis menunjuk minuman nya dengan minuman uwak Udin
“ Enam ribu rupiah”, kata Syarifah. Azis memberikan uang sesuai dengan yang dikatakan oleh Syarifah.
“ Wak, kutinggal dulu uwak yo, biar kutimbang dulu ikan kami ni”.
“ Iyolah Zis, lagi pula sudah ondak Maghrib ini, karang kamalaman pulak kamu manimbang”, jawab wak Udin. Azis keluar dari warung kopi ia berjalan menuju ujung tangkahan dimana perahunya bertambat.
“ Toto bilang sama si Budi, supaya ikan dinaikkan . Kata Apek Hai ikan ikan kita sudah bisa untuk ditimbang”, kata Azis dari atas tangkahan. Toto tampak bergegas kekamar misin untuk memanggil budi temannya satu perahu.
Dari atas tangkahan Azis melemparkan beberapa buah keranjang untuk diisi dengan ikan ikan hasil tangkapan mereka dilaut yang tersimpan didalam viber. Toto dan Budi tampak cekatan memindahkan ikan ikan yang berada didalam viber kedalam kerancang. Kemudian satu persatu keranjang yang telah berisi ikan dinaikkan keatas tangkahan dengan memakai katrol. Keranjang yang telah berisi ikan yang telah dinaikkan keatas tangkahan , kemudian dibawa masuk kedalam gudang untuk ditimbang.
“ Tujuh puluh”, suara anak laki laki Apek Hai menyebutkan angka yang tertera ditimbangan. Dan seorang wanita yang juga anak Apek Hai mencatat sesuai dengan yang dikatakan nya kedalam buku bon yang nantinya akan diberikan kepada si pemilik ikan.
Azis tidak memperhatikan wanita yang mencatat jumlah timbangan ikan, tapi matanya hanya tertuju kepada ikan ikan yang ditimbang. Begitu juga dengan siwanita yang mencatat hasil timbangan, dia juga merasa tidak perlu untuk mengetahui ikan siapa yang ditimbang. Karena bagaimanapun usai penimbangan si pemilik ikan akan mendatanginya untuk meminta bonnya. Karena bon inilah nantinya yang akan ditukarkan dengan Apek Hai. Berdasarkan catatan bon itu pula Apek Hai akan membayarkan uang nya.
Sebenarnya tanpa harus dipoerhatikanpun, timbangan dipergudangan Apek Hai tidak pernah menipu. Sampai sejauh ini belum ada terdengar para nelayan yang komplin atau perotes terhadap hasil timbangan ikan mereka. Selama Apek Hai membuka pergudangan di daerah Sinaboi, Apek Hai lebih mengutamakan kejujuran. Itulah sebabnya maka Apek Hai memiliki banyak pelanggan.
Apek Hai boleh dikatakan adalah orang yang jujur, baik dan dermawan di kampung Sinaboy. Dia tidak pernah pilih kasih dalam membeir, setiap orang yang datang meminta pertolongan kepadanya tak pernah ia tolak, dia tetap akan memberikan pertolongan dengan semampunya.
Dalam pergaulannya sehari haripun dikampung itu, dia tidak memilih milih dengan siapa dia harus bergaul. Sikapnya yang ramah ini terkadang membuat perselisihan dengan orang orang yang satu keturunan dengan nya. Orang orang keturunan Tiongkok di Sinaboi selalu membuat jarak dengan orang orang pribumi, begitu mereka mengetahui Apek Hai dekat dengan orang orang pribumi dikampung Sinaboi, banyak yang mengecamnya. Tapi baginya hal itu tidak menjadi masalah. Sedikitpun dia tidak pernah terpengaruh apa lagi merasa takut terhadap hasutan dan ancaman yang datang dari sesama warganya.
Bersambung……….
Bagan Siapi Api, 16 Maret 2016
Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H