Dijadikannya sipengadu sebagai tersangka, tentu mengundang tandatanya. Dasar hukum apa yang dierapkan oleh penyidik untuk menjerat Popi sebagai tersangka Penelantaran anak?, kenapa penyidik tidak menjerat sang bidan sebagai tersangka trafficking. Karena sudah jelas bahwa sang bidan telah menjual anak korban kepada orang lain? Lagi pula dalam kasus ini, jika Popi tidak mengadukan sang bidan kepenegak hukum, tentu tidak ada yang tahu akan kejadiannya. Karena kasus ini adalah kasus hukum delik aduan. Sementara tidak seorangpun yang pernah mengadukan Popi dalam kasus penelantara anak.
Apakah karena suami sang bidan seorang Polisi, maka pihak Polresta Tanjungbalai perlu untuk membela sang bidan karena suaminya sama sama anggota Crop Bayang Kara?, pihak Polresta Tanjungbalai terpaksa melakukan hukum yang multi tafsir, membalikkan pakta kepada sang ibu yang anaknya telah dijual? Atau memang ada koorporasi antara Popi dengan sang bidan untuk menjual sang anak sebagai menebus biaya persalinannya?. Tentu semua ini akan terjawab jika kasus trafficking anak ini sampai ke meja hijau.
Acuan Hukum :
Penetapan Popi, sang ibu yang anaknya dijual oleh bidan tempat dia melahirkan sebagai tersangka penelantaran anak, akhirnya menuai protes dan komentar dari berbagai pihak. Polresta Tanjungbalai tentu tidak ingin jadi bulan bulanan kritikan yang dilontarkan oleh banyak pihak. Akhirnya melakukan pemeriksaan ulang dengan menghadirkan pelaku dan korban serta para saksi saksi.
Dari hasil pemeriksaan ulang inilah, pihak penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Sat Reskrim Polresta tanjungbalai, menjerat sang bidan sebagai tersangka dalam kasus dugaan trafficking. Kendatipun bahwa pihak penyidik telah menetapkan sang bidan sebagai tersangka, namun pihak penyidik tidak meng SP3-kan kasus Popi sebagai tersangka penelantara anak. Popi masih tetap sebagai tersangka dalam kasus dugaan penelantaran anak.
Walaupun keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka, pihak penyidik memang tidak menahan keduanya. Apakah dengan tidak menahan keduanya pihak penyidik telah menjalankan tugasnya sacra professional? Tentu ini juga menjadi bahan pertanyaan buat penyidik. Sesuai dengan acuan hukum KUHAP : Setiap orang yang melakukan tindak kejahatan dengan ancaman hukuman dibawah lima tahun boleh ditangguhkan penahanannya atas jaminan pihak keluarga yang bersangkutan.
Terhadap kasus trafficking anak dikota Tanjungbalai ini, penyidik telah menetapkan keduanya sebagai tersangka, dan keduanya tidak ditahan, apakah sudah sesuai dengan prosedur hukum? Beradasarkan UU RI Nomor : 35 Tahun 2014 tentang perobahan atas UU Nomor : 23 tahun 2002, Tentang Perlindungan anak apada BAB XIA Larangan, pasal 76 B menyatakan Setiap orang dilarang menempatkan, membesarkan, melibatkan, dalam situasi salah dan penelantaran.
Kemudian pada pasar 77B disebutkan, Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasar 76B dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,-
Sedangkan didalam UU RI Nomor : 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang BAB II Pasal 3 sampai dengan pasal 6 menyatakan, Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap pasal yang dimaksud dipidana pencara paling singkat 3 tahun, paling lama 15 tahun, sedangkan dendanya paling sikit Rp 120.000.000,- paling banyak Rp 600.000.000,-
Berdasarkan acuan hukum ini, pihak penyidik boleh saja tidak menahan keduanya, jika penyidik menafsirkan bahwa tersangka diancam dengan hukuman terendah yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut. Jika pihak penyidik dalam kasus dugaan trafficking ini menerapkan hukum yang multi tafsir, tentu hal ini tidak membuat efek jera bagi para pelakunya.
Sebuah Pembelanjaran :