Tidak ada isu berbeda yang terbaru mengenai Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan di tahun belakangan ini kecuali persoalan pengelolaan gajah di konsesi Perusahaan bagi kedua sub spesies ini dan isu kerjasama transboundari (lintas batas) Indonesia-Malaysia mengenai Gajah Kalimantan.
Pertemuan IUCN elephant specialist group di New Delhi bulan Maret lalu (tahun 2023) telah mendorong suatu tantangan bagi negara-negara yang memiliki populasi Gajah Asia, yaitu peningkatan populasi seluruh populasi Gajah Asia, tak terkecuali di Indonesia.
Berbagai strategi dilakukan dari berbagai negara, termasuk Bangladesh, dalam isu populasi gajah yang bermigrasi musiman (transboundary) di India dan Bangladesh, infrastruktur jalan kereta memotong perlintasan gajah sehingga banyak gajah yang tertabrak, konflik gajah-manusia dan gajah makan sampah rumah tangga di Srilanka yang mengakibatkan ratusan gajah mati setiap tahun, hingga perburuan gading gajah di berbagai negara dan dalam hal penyebaran penyakit yang mengakibatkan kematian gajah jinak dan gajah liar di banyak negara Asia.Â
Anggota IUCN dari Indonesia menampilkan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan tata Kelola gajah dengan dukungan perusahaan di dalam konsesi kehutanan dan perkebunannya.
Dari keseluruhan presentasi negara-negara tersebut, Indonesia memiliki cirikhas dalam pengelolaan yaitu tata kelola yang kolaboratif dalam mendorong pemulihan populasi dan habitat Gajah Sumatera di alam, apalagi dukungan Instruksi Presiden No 1 tahun 2023 mengenai pengelolaan biodiversitas lintas kementerian dan dukungan masyarakat.Â
Dukungan banyak perusahaan dalam konservasi Gajah Sumatera termasuk berupaya memenuhi persyaratan sertifikasi untuk kehutanan maupun perkebunan. Tidak banyak negara-negara lain melakukan inisiasi ini terutama kerjasama pengelolaan gajah di alam yang melibatkan perusahaan di dalam konsesinya.
Di Asia, tantangan utama pelestarian Gajah Asia adalah masih mengenai laju konversi lahan, pembangunan infrastruktur pemukiman dan alat transportasi, konflik gajah-manusia di area kebun dan pertanian perusahaan dan masyarakat, perburuan dengan motif pengambilan organ tubuh gajah terutama gading dan isu penyakit termasuk herpes virus yang banyak memberikan dampak kematian gajah.
Di Indonesia, isu ini masih relatif sama, meskipun isu konversi lahan sedikit menurun di beberapa tempat karena seluruh area sebagai habitat gajah telah terkonversi menjadi hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan area pertanian termasuk di area yang akan dijadikan proyek ketahanan pangan terutama di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.Â
Perburuan juga masih menjadi tantangan di beberapa tempat setelah diketahui terjadi kematian gajah Jantan dengan gading yang telah hilang. Herpes virus juga cukup masif menimbulkan kematian banyak gajah anak di Sumatera ataupun di hadapi oleh area lembaga-lembaga konservasi termasuk kebun binatang.
Solusi Praktis
Solusi praktis yang dilakukan banyak stakeholder kunci saat ini mengarahkan kepada usulan rencana tindakan mendesak yaitu monitoring yang intensif sebagai Upaya preventif terhadap kasus konflik dan perburuan, penurunan dan respon ancaman secara langsung melalui kegiatan penguatan aspek mitigasi konflik gajah-manusia termasuk pembuatan infrastruktur penghalang untuk gajah, penguatan sisi penegakan hukum dan solusi pengelolaan populasi gajah yang kecil termasuk upaya translokasi.
Upaya praktis ini sebenarnya belum cukup, beberapa lembaga mendorong Langkah yang sifatnya jangka panjang yaitu pengelolaan habitat dan aspek konektivitas antar populasi gajah di satu area yang besar.Â
Untuk itu, inisiasi koridor pengelolaan gajah dilakukan di Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan terutama Kawasan di luar Kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah.
Koridor pengelolaan ini adalah bentuk kesepakatan dalam pengelolaan bersama antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat dalam melindungi populasi gajah di area yang ditetapkan sebagai koridor pengelolaan.
Kesepakatan ini kadangkala sulit terwujud di tingkat implementasi, misalnya kebutuhan koridor dengan menyediakan area lintasan gajah di dalam konsesi perkebunan sawit, dimana umumnya perusahaan dan masyarakat enggan menyisihkan area ini.
Meskipun demikian, isu koridor gajah memberikan nilai positif dimana semua pihak menyadari keberadaan gajah dan berupaya ikut partisipasi memberikan perlindungan.
Isu koridor ini juga melibatkan kegiatan ke arah pemulihan habitat gajah. Di beberapa tempat, kegiatan ini berjalan dengan penanaman puluhan ribu tanaman yang dapat dimakan oleh gajah, sehingga konsentrasi pergerakan gajah di area ini. Area pemulihan habitat juga menjadi target akhir pengusiran dan penggiringan gajah liar saat konflik dengan masyarakat.
Dalam Aspek mitigasi dan pencegahan, puluhan km pagar penghalang termasuk parit gajah dan electric fence (pagar listrik yang berefek kejut dan tidak mematikan satwa) dibangun dari inisiasi ini di Aceh. Di Riau dan Sumatera Selatan lebih menekankan pada faktor perubahan komoditas tanaman ekonomi masyarakat.
Di Riau, inisiasi ini telah menghasilkan 200 ha lebih lahan masyarakat melalui system wanatani jenis tanaman yang tidak disukai gajah melalui dua KTH (Kelompok Tani Hutan).
Di Sumatera Selatan, inisiasi ini belum banyak dilakukan di tingkat petani sawah meskipun pada akhirnya lebih memilih penggunaan infrastruktur penghalang bagi gajah.
Di kawasan-kawasan perbatasan dengan area konservasi, aspek mitigasi relatif lebih terkontrol dimana masyarakat telah mengetahui area penggiringan dan pengusiran gajah ke arah kawasan konservasi dan beberapa aspek usulan juga telah dibangun dengan pemulihan habitat gajah di dalam area konservasi atau area penyangganya seperti di Taman Nasional Leuser, Taman Nasional Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan.
Better Management Practices salah arah
Sertifikasi hutan dan kebun menjadi penting bagi pelaku usaha. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan yang mendapatkan sertifikasi kehutanan termasuk FSC dan sertifikasi kebun sawit seperti RSPO dan ISPO telah menetapkan Kawasan HCV (High Conservation Value) dan penerapan Better Management Practices (BMP) bagi biodiversitas penting di area konsesinya.
Meskipun delineasi Kawasan HCV seringkali sangat kecil nilainya bagi daya dukung habitat spesies tertentu, tetapi pelaku usaha ini masih memiliki kesadaran dalam menerima dan mengoptimalkan Kawasan ini untuk spesies tersebut sebagai langkah BMP-nya. Tetapi ada beberapa pelaku usaha justru meminimalisir penggunaan HCVnya bagi spesies tersebut dengan dalih pengurangan konflik satwa liar-manusia.
Umumnya adalah Kawasan-kawasan perkebunan sawit yang menerapkan BMP dengan mengeliminir gajah masuk di dalam HCVnya termasuk membangun pagar penghalang di batas konsesi yang mengakibatkan konflik gajah-manusia pindah ke area lain terutama lahan masyarakat.
Tanpa dukungan solusi pengelolaan gajah dari perkebunan tersebut di area dimana konflik tersebut berpindah, kematian gajah pun terjadi di area ini dan kerugian masyarakat terjadi di area dimana dulunya mereka tidak berkonflik dengan gajah.
Langkah ke depan
Elaborasi langkah-langkah keberhasilan adalah pijakan untuk melangkah ke depan dari konservasi Gajah di Indonesia. Penggunaan variasi tehnik mitigasi yang dianggap efektif dan didukung teknologi termasuk early warning system melalui GPS Collar yang dipasang pada gajah atau akustik suara dengan artifisial intelijen dalam mendeteksi bentuk suara gajah adalah salah satu hal yang terkini bahkan menjadi penting di masa datang.
Dalam kebijakan tata ruang, rujukan ruang yang bernilai konservasi tinggi di dalam usulan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Sumatera yang sedang proses penyusunan di tahun 2023 menjadi landasan dalam pengelolaan ruang bagi gajah terutama di dalam area konsesi dan lahan masyarakat.
Penyediaan ruang bagi gajah terutama di area hutan tanaman, kebun sawit perusahaan dan masyarakat adalah prioritas, dan pemerintah patut tegas untuk mencabut izin atau tidak memberikan rekomendasi dalam penerbitan sertifikat FSC, RSPO dan ISPO atau memasukkan status rendah di dalam PROPER apabila mengeliminir keberadaan gajah di dalam konsesinya.
Inisiatif terkini adalah mendorong konservasi gajah yang sifatnya cost sector menjadi benefit sector yaitu proyek pembinaan habitat di dalam Kawasan konservasi atau penyangganya memberikan dampak dari pengembangan turisme atau jasa lingkungan lain termasuk pengelolaan daerah aliran sungai.
Bagi masyarakat dan perusahaan, pemulihan habitat gajah dan mendorong sistem wanatani atau agrikultur yang tidak menimbulkan konflik gajah, selain menekan ongkos akibat resiko kerugian akan konflik, nilai ekonomi dan manfaat dapat ditingkatkan dari pola kebun dan pertanian konvensional termasuk dalam upaya mendapatkan benefit dari kredit karbon sukarela.
Bagi perusahaan tentu akan mendapatkan nilai tambah perusahaan yang peduli terhadap perlindungan gajah.
***
Penulis: Dr. Wishnu Sukmantoro, anggota IUCN SSC Elephant specialist group, FKGI, PJHS dan Bioma Tropika Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H