Jujur saja, saya bukan orang yang suka berolahraga. Saya sudah mencoba bermacam macam jenis olahraga, tapi tidak ada satu pun yang dapat saya kuasai. Renang gaya batu, Bersepeda gaya ala kadarnya, lari gaya jalan cepat, berolahraga dengan bola pun saya tak mampu, saya malah lari menghindar karena takut.. maklum, pernah mengalami cidera ketika belajar main Basket. Kalau ditanya jenis olahraga yang disukai, saya akan menjawab jalan kaki, apalagi kalau jalan kaki di toko, atau tempat rekreasi.
Selain tidak suka berolahraga, saya juga merasa tidak perlu berolahraga. Mengapa? Alasannya banyak sekali.  Salah satunya adalah saya tidak berbadan gemuk seperti kawan-kawan saya yang termotivasi untuk berolahraga karena ingin menurunkan berat badan. Saya juga  merasa mampu menjalankan kegiatan saya sehari hari sebagai pelajar tanpa perlu berolahraga. Mengapa harus berolahraga? Tanpa itu pun saya masih mampu mengerjakan tugas sekolah hingga larut malam, bepergian ke tempat yang jauh dan melakukan kegiatan lain sebagai seorang pelajar.
Ternyata, keadaan aman damai ini tidak berlangsung lama. Kehidupan saya berubah 180 derajat setelah berkeluarga dan punya anak. Salah satu peristiwa yang mengubah hidup saya adalah berhentinya pembantu rumah tangga. Setelah pembantu berhenti bekerja, saya memang mulai mencari pengganti, tapi tidak ada yang cocok.
"Nggak apa-apa bu, biar saja nggak ada pembantu, kan saya sudah mulai bisa membantu ibu" demikian ujar si Sulung memberikan dukungan. Mulailah kami mengerjakan pekerjaan rumah bergotong royong. Saya, dibantu oleh si Sulung dan adik-adiknya mulai membagi-bagi tugas. Kegiatan kami di rumah cukup banyak antara lain: mencuci, memasak, membereskan rumah, melipat baju, mengurus kebun, membersihkan seluruh rumah, dan lain lain. Selain kegiatan di atas, saya juga harus meluangkan waktu untuk mengurus anak anak yang masih balita dan menemani anak anak yang sudah besar belajar.
Salah satu nilai positif yang saya rasakan ketika itu adalah kami sekeluarga menjadi lebih banyak tolong menolong dan bekerja sama. Kalau ada tugas anak anak yang belum selesai, saya yang selesaikan, atau sebaliknya. Terkadang pekerjaan menumpuk sampai keesokan harinya jika semua sudah terlalu lelah.
Tapi kenapa ya, pekerjaan rumah ini tidak pernah selesai? Walaupun saya tidak pernah menunda nunda pekerjaan, saya masih tidak memiliki waktu luang untuk mengerjakan pekerjaan lain. Saya mencoba mengatasi hal ini, dengan membuat jadwal harian dan mencoba mengerjakan seluruh pekerjaan menjadi lebih mudah dan singkat misalnya; membuat jadwal memasak cukup satu kali dalam sehari untuk tiga kali makan yaitu makan pagi, siang, dan malam. Kami hanya memasak masakan yang mudah dan cepat seperti sayur sop, sayur tumis, gorengan, lauk yang berkuah, dan lain lain.
Mencuci dan menjemur adalah kegiatan rutin yang tidak dapat dipersingkat, sehingga kita lakukan seperti biasa. Sebetulnya kalau mau, bisa saja kami menggunakan mesin pengering baju sehingga tidak menjemur baju satu persatu, tapi kami juga tidak mau memboroskan listrik. Kami menggunakan pengering ketika baju yang dijemur masih basah di waktu sore.Â
Menggunakan pengering membuat pekerjaan menjadi lebih mudah, cukup tuang ke dalam mesin, tunggu sampai kering, lalu lipat dan siap digunakan. Betul, kami tidak menyetrika seluruh baju kami. Kami hanya menyetrika baju untuk bepergian saja. Pekerjaan menyetrika sangat menyita waktu. Baju yang dipakai di rumah hanya dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari,
Pekerjaan membereskan rumah juga dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Semua anak-anak dilatih untuk mampu mengembalikan barang yang sudah dipakai secepat mungkin ke tempat penyimpanan. Pekerjaan membereskan rumah dilakukan di sore hari satu kali dalam sehari. Pekerjaan rumah seperti membersihkan kamar mandi, mengepel, mengurus kebun dan lain lain dilakukan seminggu sampai satu bulan sekali.
Seluruh pekerjaan rumah ini saya lakukan bersama anak yang sudah besar sambil menemani dua anak saya yang masih balita. Pada saat itu, anak yang berusia 5 tahun masih perlu bantuan di kamar mandi, sementara anak yang berusia 3 tahun sedang belajar buang air di kamar mandi. Terkadang pekerjaan rumah berjalan tidak sesuai rencana karena ada anak yang berkelahi, ada anak yang mengalami tantrum, atau anak yang ingin bermain bersama saya.
Walaupun saya sudah berusaha mengatur waktu saya, saya masih kehabisan waktu. Tentu saja saya masih sempat tidur siang, beribadah, serta menemani anak anak menonton film dan belajar. Tapi setelah itu sisa waktu yang ada saya gunakan untuk tidur di malam hari. Rasanya tidur menjadi nikmat yang luar biasa setelah setiap hari bekerja di rumah.
Berolahraga? Mungkin perlu.. tapi kapan saya dapat melakukannya? Rasanya saya mulai mencoba untuk berolahraga beberapa tahun yang lalu, tapi tidak pernah dilakukan secara teratur. Saya berolahraga bersama anak-anak. Awalnya kami melakukan senam bersama sama, tapi ternyata anak-anak lebih suka olahraga yang bersifat permainan seperti bulu tangkis dan berenang sehingga tidak seluruh anak mau diajak senam bersama.
Begitulah kegiatan saya di rumah, selalu sibuk sampai tidak memiliki waktu luang untuk berolahraga. Ketika mulai menginjak usia 40 tahun, saya mulai cepat merasa lelah. Jika terlalu lama bekerja tanpa beristirahat, saya mendadak lemas dan pusing kepala. Setelah beristirahat, biasanya badan saya pulih kembali, tapi kadang saya baru merasa sehat setelah beristirahat lebih dari satu hari.
"Bu, kenapa matanya merah sekali? " Tanya anak saya yang kedua. Rupanya mata saya yang bagian putih berubah warna menjadi merah separuh bagian. Anak anak saya yang lebih kecil bahkan sampai tidak berani melihat mata saya karena takut. Keadaan ini membuat saya terpaksa pergi memeriksakan diri ke dokter mata.
 Setelah melaksanakan pemeriksaan standar, dokter mata berkata, "Ooo ibu mengalami pendarahan di mata. Ini tidak berbahaya. Saya akan beri resep obat tetes. Pakai selama mata ibu masih merah saja, ya. ". Saya pun pulang ketika sudah mendapatkan obat tetes dan berkata, "Mata ibu tidak apa apa kok...kata Dokter, pakai saja obat tetes ini untuk menghilangkan warna merah di mata". Tapi sebetulnya saya merasa gelisah. Kenapa? karena ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya dan tidak bisa hilang dari ingatan saya ketika saya berada di ruang pemeriksaan mata.
"Bu, tensi ibu 150.. apakah ibu punya penyakit darah tinggi? "Tanya perawat yang memeriksa tekanan darah saya?. "O ya? Betulkan suster? Saya kemarin periksa tensi  di rumah masih 118" kata saya. Saya memang masih menyempatkan diri untuk memeriksa tekanan darah saya ketika sedang kelelahan. Untuk kedua kalinya perawat itu memeriksa saya. "Betul bu, masih 150" ujarnya.
Terus terang saya mulai merasa takut. Saya tidak mau sakit darah tinggi. Â Pelan pelan saya mulai mencari informasi bagaimana cara mengatasi penyakit ini. Untuk tahap awal, sepertinya tidak sulit, kita hanya perlu disiplin menjaga makanan dan rutin berolahraga. Berolahraga...itu lagi masalah saya.. bisik saya dalam hati. Bagaimana mungkin saya bisa berolahraga, kapan? Saya tidak pernah memiliki waktu khusus untuk diri sendiri. Kalau ada waktu luang biasanya saya pakai untuk istirahat agar bisa memulai aktivitas baru dengan lebih baik. ... tapi saya juga tidak mau mengidap penyakit darah tinggi. Anak anak saya masih perlu didampingi. Yang lebih besar perlu waktu lebih banyak untuk belajar dan berkarya, bukan mengurus ibunya yang sakit, yang lebih kecil masih membutuhkan banyak pendidikan dan pengajaran.
Saya mulai mencoba lagi berolahraga secara rutin di pagi hari sebelum matahari terbit. Â Tujuh menit saya habiskan untuk gerakan singkat, sembilan menit untuk peregangan. Setelah beberapa hari melakukan olahraga secara rutin, saya mulai merasakan manfaatnya. Badan saya menjadi lebih kuat dan mampu melakukan aktivitas dari pagi sampai malam hari tanpa merasa lelah. Saya mampu menyelesaikan pekerjaan rumah lebih banyak dari sebelumnya. Kalau saya masih memiliki waktu dan tenaga, mungkin saya masih bisa melakukan hal lain seperti menulis, membaca, melukis, dan lain-lain.
Sebetulnya, berolahraga dengan rutin masih menjadi hal yang sulit untuk saya karena kadang-kadang saya masih merasa pegal di pagi hari. Pernah saya berangan-angan pergi ke tukang pijat saja untuk menghilangkan pegal. Tapi, itu hanya khayalan saja karena saya tidak memiliki waktu ekstra untuk melakukan itu. Berendam air hangat? Tidak mungkin juga, terlalu lama untuk saya. Berolahraga dalam keadaan pegal tentu tidak nyaman bagi saya, tapi karena sudah merasakan manfaat dari olahraga, saya berusaha keras untuk terus melakukannya.
Geliga Krim berbeda dengan balsam lain yang berbau, panas mengengat, dan terasa dingin bila terkena air. Geliga Krim terasa hangat jika dipakai pada bagian yang pegal dan membuat pegal berangsur-angsur hilang. Jadi kita tidak perlu pergi ke tukang pijat untuk menghilangkan pegal.Â
Oleskan saja Geliga Krim. Â Saya mencoba menggunakan Geliga Krim sebelum tidur di malam hari. Ternyata, saya bangun dalam keadaan segar, tidak ada lagi pegal-pegal di badan. Setelah itu saya mulai melakukan aktivitas seperti biasa, dan dapat tetap aktif sampai malam hari. Saya baru sadar, ternyata olahraga itu perlu agar kita menjadi kuat, sehat dan dapat beraktivitas dengan baik. Berolahragalah walaupun hanya tujuh menit dalam satu hari. Sekarang tidak ada alasan bagi saya untuk tidak berolahraga. Â Saya tidak perlu takut pegal dan lelah lagi karena sekarang, pegal dapat diatasi dengan Geliga Krim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H