Mohon tunggu...
Tomi Satryatomo
Tomi Satryatomo Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Media

Seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menjadi Lebih Cerdas Dari Ponsel Cerdas

11 Oktober 2015   10:07 Diperbarui: 11 Oktober 2015   10:14 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kadang saya ditelepon malam-malam, minta disiapkan konsep dekor atau party. Biasanya saya langsung minta adik saya buat desainnya. Dalam sejam, saya review dan sudah bisa kirim lagi ke klien," urai Ola Harika (twitter @olaharika), party planner, tentang bagaimana ia mengandalkan ponsel cerdas untuk bekerja. "My office is on my hand," katanya dalam logat Inggris yang fasih.

"Saya sangat terbantu saat mesti travelling ke luar negeri," timpal fashion designer Ai Syarif (twitter @aisyarif1965). "Saya membawa seni Indonesia ke luar negeri. Setahun bisa empat kali ke luar negeri dan sekali pergi, bisa sebulan. Smartphone membantu saya untuk tetap keep in touchdengan tim Indonesia maupun dengan klien-klien lain."

Mereka bicara dalam focus group discussion tentang meningkatnya peran profesional dalam menggunakan mobile office, yang diselenggarakan Samsung Electronics Indonesia, Rabu 7 Oktober 2015 di restoran Bunga Rampai, Menteng, Jakarta Pusat. Acara ini dihadiri para pemimpin redaksi berbagai majalah dan online media gaya hidup di Jakarta, dipandu penulis dan produser film Moammar Emka (twitter @moammaremka).

[caption caption="ki-ka: Ola Harika, Tomi Satryatomo, Ai Syarif, Moammar Emka"][/caption]

Asteria Erlanda, pemimpin redaksi majalah Good Housekeeping mengaku sangat  terbantu oleh ponsel cerdas. Saat di Australia, cerita Aster, "saya kaget lihat tweet dari artikel yang baru terbit di majalah saya. Kata-katanya tidak ada yang salah tapi bisa ditafsirkan berbeda oleh publik. Langsung saya koreksi sebelum ada komentar negatif. Untung ada smartphone, jadi saya selalu bisa terkoneksi dengan kantor, dimanapun dan kapanpun saya berada."

Saya sendiri (twitter @wisat) didapuk sebagai salah satu pembicara, dalam kapasitas sebagai profesional media dan komunikasi. Terkait pekerjaan, saya sudah lebih dari satu dekade menjadi heavy user ponsel cerdas. Sebelum ponsel cerdas lahir, saya menggunakan PDA (personal digital assistant) untuk membantu mengelola pekerjaan.

Saya menggarisbawahi makin pentingnya ponsel cerdas dan tren mobile office seiring dengan makin populernya gaya bekerja lepas (freelance) dan kolaborasi berbasis proyek.

"Long term employment makin tidak populer di kalangan anak muda, " kata saya mengutip laporan riset tren bekerja, "Makin banyak yang memilih bekerja secara individual atau tim kecil, dan memilih menggunakan virtual office sebagai basis alamat. Bekerja bisa dimana saja. Mobility, flexibility & connectivitymembuat ponsel cerdas jadi andalan, terutama bagi para profesional di industri kreatif."

Semua sepakat, kamera yang bagus merupakan fitur yang esensial. "Setiap kali orang motret acara yang saya buat, lalu menyebarkannya itu jadi promosi tersendiri," kata Ola. Ai mengangguk setuju. 

Saat ditanya soal apa lagi yang diinginkan dari ponsel cerdas, Ola dan Ai sama-sama bilang soal kualitas jaringan selular.

"Repot banget kalau saat lagi puncak-puncaknya kesibukan, tiba-tiba sinyal (selular) drop," kata Ola, yang tampil segar dalam balutan batik.

Pengalaman Ai lain lagi. Kadang ia harus pameran atau punya acara di kota kecil di luar negeri. "Kadang gakada sinyal, jadi saya mesti cari tempat yang ada wifi supaya bisa tetap bekerja," kata perancang yang kelihatan lebih muda dari usianya ini.

Saya menghadapi persoalan yang sama dan mau tidak mau pakai layanan seluler dari beberapa operator.

Mereka juga sepakat, tantangan heavy mobile users seperti mereka adalah baterai ponsel. "Saya selalu bawa power bank kemana-mana," kata Olla. Bagi saya, teknologi fast charging, yang memungkinkan baterai ponsel terisi 75% dalam 30 menit, sangat membantu.

Aspek lain adalah soal cloud storage. Pengalaman pribadi saya menggunakan layanan penyimpanan data di awan ini memungkinkan saya, "membawa seluruh dokumen kantor kemana-mana. Tidak ada lagi masalah ketinggalan dokumen." Saya pakai layanan Dropbox.com untuk menyimpan dokumen dan OneDrive.com untuk menyimpan foto.

Lalu, kemana arah perkembangan mobile technology ini, tanya Emka?

Wearable gadget & persuasive technology,” jawab saya. Smart watch, fitness tracker dan perangkat sejenisnya makin memudahkan kita mengelola rutinitas sehari-hari. Di sisi lain, data yang terkumpul akan sedemikian lengkap sehingga, tutur saya lebih lanjut, “bisa jadi mesin lebih memahami kita daripada kita sendiri.” Pada gilirannya, ini memungkinkan mesin menganalisa dan memberi rekomendasi pilihan pada kita. (artikel seperti http://www.technologyreview.com/news/535826/technology-and-persuasion/ bisa menjadi bacaan lanjutan).

Seiring mengalirnya diskusi, ada dua hal penting yang mengemuka.

Ai Syarif menekankan soal pentingnya etika menggunakan ponsel cerdas. "Saya sering lihat, dalam jamuan makan, orang sibuk dengan ponsel masing-masing," tandasnya. Ai pernah ambil kursus etika & table manner di Singapura. Ia sangat peduli dengan perilaku seperti ini.

"Betul tuh," kata Emka menimpali, "ponsel mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat." Di kafe yang ia kelola di Kemang, ada pengunjung-pengunjug yang mengumpulkan dan menumpuk ponsel mereka sebelum makan. "Siapa yang ambil duluan, dia yang bayar semuanya," kata Emka.

Ai menyarankan agar para pengguna ponsel menggunakan perangkat mereka dengan pantas dan bijak, termasuk tidak menggunakannya pada saat sedang jamuan atau ngobrol dengan kawan. "Kasihan dong, sudah janjian, sudah menyisihkan waktu, eh pas ketemu malah sibuk dengan ponsel masing-masing."

Di sisi lain, Ola menyoroti fenomena makin banyaknya anak kecil yang diberi ponsel atau tablet oleh orang tuanya, "sebagai pacifier (untuk menenangkan anak, agar tidak rewel -penulis)."

Olla lalu bercerita tentang ahli pendidikan anak yang membolehkan anak pakai tablet atau ponsel layar lebar, "untuk merangsang mata dan telinga anak, tapi dalam batas tertentu." Sebagai orang tua, Olla lebih memilih membatasi anak menggunakan gadget. "Aku lebih suka anakku bergerak, atau menggambar menggunakan alat gambar daripada terus-terusan pakai gadget," kata Ola, "Suamiku mengingatkan aku untuk menyeimbangkan antara bisnis, mengelola rumah tangga dan mengasuh anak."

Emka menutup diskusi dengan mengingatkan bahwa meskipun ponsel adalah benda yang pertama kali kita sentuh saat bangun dan terakhir kali kita lepaskan saat tidur, "sebaik-baiknya teman adalah manusia."

Memang kita perlu menjadi lebih cerdas daripada perangkat cerdas yang membantu kita.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun