Mohon tunggu...
Ibni Wiryateja
Ibni Wiryateja Mohon Tunggu... Mahasiswa - docendo discimus

Terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah sebagai Persimpangan Karakter

30 Desember 2021   23:25 Diperbarui: 30 Desember 2021   23:29 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika sekolah gamang mengorganisasikan pendidikan karakter dengan kegiatan belajar mengajar. Saat para aktivis pendidikan lantang bersuara tentang maraknya bimbingan  belajar swasta mengambil alih peran sekolah, kita melupakan hal esensial yang harusnya bisa kita benahi lebih awal. Sekolah yang diharapkan mampu menjadi tuntunan bagi peserta didik untuk mebangun nilai karakter yang ideal, namun abai menjalankan tugasnya. 

Seperti yang dinyatakan Kristiawan dan Yuliandri dalam sartikelnya yang berjudul Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Peningkatan Kinerja Guru tahun 2017 menyatakan bahwa Sekolah terlalu sibuk dihadapkan pada penilaian yang didasarkan pada parameter komponen sistem. Komponen-komponen sistem sekolah seperti output dan outcome semata. pada parameter ini Pendidikan karakter memang bukan salah satu hal vital. 

Pemerintah seakan terlalu naif ketika mencanangkan program pendidikan karakter melalui kurikulum 2013 yang kini akan segera digantikan dengan kurikulum 2022, sedangkan banyak tenaga pendidik dan kependidikan tertatih-tatih untuk bergeser pada kurikulum ini, dan akhirnya fondasi pendidikan yang belum siap hanya akan membawa pada kondisi yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya, yaitu memandang peserta didik sebagai angka statistik. Hal ini tentu menjadikan struktur yang masih labil menjadi bimbang dan justru kembali pada paradigma lama, pendidikan yang berfokus pada kemampuan kognitif peserta didik semata.

Pada implementasinya, guru tidak hanya memberi contoh dalam memberikan pendidikan karakter, idealnya pendidikan karakter dapat tumbuh ketika pendidik mencontohkan dengan tindak tutur dan tindak lakunya. Banyak guru yang masih mengesampingkan hal ini dan menganggap bahwa pendidikan karakter hanya muncul pada dimensi teoritis. Pendidikan yang macam ini akhirnya gagap dengan mekanisme penilaian sikap, dan mendasarkan penilaian sikap yang selaras dengan nilai akademik. 

Sudah menjadi realita umum ketika peserta didik mendapatkan nilai akademik yang tinggi juga akan mendapatkan nilai sikap yang baik pula. Paradigma berpikir praktis semacam ini agaknya kurang tepat jika terus menerus dilaksanakan dalam dunia pendidikan. Peserta didik yang terus diperlihatkan hal tersebut tentu juga akan maklum pada sistem ini. Padahal kita tahu bahwa sistem ini akan membahayakan karakter peserta didik itu sendiri pada masa depan, dengan paradigma berpikir yang sama melegitimasi bahwa pendidikan karakter adalah anak tiri dari sistem pendidikan dan berlanjut nantinya pada sistem sosial.

Praktik kurang tepat tentang pendidikan karakter di sekolah sebenarnya dimulai dari awal rekruitmen peserta didik itu sendiri. Sistem zonasi yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah kesenjangan sekolah negeri, tampaknya telah jebol dengan kuasa lokal. Sistem zonasi banyak disiasati dengan surat "sakti", seperti surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh pejabat setempat. Dihadapkan dengan kasus seperti ini, sistem seakan menjadi kerbau dicokok hidungnya, tidak berdaya dan hanya menurut saja.

 Parahnya lagi orang tua seakan tidak peduli dan justru mengusahakan segala upaya untuk ikut melakukan hal serupa. Sebenarnya hal ini tidak hanya melukai sistem pendidikan, namun juga telah mencontohkan tindakan yang tidak berkarakter pada putra-putrinya, bahkan ada beberapa peserta didik yang dengan gamblang mengakui, bahkan bangga dengan hal ini karena menganggap memiliki kuasa atau prestise. Dengan cara berpikir yang sudah salah sejak awal, dan dilanggengkan dengan struktur yang ada, nampaknya sekolah tidak menjadi tempat yang ideal untuk memperbaiki pola pikir dan tindak yang salah itu.

Guru sebagai dan pemimpin satuan pendidikan sebagai model bagi peserta didik untuk membentuk kepribadian di lingkungan sekolah harus segera berbenah. Ketika Negara tengah dihadapkan dengan berbagai persoalan korupsi, sekolah pun demikian. Banyak kita jumpai kasus di media massa tentang korupsi, sebut saja kasus, suap jabatan, penarikan dana akademik tidak wajar, dan belum lagi bagi-bagi jatah event kesiswaan sekolah, seakan menjadi santapan yang lazim di dunia pendidikan. 

Pengelola satuan pendidikan, dan lembaga terkait seakan mewajarkan praktik ini, dan menganggapnya menjadi bagian dari dunia pendidikan itu sendiri. Masalahnya praktik ini tidak hanya merusak kualitas pendidikan dalam ranah administrasi dan pelayanan nya, namun mirisnya hal ini ketahui oleh peserta didik. 

Peserta didik, terlebih yang aktif dalam bidang organisasi seperti OSIS, MPK, atau pengurus ekstrakurikuler sudah akrab dengan hal ini. Mereka dibawa ke dalam birokrasi sekolah yang kurang sehat, dipertontonkan pengelolaan organisasi yang buruk dan kelaziman bagi-bagi. Sungguh naif ketika kita pura-pura tidak tahu dan menganggap krisis karakter seperti korupsi dan suap adalah penyakit ketika orang sudah dewasa dan berkarier. Tak salah jika kita berpandangan bila segala kekacauan yang terjadi adalah akibat dari sistem dan budaya pendidikan yang salah kelola.

Masalah penanganan pendidikan karakter di sekolah tidak berhenti pada masalah sistem yang korup, namun juga perilaku sosial pendidik dan tenaga kependidikan. Budaya perpeloncoan dalam penerimaan peserta didik baru memang sudah usang dan ditinggalkan. Namun ada sisa kebiasaan buruk yang belum dihilangkan, yaitu budaya menghukum dan apresiasi yang tidak wajar.

 Sudah menjadi realita mengeluarkan peserta didik dari suatu sekolah dipandang menjadi jalan terakhir penyelesaian masalah pada peserta didik. Sekolah yang hobi "mendepak" peserta didiknya dengan "bersembunyi" di balik dalil tata tertib adalah tindakan yang memalukan. Sekolah seakan berusaha menyembunyikan boroknya dan menganggap peserta didiknya yang bermasalah adalah duri dalam daging dan harus disingkirkan. 

Tentu praktik eliminasi semacam ini adalah suatu pengingkaran marwah pendidikan, yang sebenarnya bertujuan untuk membangun potensi kemanusiaan dan mendewasakan peserta didik. Peserta didik yang seharusnya diobati justru dikembalikan ke orang tua dan tanpa pendampingan yang memadai. 

Sebenarnya sekolah tidak seharusnya berlaku demikian. Jika kita berangkat dari pendapat Jejen Musfah dalam artikelnya yang berjudul Analisis Kebijakan Pendidikan Mengurai Krisis Karakter Bangsa tahun 2018 menyatakan bahwa, Peserta didik adalah individu dan memiliki potensi yang beragam serta unik. Keunikan inilah yang seharusnya dikelola sekolah, demi tujuan jangka pendek maupun panjang peserta didik

Sudah sepatutnya kita secara sadar, baik satuan pendidikan, orang tua, dan lembaga terkait serta masyarakat, melihat kembali nilai pendidikan yang sedang diperjuangkan. Pendidikan adalah suatu proses yang tidak instan. Dedikasi dan konsistensi segenap pihak untuk menjamin kualitas pendidikan melalui perencanaan, aplikasi, dan evaluasi menjadi kunci utama terselenggaranya pendidikan yang ideal bagi masa depan peserta didik dan demi kelangsungan budaya pendidikan yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun